25. Bitter Chocolate

1.3K 165 11
                                    


Tiara bergeming sementara anak-anak lain—termasuk Sofi—bergidik ngeri saat melihat langit-langit laci meja Tiara. Mereka takut, bingung, sekaligus mengira-ngira siapa dalang di baliknya. Berpasang-pasang mata itu saling melempar, saling curiga, lalu mendapati lagi garis-garis merah yang masih membekas segar pada tangan kiri Tiara.

Anak-anak itu memang terbiasa merundung. Tapi kali ini, hal yang terjadi sama sekali tidak terbayang. It's a different level. Darah yang keluar dari luka yang tersayat bukan main sampai-sampai menetes pada ubin putih.

Kelas itu mencekam.

"Siapa.." Gadis itu menggumam pelan. Teriakannya kemudian termuntah keluar dengan oktaf yang naik berkali-kali lipat. "SIAPA YANG BERANI MENGGANGGUKU, KALIAN IBLIS!!!"

Sekeliling Tiara mendadak berubah buram ketika dia mengangkat wajahnya. Tahu-tahu tubuhnya oleng ke belakang. Dia akan menimpa kotak perkakas yang dibantingnya tadi kalau saja Sofi tidak buru-buru menahan lengan gadis itu. Tiara bahkan tidak bisa berdiri, kakinya lemas. Sofi pun membuatnya duduk pelan-pelan—setidaknya Tiara tidak ambruk secara dramatis.

Bunyi meja saat ditendang tadi rupanya cukup ampuh mengundang perhatian anak-anak lain yang kebetulan lewat di depan kelas C. Sebagian dari mereka mengintip lewat jendela untuk mengetahui apa yang terjadi, sementara sebagian lagi berdesakan di ambang pintu. Seseorang tiba-tiba menerobos kerumunan itu. Dia langsung membuat anak-anak yang mengerubungi Tiara menyingkir dengan sekali dorongan.

"Tiara." Luki menyebut namanya. Dia pun berjongkok terkejut miris melihat tangan kiri Tiara.

Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dalam tempo yang cepat. Dia kemudian berjalan cepat ke arah jendela, di mana tirai ditalikan. Ikatan tirai itu dilepas lantas dirobek memanjang. Buru-buru, Luki langsung membalut kuat-kuat tangan Tiara.

"Panggil guru. Cepat!" sentaknya kesal pada kerumunan di depannya yang hanya jadi penonton.

Ada satu orang lagi yang menerobos masuk. Di belakangnya, Logan mengikuti tanpa perlu  menerobos juga karena anak-anak itu gugup melihat badannya yang besar juga berotot. Yanet langsung berlari sambil terengah. Begitu melihat Luki memapah Tiara yang lemas, gadis itu menggigit bibir dan mengepalkan tangan.

"Logan!" serunya keras.

Begitu dipanggil, laki-laki itu bergerak otomatis ke depan, melewati Yanet. Luki mengerjap saat Logan mengambil alih Tiara darinya. Logan juga langsung menggendong tubuh Tiara dengan mudah keluar kelas diikuti pandangan seisi kelas yang terpaku.

Saat pandangan mereka semua terarah pada Tiara dan Logan, Yanet melangkah diam-diam ke sudut depan—di mana dia bisa memperhatikan wajah tiap-tiap anak. Matanya menyisir tajam lantas menyipit melihat sepasang dari mereka yang saling berbisik mencurigakan.

***
Dua jam kemudian, tiga guru sekaligus datang ke klinik terdekat. Tiara sendiri telah duduk di ruang tunggu bersama Luki dan Logan. Tangan kirinya telah dibebat dengan bercak kemerahan—obat—yang terlihat menembus kain. Gadis itu baik-baik saja. Dia tidak sedang takut akibat kejadian tadi. Justru Luki dan Logan mendapatinya beberapa kali menguap sembari menggumam kapan mereka bisa pulang.

"Apa kamu mencurigai satu anak? Kamu pernah berantem sama dia mungkin?" tanya Pak Galih yang duduk menghadap Tiara.

"Tidak. Saya tidak pernah berkelahi dengan siapa pun," jawab Tiara singkat.

"Tetap aja. Ada satu anak yang nggak suka kamu gitu, ada nggak?" sambung Pak Andre.

"Saya tidak mencurigai siapa pun," nyata Tiara memberi penekanan kuat.

"Nak.." Kali ini guru wanita Redinata—Bu Kansa yang angkat bicara. Dia sama sekali tidak habis pikir, kenapa luka yang membekas di tangannya yang sama sekali tidak cocok diabaikan begitu saja malah membuat gadis itu tampak tidak peduli. Tiara juga seperti sengaja menghindari kontak mata dengannya, juga guru yang lain. "Kejadian seperti ini nggak boleh dibiarkan begitu saja.. Ini sudah kelewatan, kamu sendiri tahu kan?"

When Marshmallow Meet Dark ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang