Sore itu aku memutuskan untuk menjenguk David lagi meskipun kondisiku sedang tidak baik.Hanya dia satu-satunya orang yang mau mendengar ceritaku.
"Ihh kamu kenapa?kok cemberut gitu?" Aku lega melihat kondisi David yang semakin membaik dan sudah sangat sehat.
"Bete." Aku mendengus kesal dan duduk disebelah ranjang David.
"Kenapa? rankingmu turun? Atau cemburu lagi lihat mantan sama cewek lain?" David tersenyum kecil kepadaku.
"Bukan,rankingku masih,tapi Fajar.." kata-kataku menggantung.Sulit rasanya jika terus dilanjutkan.
"Kenapa dia?cerita aja." David membujukku lembut.
"Dia buat gue bimbang.Tadi sehabis rapotan,gue ketemu sama dia.Dia bilang bakalan ngajakin balikan kalau dia lulus tes PTN tahun ini.Pantes gak sih gue nungguin dia setelah dia nyakitin gue?" Aku melamun sebentar dan saat itu aku merasakan bebanku benar-benar banyak.
"Yah balik ke kamunya aja sih.Kalau kamu beneran masih sayang sama dia,yaa gak ada salahnya nunggu." David tersenyum namun terlihat dipaksakan.
"Vid,gue buat lo sakit hati ya?" Aku memandang David dengan perasaan bersalah.
"Nggak kok,aku ngerti kamu masih suka sama Fajar.Itu resiko buat aku yang suka sama kamu." David menggenggam tanganku hangat.
"Andai gue sukanya sama lo Vid,betapa beruntungnya gue." Aku menepuk pelan punggung tangan David.
"Udah gak usah sedih lagi.Eh kamu lagi sakit ya?kok pucet gitu sih?" David memandangku cemas.
"Iya,cuma gue pengen cerita langsung aja ke lo.Biar gue nya juga lega gak harus mendem sendirian." Aku mencoba tersenyum meskipun terlihat masih pucat.
"Vid,besok gue mulai kemoterapi." Tatapanku kosong.
"Jalanin aja jika itu buat kamu cepet sembuh Ta." David mencoba meyakinkanku dengan suara lembutnya.
"Gue takut Vid.Gue tahu,kalau yang namanya kanker sulit banget bisa sembuh." Mataku mulai berkaca-kaca.
"Kamu harus tenang dan yakin bisa sembuh.Kamu masih punya banyak mimpi Ta." Ada sedikit semangat yang bisa aku rasakan disetiap kata-kata yang David keluarkan.
"Thanks Vid." Aku tersenyum kecil ke arahnya.
"Fajar udah tahu?" David sepertinya penasaran dengan Fajar,karena ia tak pernah kelihatan khawatir padaku.
"Nggak.Jangan dikasi tahu Vid.Gue gak mau dia perhatian sama gue karena kasihan." Aku setengah memohon kepada David.
"Iyaiya,aku juga kurang akrab kok sama dia." David tersenyum kecil.
"Makasihh." Aku tersenyum namun raut wajahku tak terlihat bahagia.
■■■
Pukul 10 pagi,aku sudah berada di rumah sakit untuk mulai menjalani proses kemoterapi.
"Senja,kita periksa ginjal sama hati kamu dulu ya.Soalnya kemoterapi ini memang agak berat." Ucap dokter yang semakin membuatku tegang.Setelah beberapa menit berselang,dokter menyatakan diriku siap untuk di kemoterapi.
Aku tidur pada ranjang pasien menggunakan baju rumah sakit.Rasanya aku ingin mati ketakutan ketika melihat jarum suntik yang mulai meneteskan obat ke selang infusku.Obat-obat ini sangat keras,aku sampai menangis jika membayangkan bagaimana reaksi efek sampingnya.
"Nah sudah.Kamu istirahat dulu ya." Kata dokter Rudi yang menanganiku.Kemudian ia keluar bersama kedua orang tuaku untuk membahas proses kemoterapi selanjutnya.
Awalnya aku tidak merasakan apa-apa dengan efek samping obat-obatan keras ini.Mungkin saja obat-obatnya belum meresap sempurna.Namun,lama-kelamaan kepalaku menjadi pusing.Aku mulai mual-mual dan mudah terserang penyakit.Tubuhku terasa sangat lemah sekali.Liburan panjangku harus aku habiskan untuk melawan kanker ini.
Beberapa minggu kemudian,aku kembali menjalani penyuntikan kemoterapi.Rasanya benar-benar hancur ketika membayangkan efek apalagi yang harus diterima oleh tubuhku.
Benar saja apa dugaanku,setiap harinya aku muntah-muntah.Tubuhku sangat lemas,bahkan untuk berjalan saja rasanya sulit.Yang paling mengerikan,rambut-rambutku mulai rontok.Entah sudah beberapa hari ini aku menangis karena kehilangan mahkotaku secara perlahan.Aku malu jika teman-temanku menjengukku,oleh sebab itu aku tidak memmberitahu mereka tentang diriku yang menjalani kemoterapi ini.
Namun,sore itu tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar ruangan tempatku di rawat.Pintu pun akhirnya terbuka dan betapa terkejutnya aku ketika melihat teman-teman sekelas dan juga David datang menjengukku.Aku cepat-cepat mengambil topi untuk menutupi kepalaku yang kini gundul.
"Gausah Tata." David membuka topiku yang kini memperlihatkan betapa plontosnya kepalaku.
"Gimanapun kamu tetap cantik sayang." Malini menggenggam tanganku dengan matanya yang terus mengeluarkan air.
"Kita semua disini ngedukung kamu." Bella tak kalah deras air matanya.
"Kalian kenapa nangis sih? I'm fine." Aku mencoba tersenyum agar terlihat kuat.
"Taa cepetan sembuh." Mereka semua memelukku erat.Pelukan yang paling aku sukai selain pelukan kedua orang tuaku dan Fajar.
"Fajar..." Aku baru teringat jika beberapa hari ini aku tidak sempat mengecek handphone.Aku pun bingung mencari handphoneku.
"Nihh." David menemukannya di laci meja dekat ranjangku dan menjulurkannya padaku.
Banyak sekali notif yang masuk.Namun,satupun tak ada yang dari Fajar.
"Dia lupa sama gue." Aku menunduk sedih.
"Dia pasti udah sama Angela." Aku mulai menitihkan air mata.Lebih sakit lagi rasanya mengetahui orang yang kita sayang seperti sudah benae-benar melupakan kita.
"Hei,udahlah.Jangan buat hati kamu nambah sakit lagi." Marsha menyemangatiku.
"Tapi kan Sha..." aku masih menangis dengan raut wajah yang tak bisa dijelaskan.
"Fokus sehat dulu ya.Jangan pernah nyerah.Kalau kamu udah sehat,otomatis ketemu sama Fajarnya lebih cepet kan?" Kali ini Titan yang angkat bicara.
"Iya,Tata gak akan nyerah demi ketemu Fajar.Makasihhh." Aku memeluk mereka semua dengan haru yang berbagi tempat dengan rasa kecewa di hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Belum Menyerah
Teen Fictionsepuluh tahun berlalu.Semuanya terasa sangat berbeda.Kalung itu kini berada di leher wanita itu.Dia menggendong anaknya yang masih berumur 2 tahun.Anak perempuan yang sangat cantik.Dan suaminya sedang memperhatikan mereka dari lantai atas kamarnya.K...