45. Game III: Second Murder

1.3K 174 3
                                    

Ranan dan Jonas pergi dari vila sebelum malam semakin larut. Tiara, Sofi dan Luki mengantar mereka ke gerbang depan di mana mobil box Jonas telah menunggu.

“Padahal kau bisa menginap di sekitar sini.. jadi aku tidak perlu menunggu sampai seharian untuk menemuimu lagi,” ujar Tiara memandang sekitarnya yang sepi. Gadis itu kemudian menunduk di depan Ranan sebelum kembali berucap. “Maafkan sudah membuatmu kesal.”

Jonas memandang keduanya bergantian sembari mengernyit heran.

“Lupakan saja,” balas Ranan meski tampak sedang memberengut. “Saat marah kau jadi sangat jujur.”

Apa itu termasuk pujian? Tiara mengerutkan kening karena sama sekali tidak mengerti. Alisnya berjengit saat kursi roda Ranan memutar hendak meninggalkan tempat tersebut. Namun sebelum laki-laki itu mencapai papan miring untuk masuk ke mobil, sosoknya bergeming. Ranan sedikit menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya kembali menghampiri Tiara.

“Kemari,” katanya memberi isyarat pada Tiara supaya mendekat.

Agak bingung, Tiara pun lantas berjongkok—dengan lutut yang menumpu pada tanah—sehingga tinggi mereka sejajar. Ranan mengeluarkan seuntai kalung dari saku. Bentuknya tidak biasa. Talinya sedikit lebar dan kaku. Bandulnya menyerupai bentuk lonceng meski pipih. Ranan melebarkan untaiannya ke leher Tiara lalu memasangkannya.

Tiara sempat merasakan seolah-olah jantungnya berhenti berdetak. Kepala Ranan bersentuhan dengan bingkai wajahnya sehingga laki-laki itu seperti sedang memeluk.

Selesai memasangkan, Ranan menarik tubuhnya. Tangannya sempat menyentuh bandul kalung itu sesaat sebelum berdiam di pangkal leher Tiara.

“Kau memberiku kalung?” gumam Tiara seakan tidak percaya.

“Jangan sampai hilang dan jangan pernah lepaskan,” pesan Ranan.

Gadis itu langsung mengangguk.

Persis anak-anak, batin Ranan yang tersenyum samar. Untunglah Tiara tidak sedikit pun curiga akan sesuatu yang terselip pada kalung itu. Cukup dengan benda itu akan selalu berada bersamanya sehingga Ranan bisa melindunginya meski dari jauh.

“Hati-hatilah,” ucap Ranan sebelum benar-benar beranjak pergi.

***
Esok harinya setelah waktu sarapan, mereka semua berkumpul di aula tempat para panitia dan guru akan mengumumkan agenda selanjutnya. Tiara dan yang lain telah memakai kaus dan celana training olahraga mereka—meski sebenarnya bawahan itu masih kotor akibat game air kemarin.

Sofi menarik Tiara ke depan supaya bisa mendengar instruksi seksama. Gadis itu rupanya payah memahami aturan-aturan permainan kemarin sehingga kali ini bertekad tidak akan kalah lagi. Dia juga mengeluhkan anak-anak lain yang selalu ribut padahal pendengarannya tidak terlalu tajam.

“Hari ini kita akan bermain ular-ularan,” kata salah satu panitia yang berbicara di depan.

Seisi ruangan langsung kasak-kusuk.

“Karena ini yang terakhir, game-nya cukup sederhana. Kalian bikin barisan mirip ular, terus anak yang dibelakang pegang pundak anak yang di depan.”

Ada lima belas anak pada masing-masing barisan ular. Mereka akan melewati medan yang akan dituntun oleh panitia atau guru yang bertugas. Lima belas anak tersebut harus mengingat anggotanya masing-masing—ditambah lagi mereka semua menggunakan penutup mata. Ketika beberapa dari mereka berpencar karena campur tangan si Pengganggu alias panitia, mereka sendirilah yang harus berusaha berkumpul kembali.

Salah satu panitia menghitung mundur supaya mereka saling menentukan kelompoknya dalam waktu singkat. Tiara—sialnya—ada di posisi terdepan setelah sekumpulan anak di belakang mendorongnya.

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang