Sasi membuka mata perlahan, sinar mentari mengusik tidur nyenyaknya. Pandangannya terpaku pada seseorang yang kini menatapnya.
“selamat pagi.” kalimat itu, membuatnya tersenyum tipis sambil terpejam. Sasi berharap mimpi dimana Fahri mengucapkan selamat pagi adalah mimpi indahnya untuk mengakhiri tidurnya kali ini. Tapi setelah beberapa lama, Sasi rasa yang terjadi bukan mimpi. Karena didepannya Fahri masih menatapnya tanpa melakukan gerakan lain.
Sasi mengerjap cepat beberapa kali, berharap ia tersadar dari mimpinya. Hingga Sasi mencubit lengannya sendiri dan rasanya sakit.
“ini bukan mimpi.” lirihnya. Menutup rapat matanya kini dengan segenap rasa malu diseluruh tubuh.
Fahri menyapanya sepagi ini. Luar biasa, batinnya.
“ayo, bersiap. Kita akan sarapan kan?” Fahri beranjak dari tempat tidur, menunggu sahutan Sasi.
“iya.” Sasi mengangguk pelan. Fahri mengangguk kecil, berjalan menuju kamar mandi setelah mengambil handuknya yang tergantung.
Fahri berbalik. “Sasi..”
“ya?”
“sapaan saya belum kamu jawab.” Sasi menatap bingung, hingga akhirnya ragu sahutan itu berani Sasi sampaikan.
“selamat pagi juga, Fahri..” setelahnya pria itu berbalik badan, menghilang dibalik pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Meninggalkan Sasi yang masih terdiam ditempat tidur.
Pagi kali ini, sangat istimewa.
Sasi sudah menyiapkan beberapa sajian untuk sarapan kali ini, berbekal pembelajaran masak di YouTube yang mudah dan gampang di praktikan maka Sasi tersenyum puas melihat apa saja yang sudah terhidang dimeja makan. Berharap Fahri mau, sekedar mencicipi pun tak masalah.
“hai.” sapa Sasi canggung saat Fahri baru saja memunculkan wajahnya.
“saya sudah belajar resep masakan, saya harap kamu suka.” Sasi mulai mengambil nasi, juga beserta lauk pauknya. Memberikannya pada Fahri.
“selamat makan.” Perlahan mereka mulai makan, dalam hatinya Sasi khawatir jika Fahri tidak menyukai masakannya. Atau kurang pas di lidah pria itu, tapi bersyukurnya sampai acara sarapan berakhir. Pria itu terlihat tidak menunjukan adanya masalah.
“masakan kamu, enak.” Sasi tersenyum lebar mendengarnya. Menatap pria yang kini sedang membereskan piringnya.
“iya? Kalau gitu saya akan sering belajar lagi, biar bisa masakin kamu lebih banyak makanan.” Fahri tersenyum tipis, membiarkan wanita itu membawa piring kotor dan mencucinya.
Jika biasanya ia akan pergi begitu saja seperti terburu-buru, kali ini tidak. Yang Fahri lakukan setelah sarapan adalah menonton tv, suatu hal yang berbeda. Yang baru Sasi lihat.
“kamu sedang tidak terburu-buru, Fahri?” Fahri menengokan kepalanya kebelakang, mendapati Sasi berjalan menghampirinya.
“tidak.” ujarnya.
“saya senang kamu tidak terburu-buru.”
“ya.”
“Fahri..”
“ya?”
“lihat saya, bisa?” Fahri melihat Sasi disampingnya, tersenyum lalu mendekat. Jarak yang ada seakan tersapu perlahan. Fahri merutuk dalam hati, mencoba mengingatkan pada diri sendiri jika ia bukan ABG labil. Ia sudah dewasa dan menikah. Hal seperti ini harusnya tidak membuat jantungnya berdebar. Tapi semua yang terjadi pada tubuhnya, diluar kendali.
Wajah Sasi semakin dekat, hingga keduanya bisa merasakan nafas masing-masing. Hingga akhirnya Sasi berkata.
“dasi kamu selalu tidak rapi, saya rasa kamu harus ikut tutorial berdasi.” Sasi merapikan dasinya, membuka ulang lipatannya lalu dibenarkan. Membuat Fahri terdiam, seakan tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Atau apa yang harus ia ucapkan. Sampai Sasi menjauh karena dasinya sudah benar.
Ada rasa kecewa yang muncul, menyisakan hawa panas yang Fahri tidak mengerti kenapa. Seperti ia tidak puas, entah untuk apa.
Fahri berdeham. “terimakasih.”
“tidak untuk itu, Fahri. Saya senang melakukannya. Dari dulu saya berharap bisa menjadi seseorang yang kamu andalkan, untuk apapun. Akhirnya ada satu hal yang tercapai, mungkin itu bukan suatu hal besar bagi kamu. Bisa saja kamu meminta wanita-wanita lain membenarkan dasi kamu, tapi dengan membiarkan saya melakukannya. Saya senang, Fahri.” Sasi menatapnya.
“terimakasih ya.” senyuman lebar itu menghiasi wajahnya, matanya yang cokelat juga mengucapkan hal yang sama.
“ya.” jawab Fahri canggung.
“kamu berangkat kerja jam berapa?” Fahri memberanikan diri bertanya.
“sebentar lagi, saya lagi pesan taxi online.”
“cancel.”
“hah?”
“sama saya.” Fahri bersiap pergi, menunggu Sasi yang masih bergeming di sofa.
“kalau kamu diam terus, saya tinggal.” secepat kilat Sasi berdiri, menyusul Fahri setelah memastikan rumah terkunci rapat.
“apa benar nggak apa-apa kita berangkat bareng?” tanya Sasi ketika baru saja bokongnya duduk di kursi depan.
“kenapa?”
“saya takut kamu repot.”
Fahri menatapnya. “apanya yang repot pergi bersama istri?”
Meski sepanjang perjalanan tidak ada percakapan, tapi senyuman Sasi tidak luntur sedikitpun.
Bagi Sasi, paginya kali ini sungguh lebih dari kata luar biasa. Pria itu, mungkin tidak semanis pria lain. Tapi hanya dengan membiarkan Sasi disisinya, membiarkan Sasi berada di hidupnya tanpa batasan. Bagi Sasi, pria itu sudah menjadi pria terbaik dihidupnya.
Bahagia untukku sangat sederhana.
Disisimu, kita saling bertatap.
Semua hal yang tak biasa menjadi biasa,
Sudah lebih dari cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...