L-Tetap Disini

915 71 2
                                    

Liburan kali ini Sasi merasa tak sendiri, para sahabatnya datang mengunjungi Sasi tak lupa membawa berbagai macam makanan juga cemilan. Mereka sudah menghabiskan setengah hari untuk bersenda gurau, berhasil membuat Sasi melupakan apa yang menyesakkan dada juga pusing dikepala karena masalah yang berlarut-larut. Mengenai Dika yang kini ia pertimbangkan kembali, ataupun Fahri yang masih belum bisa ia lupakan seutuhnya.

"Kapan balik?" Ara bertanya sembari memasukan beberapa kentang goreng ke mulutnya.

"Senin besok balik, gak enak kerja ditinggal lama-lama."

"Memang masa cuti lo berapa hari?"

"Gue punya dua minggu." Nala mengangguk-angguk. Sambil mencuri beberapa kentang goreng ketika Ara lengah.

"Jadi mau kayak gimana akhirnya, Si?" Pertanyaan Elvin membuat Sasi menatapnya lama, berpura-pura tak mengerti.

"Apanya?"

"Kamu dan dia."

"Mungkin memang harus sampai disini..?" Elvin paham betul jika Sasi ragu, namun disini Elvin hadir untuk membantu Sasi menentukan pilihan terakhir agar penyesalan tak menghampirinya kelak.

"Yakin kamu sudah mantap untuk berhenti?"

"Ya.. untuk apa dilanjut kalau memang pada dasarnya nggak bisa? Gue yang memaksakan takdir, jadi gue juga yang terima kalau gue kalah akan kemauan gue sendiri."

Elvin menatap Sasi dalam, mencoba mencari tahu sebenarnya apa yang diinginkan wanita 25 tahun itu.

"Yah, gue tau akan berat rasanya membuat status baru. Tapi setidaknya dengan keputusan ini, dia nggak akan tersiksa sama gue lagi dan begitupun gue. Perlahan melupakan dia, seperti saran kalian." Ada getir dibalik senyum yang Sasi pancarkan.

"Sasi, kamu bisa bohongi kita semua disini. Tapi, kamu nggak bisa bohongi diri kamu sendiri. Aku yakin, jauh di dasar sana kamu masih ingin bersama dia? Masih ingin mencoba meluluhkan dingin hatinya, masih ingin terus bersabar disisinya. Iya kan?"

"Si, gue tau lo sedang nggak baik-baik saja. Tapi tolong, jangan memperparah diri sendiri dengan berbohong disituasi kayak gini. Kalau masih mau, lo bisa bicara baik-baik, buat komitmen serius dengan dia mulai dari sekarang untuk menjaga perasaan masing-masing. Kalau nggak, ya sudah bicarakan akhirnya apa yang lo pilih. Jangan terus diam, menghindar lalu nggak membenarkan semuanya."

"Gue mungkin awam soal begini, tapi gue setuju dengan pendapat mereka berdua. Meskipun lo lebih bijak dari kita, tapi kadang saat lo seperti ini kita pun bisa menuntun lo untuk mengambil langkah yang nggak bikin lo menyesal nanti. Percaya deh, kita semua peduli." Timpal ara, mengusap punggung Sasi, tidak peduli lagi ketika Nala mengambil segenggam kentang gorengnya secara terang-terangan.

Sasi hanya tersenyum tipis, bagaimana pun rasanya sulit menentukan pilihan. Ia benar-benar bingung akan jalan yang harus ia pilih kali ini. Tidak mudah bagi Sasi, bagi hatinya.

"Sasi.." panggil Mami dari luar, membuat Sasi segera menghampiri.

"Kenapa, mi?" Sasi sudah berdiri dibelakang mami yang di depannya seorang pria sedang berusaha tersenyum padanya. Dengan tulus.

"Ada yang mau bicara sama kamu." Mami menghadapnya, tersenyum lega.

