Seharusnya pulang larut malam bukan hal baru bagi Fahri, namun malam ini setelah mendapat sedikit pencerahan dari Rey tentang apa yang sebaiknya ia lakukan agar ia bisa memahami keinginan hatinya sendiri. Maka Fahri mau memulai dari hal ini.
Ini adalah pulang larut malam terakhirnya.
Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna digarasi, Fahri mulai memasuki rumah yang gelap. Hanya lampu dapur yang masih menyala, menandakan bahwa wanita itu masih tetap menunggunya. Seperti apa yang sering dilakukannya.
Fahri melihatnya, dengan kepala yang tertelungkup dibalik kedua tangannya yang melipat dimeja. Selalu dengan ikatan rambut yang sama, anak-anak rambutnya jatuh menghalangi Fahri untuk melihat setiap inci wajah wanita itu. Entah kenapa, ada perasaan hangat menjalar dihatinya. Rasanya tenang juga menyenangkan. Suatu rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Fahri berdeham pelan, membuat wanita itu mengerjap. Menatapnya cepat.
“Fahri.” panggilnya pelan.
“iya.”
“saya beres kamar dulu.” Sasi hendak berdiri dari duduknya, namun suara Fahri menghentikannya.
“kita tidak makan dulu?” Fahri merasa tenggorokannya tercekat saat mengucapkan kalimat itu. Namun ia berusaha.
“mulai dengan makan bersama.” Fahri sangat ingat betul apa yang Rey ucapkan.
Sasi terpaku, menatap Fahri tidak percaya. “apa?”
Fahri mengambil kursi, duduk tepat dihadapannya dengan dasi yang baru saja ia longgarkan. “kita makan.”
“tapi-”
Fahri menatapnya, sesuatu yang sangat langka. “kenapa?”
“um, saya panaskan dulu kalau gitu.” Sasi beranjak memanaskan masakannya yang sudah dingin. Tidak memperhatikan bahwa Fahri sedang tersenyum tipis ditempatnya.
“mulai biasakan menatap matanya.” ucap Rey sambil mempraktikannya pada Fahri yang membuat pria itu mengernyit geli.
Dalam hati Fahri merasa sedikit lega. Karena Rey membantunya, atau karena kenyataannya menyenangkan memperlakukan Sasi dengan caranya yang baru.
Sasi kembali dengan hidangan yang sudah dipanaskan. Membuat ruang dapur terlihat hidup. Suara sendok juga piring yang bersentuhan bagaikan irama dimalam hari yang tak pernah Sasi dapatkan selama ini. Hingga mereka berdua melewati makan malam dengan keheningan. Tidak ada pembicaraan. Tapi bagi Sasi, ini adalah hal terbaik dalam pernikahannya. Hanya makan malam bersama.
Dalam tunduknya, Sasi tersenyum bahagia. Hatinya menghangat, seolah luka hatinya terobati dengan cepat.
“saya cuci piring dulu.” Sasi membawa piring bekas mereka ke wastafel, membiarkan Fahri kemana semaunya. Tapi Fahri justru mengikutinya, berdiri disamping Sasi. Menggulung lengan bajunya perlahan, membuat Sasi terpaku lagi.
“apa?” tanya Fahri, merasa diperhatikan.
“kenapa?”
“saya bantu kamu.”
Sasi menggeleng. “nggak perlu, saya biasa melakukan ini sendiri.”
Fahri mengambil sebagian piring kotor, menyalakan kran air. Mulai mencuci piring.
“saya juga makan.”
“Fahri-”
Fahri menatapnya, lagi. “Kamu bilang, satu bulan ini adalah satu bulan terakhir kita. Mari lakukan semua hal yang bisa kita jadikan kenangan. Sekarang saya izinkan kamu memiliki kenangan bersama saya.”
Kini keduanya saling tatap dengan lekat. “mari membuat catatan indah, untuk kita kenang nanti.”
Sasi membeku, seakan waktu terhenti hanya karena kalimat yang baru saja didengarnya.
**
Sasi hanyut membaca novelnya di balkon kamar, tidak menyadari bahwa Fahri berjalan menghampirinya.
“mari tidur, terlalu lama terkena angin malam tidak baik bagi kesehatan.” Sasi tersentak begitu saja, jantungnya terasa memompa begitu cepat.
“i-ya.” cepat Sasi menutup novelnya. Menutup jendela. Perlahan merebahkan tubuhnya, berusaha tenang dengan memejamkan matanya. Berharap suara detak jantungnya tidak begitu terdengar kencang.
Fahri menarik selimut, menutupi tubuhnya juga Sasi. Membuat wanita disampingnya semakin menggigit bibirnya. Menahan teriakan yang mungkin saja lolos.
“tidurlah, selamat malam.” ucapnya. Pria itu tidak memunggunginya, menghadap keatap. Memejamkan matanya seolah dengan mudahnya ia tertidur membiarkan Sasi menahan diri sendiri agar tidak lepas kendali hanya karena apa yang sudah ia lakukan malam ini.
Satu jam, Sasi masih terjaga. Terus memperhatikan sosok pria itu dengan seksama. Pria yang sangat sering menjatuhkannya, namun sialnya Sasi tidak pernah bisa menghapusnya. Ia terlalu melekat erat dihati Sasi. Sudah mengakar dalam.
“kenapa Fahri? Saat saya memutuskan untuk menyerah kamu justru membiarkan saya mempunyai kenangan tentang kamu?” Sasi berucap pelan. Tatapannya tidak melepaskan Fahri barang sedetikpun.
“saya nggak tau apa ini bagus atau tidak. Tapi saya senang kamu seperti ini, melihat saya ada disini bersama kamu. Rasanya menyenangkan..
Tapi kamu tau? Pada akhirnya saya tetap hanya akan menyimpan kamu dihati saya seperti sebelumnya. Menyimpan semua yang saya alami dengan kamu. Perpisahan kita, semuanya akan berakhir.” satu tetes air bening itu terjatuh.
“kamu tetap saja jahat, membuat saya menyimpan kenangan ini sendirian. Saya akan tersiksa dalam waktu yang lama, sangat lama. Kita bisa saja berpisah disini, kamu bisa saja pergi kemanapun. Kamu tidak akan terbebani dengan memikirkan saya, kamu tidak menganggap saya sebagai seseorang yang berarti bagi kamu.
Beda halnya dengan saya Fahri. Disini, saya sendirian yang akan menanggung semua rindu saya pada kamu.” Sasi menghapus air mata yang mulai membanjiri wajahnya.
“awal dan akhirpun, kamu tetap membuat saya membawa cinta ini sendiri.”
Disampingnya, dibalik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh mereka. Ada tangan yang terkepal kuat.
Akulah orang paling munafik dalam mencintai.
Berkata tak apa jatuh cinta sendiri,
Tapi selalu berdoa balas dicintai.—Sasikirana
Sebelum menjadi yang terlupakan,
Aku pernah menjadi orang yang paling dekat dengan kamu.
Menjadi yang selalu ada.
Dan menjadi paling pemaaf jika kamu melakukan kesalahan.—Salsabilla
Tidak ada yang bisa menggantikanmu.
Ceritaku dan kamu belum berakhir.
Perpisahan ini adalah sebuah jeda,
Percayalah.—Rey
Bagaimana aku harus bersikap?
Bersedih atau bahagia ketika aku berpisah dengan orang yang sering menyakitiku?
Namun dia juga orang yang aku cintai.—Sasikirana
Try to be rainbow, in someone cloud.
—Fahri
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...