XXXI-Godbless

978 76 4
                                    

“Sasi..”

“ya?”

“saya pulang tepat waktu hari ini.” Sasi tersenyum tipis.

“iya.” dan mobil Fahri melaju kencang, meninggalkan Sasi dengan senyum yang tidak pudar.

***

Siang ini, Fahri mengunjungi cafe langganannya. Memesan coffe latte dengan red Velvet yang menggugah selera.

Dengan mata yang masih tertuju pada ponsel yang sedari tadi menampilkan banyak pesan di email-nya, Fahri tidak menyadari seseorang duduk dihadapannya.

“hi!” Fahri mendongak, menatap asal suara.

“gue gak nyangka bisa ketemu Lo disini, mungkin kita memang harus berteman.” cengiran lebar itu tidak berubah sejak pertama kali perkenalan.

“Rey.” ucap Fahri pelan.

“kamu lagi apa disini?”

“santuy.”

“apa?”

Rey memutar bola mata malas. “yaelah, gitu aja ketinggalan. Santai.”

Fahri mengangguk datar. “oh.”

Hening, Fahri menatap Rey yang fokus pada jalanan. “untuk saran kamu, terimakasih.”

Rey menatap Fahri, menunggu kelanjutannya. “sedikit berhasil.”

“baguslah, ternyata gue bermanfaat buat hubungan kalian. Seenggaknya gue gak selalu dimanfaatin.”

“apa?”

“haha.. Lo gak perlu berfikir buat kalimat gue.”

by the way, kenapa tiba-tiba lo mendengarkan apa yang gue bilang?”

Kini Fahri menyimpan ponselnya, menatap Rey lama. “kamu mau saya cerita?”

“kalau lo gak keberatan.”

Fahri menarik nafas sejenak, seakan mengeluarkan sesak di dadanya. “sejak awal pernikahan, saya tidak pernah merasa bahwa dia istimewa. Bahkan bagi saya, hidup tanpa dia adalah yang terbaik.”

“tapi, ternyata apa yang saya pikirkan tidak sesuai dengan apa yang saya rasakan. Ketika dia bilang, dia menyerah. Dia ingin melepaskan saya, hati saya mendadak sakit. Saya tidak bisa berpikir jernih.

.. saya tidak ingin dia pergi.”

Fahri meminum pesanannya, membiarkan cairan itu membasahi tenggorokannya.

“berapa lama kalian menikah?”

“bulan ini yang kedelapan. Kenapa?”

Rey mengusap dagunya. “menurut gue, cewek kalau udah menyerah itu tandanya dia capek sama semua perlakuan lo. Terutama karena Lo sudah sering bikin dia sakit hati.”

“saya sering mengabaikannya.”

Tatapan Rey menyelidik. “gue rasa Lo gak mencintai dia. Kenapa menikah?”

“karena saya gak punya pilihan.”

“maksudnya?”

“saat itu, saya gak bisa mempercayai satu orang pun untuk menggantikan seseorang dimasa lalu yang membuat luka dihati saya begitu dalam dan membekas.

.. hanya dia yang masih bertahan. Ditambah kala itu keadaan papa saya sangat tidak stabil. Penyakitnya sering kambuh, dan yang selalu dia eluh-eluhkan adalah ingin melihat saya menikah.”

Kini pandangan Rey berubah serius. “menikah hanya karena tuntutan keadaan, gak buat semuanya baik.”

“saya tahu, Rey. Sangat tahu. Tapi kamu tahu? Saat itu tidak ada pilihan lain. Saya gak mau bikin papa kecewa, apalagi saya adalah anak sulung. Ia mengharapkan semuanya dari saya terlebih dahulu. Lalu, saya harus bagaimana kala itu jika tidak mengambil keputusan ini?

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang