XXII-Takdir

1.1K 84 2
                                    

Dulu, ketika aku pertama kali menatapnya secara dekat. Jantungku berdegup hebat hingga rasanya aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri. Pertama kalinya kami berhadapan dengan dia meminta pertolongan yang sangat berat namun aku terima dengan kesenangan hati.

Dia mengajakku menikah. Sungguh, itu semua diluar ekspektasiku.

Selama ini aku hanya melihatnya dari kejauhan, melewati kelasnya hanya ingin memastikan dia masuk sekolah apa tidak jika aku tidak melihatnya melewati kelasku. Aku yang hanya bisa curi-curi pandang ketika ia sedang berada diujung lorong mengobrol dengan temannya. Atau aku yang tersenyum kegirangan ketika tidak sengaja kami bertatapan meski hanya sekilas.

Ah,begitu indahnya masa itu.

Tahun berganti, meski rutinitasku disekolah hanya menatapnya dari jauh lalu memekik senang ketika ia melewatiku. Aku tidak bosan, itu justru menjadi acuan semangatku agar tidak malas-malasan.

Namun waktu bergulir, hingga acara perpisahan pun kami lalui. Ingin rasanya menjabat lengannya hanya untuk mengatakan sampai jumpa, semoga kita bertemu dilain waktu. Tapi rasa malu terlalu cepat menyebar ditubuhku, hingga aku hanya bisa diam ketika semua berfoto dengan siapapun yang mereka inginkan. Aku hanya mampu melihatnya bercanda tawa lalu berfoto bersama teman-temannya dengan bahagia. Hari itu, aku tidak bersemangat sama sekali. Hari itu menjadi hari terakhir aku melihatnya. Karena hari-hari berikutnya aku sudah tidak tahu dimana ia berada.

Empat tahun berlalu, aku hanya fokus dengan gelar strata yang ku kejar. Sesekali mencari informasi tentangnya lewat siapapun yang aku tahu mengenalinya. Kadang juga diwaktu senggang aku stalking semua akun media sosial yang ia punya setahuku. Hanya ingin tahu bagaimana kabarnya, apa saja yang ia lakukan atau hanya untuk melihat fotonya dari masa kemasa.

Aneh rasanya, merindukan seseorang yang bahkan tidak tahu ia dirindukan. Geli rasanya tersenyum tidak jelas hanya karena mengetahui bahwa ia baik-baik saja. Jatuh cintaku, memang selalu memalukan.

Aku merasa masih berada dimasa-masa SMA. Mencintainya sangat menyenangkan. Mencintainya membuat adrenaline ku terpacu setiap saat. Hanya mengingatnya saja mukaku panas lalu memerah, seakan-akan sungguh ia sedang berada didepanku.

Oh, Tuhan. Rasanya aku sedang bahagia-bahagianya hanya karena seorang makhluk ciptaan-Mu.

Namun dibalik semua kegembiraan yang aku rasakan dari mencintai, aku menyadari bahwa aku hanya cukup diam. Ia takkan pernah melihatku ada dalam hidupnya, aku hanyalah orang asing yang terpinggirkan. Maka kurasa, biarlah aku menikmati cinta ini sendirian.

Hingga akhirnya setelah sekian lama aku tidak melihatnya dalam raga yang sesungguhnya, hanya mampu menganggumi dari foto-foto disosial medianya. Ia mengajakku bertemu, lewat salah satu jejaring sosial yang ia punya. Tentu, rasa yang kudapatkan hanya karena ajakannya membuatku seperti orang kehilangan akal.

Aku tidak bisa tidur, ingin segera esok. Jadi yang terbaik sebisaku. Dari aku yang se-apa adanya setiap hari, berubah menjadi seseorang yang lain. Sisi putriku rasanya keluar. Hanya bertemu dengannya.

Hari yang kunantipun tiba, sesuai dengan tempat yang ia ajukan aku setuju. Pada waktu itu kami bertemu sebelum senja. Aku sangat hafal sekali.

Aku menunggunya, dengan harap-harap cemas. Perutku mulas tidak karuan, kebiasaan jika nerveous. Cokelat dingin yang kupesan belum sedikitpun aku minum. Aku terlalu bersemangat hingga rasanya minumpun aku bisa menahannya untuk nanti.

Lalu menemukannya berjalan dari seberang sana. Masih sama seperti terakhir kali diacara perpisahan itu. Hanya gaya rambutnya saja yang berbeda, kulitnya jadi lebih putih dari terakhir aku melihatnya. Juga tingginya yang lebih dari terakhir aku mengingatnya.

Ia berjalan ringan, seolah aku bukanlah orang spesial. Sementara ditempatku, tubuhku seperti bergejolak. Panas dingin, detak jantung yang tak beraturan. Sekali lagi, aku merasa masih menjadi abg labil diumurku yang sudah menginjak kepala dua.

Dia memasuki cafe, kulihat seperti mencari seseorang hingga akhirnya kami saling menatap. Dia terdiam, seolah mencoba mengingat hingga akhirnya ia melangkah menuju kearahku. Aku hanya bisa diam, menunggunya dengan teriakan kencang dalam hati.

Dia menarik kursi, memesan makanan lalu diam. Tidak ada pembukaan obrolan, dia hanya menatapku sesekali dengan tatapan datarnya. Aku hanya bisa menunduk tanpa ingin melihatnya. Kurasa pipiku sudah sangat merah. Bukan hanya pipi, seluruh wajahku memerah.

“hai.”

Aku mendongak, mengangguk perlahan pertanda sebagai jawaban atas sapaannya.

“Sasi.” ia menyebut namaku dengan pelan. Namun aku bisa mendengarnya.

“maaf jika ganggu waktu kamu.”

“saya gak ada acara.” dia mengangguk, membiarkan pelayan mengantarkan makanan yang dia pesan lalu keadaan kami hening kembali.

“tujuan saya mengajak kamu bertemu disini cukup berat, apalagi kita tidak dekat sewaktu SMA.” aku tidak mengerti apa yang ia maksud berat.

“apa benar, sejak dulu kamu menyukai saya seperti apa yang sering Taufan ceritakan?” Taufan. Orang itu yang akan pertama kali aku kunjungi setelah pertemuan ini selesai. Bagaimana bisa ia membongkar aibku yang selalu membicarakan Fahri setiap saat?

Malu, namun aku mengakui bahwa itu benar. “iya.” aku tidak bisa menampakan wajahku padanya.

“kalau begitu, bisa kamu tolong saya?” perlahan aku mengangkat wajahku, melihatnya yang kini menatapku lekat.

“apa?”

“menikahlah dengan saya.” dan aku rasa duniaku berhenti berputar dari porosnya.

Aku tidak pernah berpikir akan bisa memilikinya semudah ini, namun aku salah. Pada kenyataannya kami memang bersama mengikat janji suci, tapi ia tak pernah mencintaiku. Dan aku tak pernah memilikinya sedikitpun.

Rindu ini curang, ia selalu datang kepadaku setiap saat.

—Sasikirana

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang