46. Bitter Marmalade and Kourabiedes

1.2K 176 10
                                    

Titik merah dalam gambar peta di laptopnya bergerak semakin jauh dari tempat semula. Ranan mengerutkan kening saat beberapa saat lamanya titik tersebut berhenti. Yang membuat firasat anehnya perlahan merayap adalah ketika sang Titik berpindah dengan sangat cepat ke daerah pinggiran yang melandai. Meski sedikit, dia setidaknya seperti sedang berusaha kembali ke tempat semula. Tapi selanjutnya, meski hari telah beranjak sore, ditambah hujan yang mengguyur, titik itu bergeming.

Tidak mungkin mereka akan membiarkan semua pesertanya hujan-hujanan bukan?

“Kau punya jas hujan?” tanya Ranan menoleh pada Jonas yang sedang melahap mie cup.

“Ada di bagasi mobil.”

Ranan lalu menggeledah koper kecilnya kemudian membalut tubuhnya dengan jaket yang diresleting sampai menutupi leher. Selain pakaian yang melekat, dia hanya membawa ponsel. Laki-laki itu selanjutnya beranjak pergi, tidak peduli Jonas berseru menyebut namanya dengan bingung.

Ranan memakai jas hujan asal. Sembari tetap melihat ke arah peta pada ponselnya, dia melangkah menerobos deretan pepohonan karet dan semak belukar yang tebal. Jaraknya dengan titik pada layar ponsel memang tidak dekat, namun sekarang ini dia tidak punya pilihan selain mengandalkan kakinya untuk pergi ke sana. Mobil jelas tidak bisa lewat. Kalaupun ada motor, Ranan juga tidak yakin dia akan mampu sampai di sana tanpa kesulitan.

Hujan membuat udara di sekelilingnya bertambah lembab dan dingin. Waktu sudah menunjukkan sore yang menjelang. Akan tambah merepotkan apabila kegelapan menyelimuti sekitar sebelum Ranan menemukan gadis itu.

Tiara tidak mungkin melepaskan kalung itu. Ranan pun dihadapkan pada kemungkinan lain—semoga salah. Laki-laki itu juga berharap kalau kram pada kakinya tidak kambuh di saat-saat seperti ini.

“Di mana kau?” tanya Ranan setelah menempelkan earphone ke telinganya setelah melakukan panggilan.

“Di villa. Karena hujan, kami disuruh cepat-cepat kembali,” jawab Luki. Seakan sudah lebih dulu mengetahui alasan Ranan meneleponnya, laki-laki itu menambahkan, “Aku tidak melihat Tiara dan Yanet. Juga Sofi yang bersamanya. Waktu aku tanya anak-anak lain yang sekelompok dengan mereka, semuanya kompak menjawab tidak tahu.”

Ranan berdecap gusar.

“Beritahu aku kalau dia sudah kembali.” Ranan langsung melepas earphone-nya kasar.

Fokusnya kembali lagi pada peta yang terpampang di layar. Ranan harus bergegas. Langkahnya pun berlari seperti orang yang kerasukan sembari menyebut satu nama dalam batinnya.

***
Dalam kondisi diselimuti kepanikan yang sama, tubuh besar itu juga berlarian di bawah derasnya hujan. Tidak terhitung sudah berapa kali dia mengumpat dalam hati, berpikir kalau tidak seharusnya dirinya dan Yanet berpisah hanya gara-gara pembagian kelompok sialan itu. Sekarang bahkan dia benar-benar tidak tahu arah mana yang tepat untuk mencari Yanet!

Terengah-engah, Logan sampai di permukaan yang tinggi di mana dia bisa mengedarkan pandangannya ke daerah bawah. Tirai hujan membuat jarak pandangannya terbatas. Padahal apabila cuaca bisa sedikit berkompromi, mungkin Logan bisa dengan mudah menemukan titik merah yang berasal dari rambut Yanet.

Namun bukan bayangan kemerahan yang didapati Logan kemudian, melainkan sosok hitam berbaju lebar yang berlari melesat. Sungguh mencurigakan orang itu berlari meringsek belukar di bawah guyuran hujan sepertinya.

Logan kemudian berlari cepat demi mencegat orang itu. Arah yang dia ambil tepat memotong jalan. Meski dengan tubuhnya yang besar, Logan sampai duluan ke titik pertemuan mereka di mana seseorang itu menghentikan langkahnya begitu dihadang.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang