Dua hari ini Fahri merasa tenang sekaligus merasa sedikit kehilangan disetiap paginya hanya karena pemandangan yang tidak biasa. Tidak ada Sasi yang membaca novel sebelum tidur. Tidak ada Sasi yang menyiapkannya sarapan telur mata sapi. Tidak ada Sasi yang mengurusi pakaian kerjanya. Tidak ada makan malam dengan senyuman wanita itu.
Fahri menggeleng pelan. Seolah berbicara pada dirinya sendiri jika memikirkan Sasi bukan hal yang seharusnya ia pikirkan. Bukankah harusnya ia senang karena tidak mendapati wanita itu di hidupnya? Harusnya ia senang dengan kepergian Sasi satu minggu. Ya, seharusnya.
Fahri membuat sarapannya sendiri, hanya terpikirkan omelette. Entah karena memang masakan itu paling mudah atau karena Sasi sering membuatkannya.
Fahri menggeram pelan. Kenapa mesti terus Sasi?
Bahkan Fahri merasa sudah gila saat suapan pertama omelettenya terasa persis seperti buatan Sasi, lebih parahnya Fahri melihat sosok itu sedang tersenyum padanya seperti saat Fahri mencicipi semua masakannya. Ia gila.
Bagi Fahri mungkin segala perasaan yang ia rasakan dua hari ini semenjak wanita itu pergi hanyalah sebuah rasa bersalah. Karena ia penyebab wanita itu menangis. Ia sang penghancur hati wanita itu. Karena ternyata meski Fahri memungkiri, ia hanyalah sumber kesedihan wanita itu. Fahri tau, dan Fahri tidak tau harus berbuat apa karena nyatanya ia memang membutuhkan Sasi di hidupnya. Wanita itu ia jadikan perisai dari kemungkinan-kemungkinan permainan cinta diluar sana jika tidak buru-buru mengikat diri pada pernikahan. Tapi Fahri juga sadar jika apa yang ia lakukan pada wanita itu hanyalah menyengsarakan Sasi perlahan.
Bersama orang yang tidak kita cintai. Fahri merasakan itu, dan tersiksa selama setengah tahun ini. Sungguh, batinnya tersiksa. Karena bukan ini yang Fahri inginkan.
Ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari nomor yang berhasil membuatnya menarik nafas keras dalam sekali tarikan.
“morning aa ipar!” diseberang sana sangat berisik, tapi telinga Fahri masih bisa mendengar sapaan yang bersemangat dengan jelas.
“ya.” sebenarnya Fahri malas berurusan dengan adik iparnya. Selain orangnya kepo, Tristan juga sering melakukan hal yang tidak sejalan dengan apa yang Fahri jalani selama ini.
“aa lagi apa?”
“sarapan.”
“pulang jam berapa hari ini, a?” rasanya Sasi pun tidak pernah menanyakan hal menggelikan seperti ini padanya.
“sore.”
“iya, sorenya jam berapa a? Kan ada jam 3 sore, 4 sore, 5 sore, 6 sore.”
“lima.”
“jam 6 Tristan tunggu dirumah bapak ya a! Assalamualaikum.” belum sempat Fahri menjawab apa yang adik iparnya katakan, sambungan telepon sudah terputus dari sebelah pihak tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu.
“waalaikumsalam.” dan kini yang ada dalam pikiran Fahri; untuk apa ia datang ke rumah keluarga Sasi tanpa kehadiran wanita itu?
Alarm diponselnya mengingatkan agar ia cepat berangkat, meski merasa lelah dengan apa yang terjadi pada perasaannya tapi Fahri tetap memaksakan langkahnya. Meninggalkan rumah, melajukan mobilnya membelah jalanan kota kembang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...