Tak terasa 2 bulan sudah aufa menjalani perannya sebagai istri davin. Dan setidaknya sikap davin padanya tak seburuk dulu. Davin sudah bersikap biasa pada aufa meskipun masih dingin padanya. Tak akan ada kemarahan jika aufa menurut pada davin. Meskipun sekarang tak ada lagi aufa yang ceria yang bisa berbicara seperti aufa dulu karena sekarang hanya ada aufa dengan senyum getirnya. Entah akan sampai kapan begini aufa juga tak tahu.
Pulang kerja aufa berniat untuk membeli keperluan dapur yang sudah menipis.
Krieeet..!
Aufa mendongak menatap davin membuka pintu ruangannya.
"Hari ini aku mau kesuper market. Bisakah kau mengantarku?" Tanya aufa setelah berdiri."Aku tidak bisa mengantarmu. Aku ada urusan. Tidak apa kan kau pergi sendiri?" Jawab dan tanya davin.
Aufa tersenyum maklum dan mengangguk.
"Baiklah aku pergi dulu. Langsung pulang ke rumah" pesan davin sebelum berlalu meninggalkan aufa.Aufa tersenyum miris menatap punggung davin yang berlalu. Meskipun davin bilang ada urusan tapi aufa juga tahu urusan davin adalah maura mungkin. Bahkan davin hampir setiap hari entah ada urusan apa atau urusan itu pergi bersama maura. Hati aufa juga tak bisa dibohongi jika dirinya merasa cemburu meski tak pantas baginya untuk mencemburui maura.
Aufa berjalan dengan mendorong troli didepannya sambil melihat juga mengambil barang yang dibutuhkannya. Tangan aufa menggapai barang yang dibutuhkannya namun ada tangan lain pula yang mengambil barang sama. Aufa menolehkan kepalanya dan aufa terkejut sesaat lalu melepaskan barang itu.
"Maaf, kau bisa mengambilnya" ujar aufa pada wanita yang sudah mengambil barang itu."Jika kau mau kau boleh mengambilnya kok" tawar wanita itu.
"Tidak apa-apa lagi pula masih ada banyak aku bisa mengambilnya lagi"
"Em.. kau benar" ujar wanita itu tersenyum ramah.
Aufa memandang kagum pada wanita didepannya ini. Jika kalian ingin tahu wanita yang didepannya ini maura. Maura yang tengah belanja dengan bayi digendongannya.
"Apa dia anakmu?" Tanya aufa sambil mengelus pipi gembul bayi itu dengan jarinya.
"Iya dia putraku"
"Dia sangat tampan" puji aufa tulus.
Kadang aufa juga membayangkan akan kehadiran anak dalam hidupnya yang akan memanggilnya mama. Tapi semua itu sekarang hanya sebuah angan dan harapan saja bagi aufa karena secara tak langsung aufa takut davin tak bisa menerima anak itu nantinya. Mungkin aufa bisa terima davin tak menerima dirinya tapi jika anaknya tak diakui dan diterima davin maka sedikitpun aufa tak pernah rela.
"Kau sudah menikah?" Tanya maura.
Aufa mengangguk.
"Lalu kau belanja sendiri? Berarti kau sama denganku. Aku juga belanja sendiri karena suamiku sedang sangat sibuk""Iya kau benar. Tapi sayangnya mereka bekerja untuk menghidupi kita"
"Haha kau benar sekali. Oh iya apa kita bisa berkenalan?"
"Tentu saja. Namaku Aufa, kau?"
"Aku maura dan ini putraku namanya Mario kau bisa memanggilnya rio. Aku lebih suka itu"
"Entah kenapa berbicara denganmu terasa nyaman seperti sudah kenal lama saja. Apa kau tidak keberatan kita menjadi teman?" Sambung maura.
"Ya tentu saja. Untuk apa aku keberatan. Kita berteman" jawab aufa.
"Oh iya sebenarnya aku tidak sendirian. Aku bersama temanku kesini. Itu dia disana sedang membeli barang yang lain", tunjuk maura pada punggung seorang pria.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUGH for My Destiny✅
Ficción GeneralPengkhianatan membuat luka Ketulusan juga membuat sakit Lalu cinta? Apa arti cinta? Bersama kita dipermainkan. Tapi... Takdir menyatukan kita dan ternyata bahagia bersama untuk kita yang ingin bertahan dan memperbaiki. Entah aku, kau, atau kita yang...