"Lebih baik bicara di halaman belakang, disana sejuk banyak tanaman juga pohon yang rindang. Kalian tidak akan kepanasan." Ajak Mami sembari menuntun Fahri yang tetap mempertahankan senyumnya, agak sedikit canggung tapi sepertinya mami sangat senang. Berbeda dengan reaksi Sasi yang kini mengikuti mereka dari belakang.

Reaksi yang ditampilkan para sahabatnya pun sama seperti Sasi, tidak percaya dan berpikir mimpi Fahri datang menemui Sasi. Hanya Nala yang berbeda, tersenyum lebar sambil mengedipkan sebelah matanya menggoda yang tidak Sasi tanggapi.

"Nah, mami buatkan minuman ya. Kalian silahkan berbincang sepuasnya." Mami meninggalkan mereka berdua. Tak ada yang bersuara, Sasi melangkah pelan menjaga jarak dari pria yang menarik ulur hatinya. Tanpa Sasi duga, pria itu mengikutinya. Bahkan ikut duduk disampingnya.

"Menurut kamu, basa-basi dahulu atau meminta maaf?" Sasi tidak mengindahkan suara disampingnya.

"Kalau begitu, maaf saya baru berani mengunjungi kamu setelah kita tidak berkabar. Maaf karena saya tidak langsung menjelaskan kepada kamu semuanya."

Sasi tahu, kini pria itu memandangnya. Sasi bisa merasakannya dengan jelas.

"Saya ingin bertanya kabar, tapi terlihat kamu baik-baik saja saya tidak terlalu khawatir."

Hatiku yang nggak baik-baik saja.

"Ada lagi yang mau kamu bicarakan?" Setelah tidak ada lagi kata yang terucap dari bibir pria disampingnya Sasi memberanikan diri mengeluarkan suaranya meski terasa berat.

"Banyak, tapi saya nggak tau harus mulai darimana. Maaf."

"Kalau begitu, kita sudahi saja." Sasi berdiri, mulai beranjak pergi. Namun langkahnya terhenti sejenak, membalikan badan.

"Saya akan mulai mengurus perceraian minggu depan." Dengan sigap Fahri mencekal lengannya, membuat jarak mereka lebih dekat.

"Apa maksud kamu?"

"Kita sudahi semuanya, Fahri. Seperti niat awal kamu. Sekarang saya sudah bisa menerima kehilangan kamu, karena pada dasarnya dari awal saya tidak pernah memiliki kamu."

"Jangan berbicara ngawur lagi, kamu sedang tidak sehat."

"Saya nggak sakit." Sasi berusaha melepaskan cekalan pria itu, namun semakin ia berusaha semakin kuat lengannya ditahan.

"Berhenti membuat lelucon, saya tidak sedang mengajak kamu bercanda."

"Saya juga nggak bercanda, kita sudahi. Saya akan urus perceraian minggu depan." Fahri menarik Sasi lebih dekat, kini bahkan Sasi bisa mendengar detak jantung Fahri yang kencang.

Sekali hentakan Sasi melepaskan cekalan Fahri, dengan cepat menjauh namun kali ini ia terdiam ketika sebuah tangan membalikan tubuhnya lalu mengecup  bibirnya tiba-tiba. Hanya menempel membuat Sasi terdiam. Seakan tersirat makna jika pria yang kini sangat dekat dengannya tidak ingin melepaskan Sasi. Sungguh-sungguh.

"Tetap disini, bersama saya."

Secara psikologi,
Lo gak akan pernah bisa memaksa otak lo buat melupakan seseorang.

-Naladhipa

Sesekali jatuh cintalah dengan logika,
Agar kamu mengerti; perihal mencintai tidak seharusnya kau melulu yang berjuang terus seorang diri.

-Arabella

Kamu bahagia saja.
Yang gugur biarlah daun.
Yang jatuh biarlah aku.

-Sasikirana

Ya begitulah.
Beberapa orang bisa menjadi seenaknya sendiri saat ia tau,
Didalam hati seseorang ia begitu sangat dicintai.

-Elvina

Aku selalu ingin bicara denganmu.
Mungkin tentang rindu di telapak tanganku saat ini.

-Fahri

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang