II-Teman Kerja

2.4K 153 2
                                    

Matahari telah menyapa dunia dengan sinarnya yang terang, memberitahukan semua makhluk bumi bahwa hari pagi kemarin telah berganti, dan mengingatkan betapa kita harus bersyukur karena sang maha pencipta masih memberikan kita kesempatan membuka mata dan bernafas.

Seperti apa yang disyukuri wanita dengan rambut yang sudah digulung asal, merapikan sprai kasur berwarna cokelat dengan bersenandung kecil serta senyum pagi cerahnya.

Terimakasih Tuhan karena aku masih bisa terbangun pagi ini.
Masih bisa tersenyum, masih bisa melihat dunia dan masih berada disampingnya.

Suara gemercik air dari kamar mandi menandakan jika seseorang didalamnya sedang membersihkan diri untuk siap-siap bekerja, membiarkan wanita ini mengerjakan semua keperluan paginya.

"saya harap kamu sarapan pagi ini, tidak terlalu terburu-buru kan?" wanita itu menatap lelaki dengan tinggi lebih enam centimeter darinya sambil terus tersenyum ramah, matanya memancarkan binar penuh pengharapan agar dihari senin pertama bulan akhir tahun suaminya mau menghabiskan sarapan yang ia buat sejak delapan menit yang lalu.

Lelaki itu melirik jam tangan cokelat dilengan kirinya, menimang apakah waktunya-cukup lebih atau hanya berada dikata cukup.

Senyum wanita itu semakin lebar kala suaminya mengangguk singkat dan pelan, berjalan kearah dapur tanpa menunggu dirinya.

Tidak apa.

Dapur rumah bernuansa warna putih ini memang modern, semua alat juga kelengkapannya sangat diatur apik dan juga-selalu dibuat rapi. Meski jarang digunakan, hanya pada waktu sarapan dan makan malam. Kadang-kadang.

Mereka makan dalam diam, hanya suara garpu juga sendok yang bersentuhan dengan piring membuat suasana tidak terasa mati. Menandakan ada kehidupan dirumah ini pada pagi hari.

"mungkin malam ini saya akan pulang agak malam, Nala ulang tahun. Sebenarnya ulang tahunnya seminggu yang lalu, tapi saya dan yang lainnya sepa-"

"tidak apa-apa." potong lelaki itu, tanpa melihat sorot sedih dari mata yang selalu tulus mencintainya.

Lelaki itu menarik nafas pelan, seperti sedang mengontrol emosi pada dirinya sendiri. Istrinya diam, tidak berbicara atau bahkan mengangguk. Itu tandanya ada yang salah dari ucapannya, ia tau itu. Memahami istrinya tidaklah sulit. Wanita didepannya mudah ditebak.

"Sasi." panggilnya pelan, berhenti dari kegiatannya mengunyah. Fokus menatap istrinya yang belum juga mau menatapnya.

"Sasi, lihat saya." ucapnya tegas, tidak peduli jika yang ia panggil Sasi bertambah sedih atau perasaan tidak mengenakan lainnya. Ia hanya tidak ingin terlalu banyak membuang waktu.

"saya sudah bilang sejak awal, saya membebaskan kamu untuk segala urusan kamu. Saya tidak mau mengekang apalagi membatasi kamu. Kamu punya hidup kamu, begitupun saya. Bukankah sejak awal kamu sudah tau itu?" wanita itu-Sasi mengangguk kaku, perlahan menundukkan pandangannya.

"saya tidak mau kamu merasa terbebani karena saya, cukup pernikahan ini yang membebani kita." setelah mengatakan kalimat yang menusuk hati Sasi, lelaki itu pergi. Menutup pintu tanpa berpamitan atau mencium kening Sasi-istrinya. Bahkan tidak pernah ia lakukan barang sekalipun, sampai saat ini.

Tutupan pintu bertepatan dengan airmata Sasi yang jatuh dipagi hari, bersamaan dengan hatinya yang kembali merasa ada retakan baru. Bunyinya memilukan. Perih. Yang bisa wanita itu lakukan hanya menutup mata, menahan segala gejolaknya sendiri tanpa mau berbagi. Ia hanya ingin merasakan kesengsaraan hati sendiri, biar hanya dia yang mengetahui rasanya. Rasa patah hati yang menyakiti.

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang