XXVI-Pemeran Antagonis

1K 95 2
                                    

Fahri meringis ketika merasakan perih disudut bibirnya, memang tidak parah namun tetap terasa.

Ia mengambil es di dapur kantornya, mengompres pelan-pelan lukanya. Ia tidak pernah tahu jika Taufan bisa memberikannya pukulan cukup kencang. Selama ini Fahri berpikir Taufan tidak pernah benar melayangkan tinjunya, ternyata ia salah.

Taufan menyeretnya, menarik kerah bajunya dengan kasar. Nafasnya menderu. Dan ketika Taufan melepaskan tangannya dari kerah bajunya, layangan tinju itu langsung mengenai sudut bibirnya.

"sorry, Fahri. Tapi kali ini lo benar-benar harus gue kasih pelajaran. Disini gue bukan cuma sebagai sahabat lo, tapi sebagai sahabat Sasi juga. Lo keterlaluan!" ujarnya, lalu pergi.

Fahri tersenyum sinis. Iya, saya begitu brengsek.

Sejenak Fahri memejamkan matanya, mengingat kembali Sasi dipikirannya. Wanita itu menghancurkan dirinya sendiri karena Fahri. Wanita itu terlalu hancur.

"Fahri?"

Fahri membuka mata, menatap Salsa yang kini sudah berada dihadapannya.

"Fahri kenapa?"

Tanpa menjawab pertanyaan yang perempuan itu layangkan padanya, Fahri berjalan meninggalkan tempatnya. Dan tanpa ia duga, perempuan itu mengikutinya dengan terus memanggil namanya pelan.

Sampai ia masuk kedalam ruangan, perempuan itu nekat masuk meski Fahri menutup pintu kantornya rapat.

"Fahri.." Fahri mengusap wajahnya kasar. Ia sedang tidak ingin terlibat percakapan dengan siapapun, dan ia juga lelah menghadapi Salsa yang kini sudah menatapnya khawatir.

Fahri tersenyum sinis. Kenapa perempuan itu khawatir melihat luka di sudut bibirnya? Mengapa perempuan itu tidak bisa melihat luka hatinya yang mendalam kala itu?

"Fahri, kenapa bisa kayak gini?" Salsa perlahan mendekat.

"Fahri baik-baik aja?" Fahri masih bergeming. Hingga akhirnya perempuan itu meraup wajahnya, membuat keduanya saling menatap dengan jarak dekat.

Sialnya, dalam diam keduanya Fahri merasakan jantungnya masih berdebar. Meski tidak sekencang dulu, ia menyadari bahwa perasaannya pada perempuan itu tidak pernah bisa ia pungkiri. Ia masih mencintai perempuan dihadapannya. Salsa.

Suara terjatuh itu membuatnya tersadar, mengalihkan pandangannya pada pintu ruangan yang sudah terbuka juga seseorang yang kini terduduk dilantai. Seseorang yang punggungnya saja Fahri kenali.

"Sasi.." panggilnya.

Wanita itu perlahan berdiri tanpa berbalik badan, menundukkan kepalanya. "Saya tidak apa-apa, hanya ingin melihat. Sepertinya kamu baik-baik saja. Permisi." lalu pergi meninggalkan Fahri yang baru saja ingin membantunya berdiri.

Ia terlambat.

Didepannya Salsa tersenyum, menyilangkan kedua tangannya di dada.

"jadi kayak gitu pilihan kamu sekarang. Lemah, ceroboh dan pastinya lebih sering kalah." kini Salsa menatapnya.

"kamu itu butuh wanita kuat, Fahri. Kamu butuh teman hidup untuk menguatkan kamu, menyemangati hidup kamu. Bukan seperti dia." Fahri menunduk sebentar, bukan meresapi lontaran kata Salsa. Tapi rasanya aneh ketika ia merasakan amarah dalam dirinya ketika mendengar semua perkataan Salsa tentang Sasi.

"dia tidak lemah. Dia justru kuat mencintai saya selama ini yang membeku karena dilukai kamu. Dia terus berada disisi saya bahkan ketika saya menganggapnya tidak pernah ada. Bukankah itu sudah menunjukkan betapa kuatnya dia didalam kehidupan saya?" Salsa terdiam, senyumnya tidak lagi mengembang.

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang