XLIV-Jadi Ratu'ku.

948 72 5
                                    

Sasi membuka mata, merasa terusik akan sinar matahari yang merambat masuk melalui celah jendela. Sangat terik.

Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi, waktu yang sudah jarang ia pakai sebagai waktu bangun tidur. Ia bergegas menuju ruang tengah, semalam Dika memilih tidur di sofa dan membiarkan Sasi tidur dikamar. Sebenarnya semalam Sasi sudah menolak, memaksakan diri agar tidur di sofa, tapi pria itu lebih bersikeras bahwa perempuan tidak bisa diperlakukan seperti itu. Dan akhirnya Sasi menurut.

Sasi menemukannya, masih terlelap dengan selimut yang semalam ia pakaian ketika pria itu sudah terlanjur ketiduran, untungnya Sasi susah tidur lantas memeriksa keadaan pria itu yang mungkin akan kedinginan waktu subuh.

Sasi tersenyum, kali ini benar-benar tanpa beban. Pria itu selalu bisa membuatnya lebih baik, bahkan kini ketika ia hancur karena pria lain, ia rela melindunginya, berusaha tidak terjadi apa-apa dengan mereka saat ini. Meski tidak bisa Sasi pungkiri, perasaan pria itu sama hancurnya kini. Memang tak terlihat diluar, namun perasaannya Sasi sangat memahami.

Ingin rasanya Sasi jatuh cinta saja pada pria yang kini masih mendengkur halus dengan tangan didada. Kenapa tuhan tidak membuat semuanya mudah? Membuat umatnya mencintai yang juga mencintainya. Sekarang yang Sasi pikirkan bagaimana ia bisa meninggalkan pria ini, bahkan pria yang membuatnya sakit. Sasi hanya ingin tenang, menghindar dari semua yang membuatnya berantakan. Ia butuh ketenangan. Hanya sendiri, ia dan hembusan angin.

Ponsel Sasi bergetar, baru ia hidupkan  sejak kejadian dipantai. Banyak pesan masuk juga panggilan tak terjawab. Diantara deretan nama-nama sahabatnya tertera nama Fahri yang menduduki peringkat teratas juga terbanyak. Tanpa sadar Sasi menghembuskan nafas lelah, sudut bibirnya tertarik sinis.

Termenung beberapa saat, nama Fahri muncul. Ragu Sasi akhirnya memilih tombol hijau, perlahan menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya.

"Hallo.."

Sasi diam.

"Sasi.."

Sulit rasanya mengucap sepatah katapun.

"Saya tahu kamu disitu, Sasi."

"Jawab saya, saya mohon." Tenggorokannya terasa kering, sampai rasanya sakit.

"Sasi.." panggilan itu, masih membuatnya berdebar sekaligus menghancurkannya secara bersamaan. Sakit.

Sasi terkesiap ketika ponselnya berpindah tangan, seseorang dibelakangnya tiba-tiba merebut benda pipih itu lalu mengambil alih.

"Sasi aman, dia baik-baik saja. Lo nggak usah khawatir, gue bisa jaga dia jauh lebih aman daripada lo."

"Siapa kamu?"

"Apa gue penting?"

"Saya nggak ada urusan sama kamu, kembalikan ponselnya."

"Buat apa? Lo cuma bikin dia sakit hati."

"Ini bukan urusan kamu. Saya punya penjelasan."

"Ini jadi urusan gue ketika lo sakitin orang yang gue sayang."

"Siapapun kamu, saya suaminya."

"Halah, suami macam apa yang malah mesra-mesraan sama cewek lain. Lo kira gue bego untuk nggak tahu semua itu?"

"Siapapun kamu, tolong beri saya waktu dengan Sasi."

"Waktu yang gue kasih selama ini sudah habis, jadi jangan berpikir gue bisa kasih lo kelonggaran lagi. Gue nggak akan biarin gue kecolongan lagi sama orang seperti lo. Jadi tolong, nggak usah hubungi lagi Sasi." Panggilan diputus secara sepihak, Dika mengembalikan ponsel yang kini hitam layarnya.

"Kamu kenapa?" Tanya Sasi, masih tidak bisa mencerna semua.

"Aku yang harusnya tanya, kamu kenapa?"

"Mungkin dia memang mau kasih aku penjelasan."

Dika tertawa sinis, bertepuk tangan. "Hebat ya, kamu itu sudah di permainkan sedemikian rupa tapi tetap berharap kembali. Kamu masih menginginkan dia? Masih mau menerima lukanya?..

.. akal sehat kamu, Sudah nggak terpakai gara-gara cinta kamu itu? Sadar, hati kamu ia patahkan, tangismu hanya karenanya. Dan kamu masih mau memberikannya kesempatan?" Sasi terdiam, menunduk perlahan.

"Kenapa tidak kita buat mudah? Cintai aku yang mencintai kamu, tinggalkan dia yang hanya membuat kamu terluka. Kamu lebih senang menderita daripada bahagia? Se-naif itu?"

"Aku hanya berusaha menghargai perasaanku sendiri."

"Tapi dia nggak menganggap kamu penting." Kata itu menusuk Sasi hingga ulu hati.

"Jika kamu penting, dia nggak akan mengabaikan kamu. Dia nggak akan membuat kamu kecewa terus menerus. Dia akan menjaga perasaan kamu..

.. Dia akan takut kehilangan kamu dengan berusaha sebaik mungkin membuat kamu tetap berada disisinya. Tapi nyatanya, ia bahkan hanya menggunakan kamu sebagai senjatanya."

Lidah Sasi kelu.

Dika menggenggam tangannya. Membawanya ke pelukan pria itu.

"Bersamaku kamu menjadi ratu, apa itu tidak cukup?"

Sasi terpaku, ia tidak menyangka bahwa pria ini tetap memberinya kesempatan.

"Aku sudah menghancurkan semua harapanmu, tapi kamu tetap memberi aku peluang. Apa bedanya kamu sama aku? Apa bedanya aku dengan dia yang kamu benci?"

"Karena aku tahu, kamu masih belum bisa melupakan aku. Karena aku tahu, aku bukan hanya bayangan biasa untuk kamu. Karena aku tahu, dalam hati kamu tidak hanya ada dia, tapi aku juga..

.. Aku hanya ingin membuat kamu yakin bahwa aku bisa lebih baik darinya, membuat kamu percaya bahwa pelukan laki-laki ini membuat kamu terlindungi. Membuat kaku mengerti bahwa aku mau melakukan apapun agar mawar yang aku jaga selama ini, hanya milikku."

"Jangan cintai aku, Ka. Aku hanya memberi luka."

"Jika luka mu bisa berubah menjadi bahagia, kenapa nggak?

.. cukup memilih aku, maka semua duka menjadi bahagia."

"Pilih aku saja, menjadi ratu-ku akan sangat menyenangkan."

Aku menyayangi mu,
Dan itu tidak salah.

-Dika

Aku diam bukan berarti baik-baik saja.
Hanya saja Aku tak tahu lagi bagaimana cara menyampaikan rasa hati yang sesak ini.

-Sasikirana

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang