I-Malam

4.6K 190 2
                                    

Aku melihatnya. Nafasnya teratur, aku rasa dia bekerja lebih keras akhir-akhir ini. Punggungnya membelakangiku, seolah menandakan jika itu batasanku melihatnya. Meski begitu aku merasa itu bukan masalah besar, setiap pagi aku bisa memandanginya sampai puas sebelum ia berangkat kerja dan meninggalkanku. Membiarkanku kemanapun aku pergi tanpa memperdulikan bahwa aku istrinya. Ya, istrinya sejak lima bulan yang lalu.

Sebelum menikah dengannya aku mempunyai banyak khayalan, menjadi istri yang bahagia, memiliki suami yang mencintaiku dengan segenap perasaannya, melamarku secara romantis seperti yang sering kulihat ditelevisi. Mengadakan pernikahan bahagia yang semua orang tau bahwa dua insan manusia telah menjadi satu dalam ikatan pernikahan, malam-malam pasangan baru yang indah. Juga cinta, tentunya. Tapi aku tau sekarang, bahwa khayalanku tetap menjadi khayalan. Imajinasi dan keinginan yang tidak tersampaikan hingga kini, bahkan disaat aku sudah menikah dan mempunyai suami. Aku tidak mendapatkan khayalanku.

Malam ini masih sama, disatu kamar yang sama setelah dia mendapatkan haknya dariku ia memilih memunggungiku. Seolah menganggap aku tak ada disampingnya, didekatnya. Atau bahkan mungkin dihidupnya.

Ah, sekali lagi itu bukan masalah. Walau tak bisa aku pungkiri jika sikapnya menyakitiku, aku tetap mencintainya. Tetap menyayanginya tanpa ia tau. Aku tetap menunggu waktu dimana perasaanku tersampaikan padanya. Aku hanya ingin dia tau jika dia masih didalam hatiku sejak bertahun-tahun lalu. Debaran ini masih menggema dengan kencang setiap kali ia menatapku. Berbicara padaku juga memelukku.

Aku ingin dia tau jika aku memang benar mencintainya sebagai seorang wanita kepada lelaki, bukan karena masa kesedihanku yang ditinggalkan dia si masa lalu.

Taukah dia jika benteng yang ia buat membuatku merasa kecil? Merasa aku tidak bisa untuk menembus benteng itu, bahkan untuk menghancurkannya aku tak sanggup. Benteng itu terlalu kuat, terlalu tinggi dan kokoh jika harus dihadapkan padaku. Apalah aku? Hanya wanita biasa yang masih bertahan dengan hati yang sudah terkoyak, remuk tak bersisa karena ulahnya. Aku bertahan hanya karena kepingan-kepingan yang hancur masih saling berkaitan, menunggu benar-benar terlepas satu sama lain lalu pecah menimbulkan bunyi kesakitan yang tak bisa aku bayangkan.

Rasanya pasti sakit.

Angin menerbangkan rambutku, membuatnya semakin berantakan. Aku melirik jendela disebelah kanan. Ternyata benar belum tertutup rapat. Itu kebiasaannya membuka jendela dimalam hari hingga terlelap.

Aku berdiri, dengan selimut tebal yang membalutku seperti kepompong. Perlahan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara sedikitpun agar ia tidak terbangun karena ulahku. Aku menyempatkan diri menatap langit. Gelap, namun indah. Pikirku. Entah sudah berapa kali, setiap malam jika ada kesempatan aku selalu menyempatkan menatap malam. Mencoba memasukan keindahan gelapnya langit dalam khayalanku.

Meski gelap, bulan tetap menyinari malam. Tidak takut jika cahayanya bisa saja diambil oleh gelap yang pekat. Bulan tidak peduli itu. Yang ia pedulikan bahwa jika malam ada, dia harus ada. Disana. Menemani malam yang bahkan tidak kutau apa membutuhkan bulan untuk gelapnya? Disisi lain aku selalu melihat bintang yang setia pada bulan. Tidak peduli jika bulan menganggapnya ada atau tidak. Bintang tetap bersinar, menyamakan cahayanya dengan bulan. Berharap bulan melihatnya. Berharap bulan tau jika mereka memiliki cahaya yang sama, seolah menyadarkan bulan jika menemani gelap itu sia-sia karena hanya bulanlah yang bersinar. Tapi entah kenapa itu justru membuatku membentuk senyum. Lagi dan lagi.

Malam, bulan dan bintang seperti halnya aku padanya, dan dia pada seseorang yang lain. Yang aku tau, tidak pernah bisa ia lupakan meski sudah menjadikan aku miliknya.

"sedang apa?" aku tau suara itu, suara seraknya setiap kali membuka mata setelah tertidur cukup lama.

Kali ini tanpa menengok aku menutup jendela, benar-benar rapat hingga angin tidak menyapa kulitku seperti tadi. Kembali berjalan kearah tempat tidur dimana ia sedang terlentang. Menatapku dengan datarnya. Selalu seperti itu.

Mata itu tak pernah memancarkan kebahagiaan padaku. Mata itu selalu menatapku datar, seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa. Aku bagaikan orang asing yang ia temui selama hampir setengah tahun ini. Aku memang orang asing yang ia pilih untuk masuk dalam hidupnya.

"saya menutup jendela." ia masih dengan terlentang, tanpa sepatah kata ia membiarkanku berdiri disamping tempat tidur. Meski ia mengatakan kamar ini milik kami berdua, tapi aku masih merasa ijin darinya jika akan melakukan apapun. Seperti saat ini contohnya. Jika dia sedang disini, bersamaku. Aku tidak akan seenaknya merebahkan diri. Bagaikan patung aku hanya bergerak jika ia perintahkan. Jika tidak, aku diam.

"tidurlah." ia menggeser tubuhnya, memberikan aku posisi yang lebih luas.

Aku sudah terbaring disampingnya, menatap langit kamar dengan dinding berwarna biru muda ini. Untuk kamar yang satu ini aku merasa memang tempat ini spesial. Dengan warna kesukaanku juga suasananya yang membuatku betah berlama-lama.

Dia memunggungiku, membiarkan aku tetap terjaga sendirian. Ini sudah kebiasaanku. Insomnia sebenarnya tidak mengganggu, namun rasanya sedikit mengesalkan ketika pagi hari dengan waktu sempit untuk menyiapkan sarapan aku baru bangun karena tertidur dijam adzan subuh berkumandang.

"saya tau kamu belum tidur, maka dari itu berusahalah untuk tertidur. Kantong matamu akan terlihat besok."

Aku mengangguk pelan, berusaha sebisa mungkin padahal hatiku berteriak kencang. Perhatiannya. Ini terjadi hanya beberapa kali selama pernikahan kami.

Meski bisa terhitung dengan mudah, aku bersyukur. Ia masih mau mengingatkanku tentang betapa buruknya kantong mata besok pagi jika aku tidak melawan insomnia ini, dia masih ingat jika aku kesusahan tidur jika melewati batas jam tidurku.

Aku memejamkan mata, mengikuti ucapannya. Menutup mata dan merileks-an diri. Perlahan aku terpejam tanpa beban, terasa ringan dan nyaman. Yang aku ingat gelap, setelah itu aku bermimpi indah.

Meski aku mencintaimu dalam jarak sedekat ini, kamu tidak juga menyadarinya 'kan?





Aku hadir membawa cerita yang(menurutku) berbeda dari ceritaku yang lain.

Hm, tapi tidak ada salahnya mencoba keluar dari zona nyaman menulis kan?

Happy reading..

23:44

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang