XXXIX-(masih) Liburan Hari Ketiga

816 79 6
                                    

Fahri menuntunnya, membawa wanita itu mengikutinya. Meski mereka hanya berjalan kaki, awan hitam seperti menemani mereka agar teriknya sinar matahari tidak membuat peluh mereka mengucur deras. Fahri menggenggamnya, sangat pas seperti memang lengan itu tercipta untuknya.

"Tunggu disini." Pria itu masuk ke sebuah supermarket 24 jam, membuat Sasi menunggu dengan diam.

"Ini." Satu cup ice cream dingin rasa cokelat terulur dihadapan Sasi, membuat wanita itu tersenyum pelan. Mengisyaratkan terimakasih dan Fahri mengetahuinya.

"Kamu suka?" Pertanyaan Fahri memecah keheningan.

"Ya, terimakasih.."

"Saya kira kamu nggak suka."

"Kenapa nggak suka? Sesuatu yang manis, saya suka. Setidaknya untuk memperbaiki mood saya.." kini wanita itu mau menatapnya dengan senyum tipis yang akhir-akhir ini membuat Fahri tenang.

"Kamu bisa cerita sama saya tentang apa yang membuat mood kamu tidak baik."

Lama terdiam hingga hembusan nafas terdengar cukup keras. "Saya pernah gagal menyelamatkan seseorang.. yang sampai saat ini membuat saya tidak mempercayai diri saya sendiri." Fahri tahu senyum yang diperlihatkan wanita itu mengartikan kesedihan, tanpa aba-aba Fahri merangkulkan tangannya, menarik wanita itu mendekat.

"Kamu tidak boleh menyalahkan diri kamu sendiri, saya yakin apa yang sudah kamu lakukan adalah yang terbaik yang kamu berikan. Hanya saja Tuhan sudah mempunyai rencana-nya sendiri." Sasi mengangguk pelan.

"Saya tahu, tapi rasanya tetap saja menakutkan."

"Tapi kamu melakukan hal luar biasa hari ini." Keduanya memilih duduk dibawah pohon besar, keduanya sampai dipantai yang lebih sunyi dari kemarin.

Angin menyapu kulit keduanya, berhembus cukup kencang hingga menerbangkan anak rambut Sasi yang tidak terikat.

"Kamu beruntung Fahri.."

"Tentang apa?"

"Ketika kamu merasa hampa, menyalahkan diri sendiri pelukan ibu bisa menenangkan kamu. Bapak bisa mendengarkan kamu, juga Aryan bisa menghibur kamu. Tapi saya tidak..

Ketika saya sedih, saya hanya bisa berdiam sendiri. Dikamar memeluk diri sendiri, bercerita sendiri, mengkasihani diri sendiri lalu menangis. Setelahnya saya menguatkan diri sendiri agar tidak terlihat menyedihkan." Tawa pelan itu terdengar sangat pilu.

"Saya tidak seperti kamu ataupun yang lainnya yang bisa dengan mudahnya mendapatkan pelukan seorang ibu, tidak bisa leluasa meminta seorang ayah mendengarkan segala keluh kesah saya juga tidak berhak meminta Tristan untuk selalu menghibur saya.. memang benar, adakalanya seseorang itu benar-benar sendirian meski terlihat punya banyak orang disekitarnya.." Fahri terdiam, menatap wanita disampingnya dengan sakit.

"Ketika saya senang, sedih saya hanya bisa berbagi kebahagiaannya saja dengan orang lain, tidak dengan kesedihannya. Karena berpura-pura semuanya baik-baik saja itu lebih baik kan?"

Fahri menggenggam tangannya. "Memperlihatkan kamu kuat sama saja kamu membiarkan dunia tidak mengkhawatirkan kamu, tidak semuanya harus ditutupi dengan 'baik-baik saja' Sasi."

"Tapi lebih baik seperti itu, tidak perlu dunia tahu bahwa saya sangat terluka.."

"Kamu punya saya, itu artinya kamu tidak sendiri. Jangan biarkan kamu kesepian lagi." Perasaannya menghangat, Sasi tersenyum tulus. Kali ini ia bahagia, kata 'punya yang pria itu katakan seolah menyiratkan jika Sasi memilikinya. Namun senyum itu tidak bertahan lama, secuil hatinya merasakan sakit ketika menyadari jika apa yang pria itu katakan hanya sebuah ungkapan mengkasihaninya, jika apa yang pria itu ucapkan hanya karena suasana mereka kali ini.

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang