Tiara hanya tahu kalau dia harus berlari cepat. Gadis itu melesat mengikuti bayangan seseorang yang—dia tahu pasti—hanya berjarak beberapa meter di depannya. Tapi mendadak saat dia berlari di tangga, Tiara gagal menghentikan lajunya saat melihat seseorang di puncak. Sepatunya salah berpijak. Kakinya meleset dari salah satu sudut anak tangga.
Tapi tangan seseorang itu buru-buru mengulur sehingga Tiara bisa ditarik cepat.
"Hati-hati, Nak! Jangan lari-lari di tangga! Bahaya!" omel Pak Andre seketika. Kacamatanya hampir merosot jatuh. Setelah melepaskan pegangannya, pria itu pun membenarkan posisi kacamatanya.
"Ah, anu.. tadi bapak lihat orang lari ke sini?" tanya Tiara, tidak menghiraukan apa yang dia katakan.
"Lihat." Pak Andre mengangguk. Tapi saat Tiara akan menanyainya lagi, dia memalingkan mukanya ke samping. "Tadi ada anak kelas satu yang bolos terus main kejar-kejaran, sama anak-anak cewek yang lagi usil. Heran saya. Ini kan masih pelajaran."
"Banyak?"
Pak Andre menggangguk lagi. Alisnya bertaut melihat Tiara mendesah kecewa.
"Kamu juga ngapain tadi lari-lari? Kalau nggak ada saya, mungkin gegar otak kamu! Jangan bilang kamu bolos juga."
Tiara tersenyum meringis. Mengangguk sekali, gadis itu lalu berbalik pergi. Ucapannya pada Pak Andre bahwa dia akan kembali ke kelas hanya bohong belaka. Setengah melamun, Tiara menyusuri jalan batu yang merentang di tengah-tengah gedung. Dia menggigiti ujung kuku jempol, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi barusan.
Seseorang tengah memperhatikannya tadi. Tiara sangat yakin. Kalau tidak begitu, untuk apa dia langsung pergi saat Tiara mengejarnya?
***
Dalam kamar bernuansa muram itu, hanya satu suara yang terdengar. Seseorang tengah mengatur napasnya di antara dua pegangan besi yang dipasang sejajar. Laki-laki itu memejamkan mata. Tangannya yang mulanya menggenggam erat, mulai berangsur melemah. Menunduk, dia bisa melihat sepasang kaki pucatnya masih berpijak di atas karpet. Kaki itu tidak lagi menggantung di ujung kursi roda. Dirinya menapak. Kali ini tidak sesulit dulu.Ranan menoleh ke samping, di mana daun pintu lemari yang bercermin memantulkan sosok dirinya. Ini bukan mimpi. Pemandangan Ranan yang tengah berdiri bahkan berjalan beberapa saat yang lalu adalah nyata. Jerih payahnya selama ini berhasil.
Ranan tidak pernah sepenuhnya cacat. Keadaan kakinya memang akibat sengaja dilukai. Akan tetapi efek jangka panjang yang diterimanya bersumber dari ketakutan. Tiap kali tertidur, mimpi-mimpi buruk masih seringkali menghantui. Otaknya memutar kembali ingatan saat seluruh keluarganya dibunuh. Tapi semakin mimpi buruk itu datang, ketakutan Ranan digantikan dengan kemarahan.
Renungannya sirna kala mendengar pintu kamarnya diketuk. Ranan bergeming. Masih dalam posisi berdiri membelakangi pintu. Seperti biasa, gadis itu akan melongokkan kepalanya tanpa meminta persetujuan dari Ranan.
"Tidur?" Suara kecilnya berbisik. Namun kali ini Ranan menangkap bunyi napas tertahan. "Ka-.."
"Diam," potong Ranan tanpa menoleh. "Masuk dan tutup pintunya."
Tiara menurut. Tapi sesuatu yang berbulu dan hangat tidak henti-hentinya mendorong betis. Bingung, gadis itu akan memberi tahu Ranan tapi bimbang. Pada akhirnya sesuatu itu meringsek paksa karena tidak sabar. Ranan melihat dari sudut matanya dan sontak menoleh karena kaget.
Oreo sedang menatapnya lurus. Binar matanya antusias, dan ekornya mengibas senang.
"Maaf. Aku tertangkap basah bawa makanan ke sini, jadi.." Tiara tersenyum meringis pada Ranan setelah menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Marshmallow Meet Dark Chocolate
Mystery / ThrillerStatus: COMPLETED, buku II seri kembar Tiara Chrysantee Len--kembar keempat "Pilih salah satu: mati di tanganku, atau bunuh dirimu sendiri."