Tangisan perempuan itu masih terbayang jelas, seakan sulit lenyap dari fikirannya. Ia masih ingat bagaimana Perempuan itu perlahan terdiam, mendengkur halus lalu tak banyak bergerak. Tangisannya memang tidak kuat, tapi Fahri tau tangisan Itu karena hal yang tidak sembarangan. Fahri cukup mengerti.
Dalam hatinya Fahri bertanya apa yang membuat Perempuan itu menangis seperti menanggung beban yang sangat perih. Seakan baru saja lukanya disiram air garam.
Memang hal keluarga adalah hal yang paling sensitif, apalagi ia baru mengetahui bahwa ternyata hidup Sasi tidak selurus apa yang difikirkannya.
“kamu gak Hamil diluar nikah kan Sasi?”
“kenapa pernikahan kalian seperti tertutup? Apa kamu Jadi istri simpanan? Pejabat atau menteri?”
“jangan Sampai kamu mengikuti langkah Ibu kamu yang mau-maunya Jadi yang kedua, apalagi Sampai hamil diluar nikah.”
“memangnya sesibuk apa kalian Sampai menikah pun hanya dengan acara syukuran sederhana? Kamu tau kan keluarga kita Itu terpandang. Memalukan. Untungnya tidak banyak yang tau kalau kamu turunan Purwandana. Terimakasih karena kamu sadar untuk tidak memakai nama keluarga kita hanya untuk orang seperti kamu.”
“singkatnya begitu a.”
Fahri masih termenung, memandangi Perempuan yang kini tertidur di bahunya. Setelah menangis satu jam penuh.
Fahri menoleh, mendapati Tristan berjalan pelan kearahnya.
“Tristan gak suka lihat teteh kayak gitu.” Fahri masih terdiam, menunggu kalimat-kalimat selanjutnya yang akan mengalir dengan sendirinya.
“uwa Miya memang nyebelin dari dulu, Tristan gak suka. Mama papa juga pada gak suka.”
“kenapa bisa kayak gini?” entah apa yang membuat Fahri mau bertanya. Padahal selama mengenal Sasi, semua hal yang berhubungan dengan Perempuan Itu Fahri tidak memperdulikannya.
“uwa Miya gak suka sama bu Wilda, Sampai lahirnya teteh uwa beranggapan teteh cuma bakal susahin kami. Padahal enggak sama sekali.” Tristan berdiri memandang Keluar jendela.
“kamu tau?”
“mama gak pernah sembunyikan apapun dari Tristan, a.”
“termasuk gimana kisah hidup teh Sasi.” lanjutnya.
“Meski kami berbeda rahim, tapi Tristan sayang sama teteh. Gak ada yang perlu dimasalahkan dalam kisah hidup kami. Kami bersaudara, Dan Itu fakta.” Fahri tidak pernah tahu jika Perempuan ini memiliki kisah hidup yang tidak mudah dimengerti. Ia fikir Sasi hanyalah Perempuan biasa yang memiliki hidup normal kebanyakan. Ditambah Sasi tidak pernah menunjukan beban hidup. Perempuan itu pintar menanggung semuanya sendirian.
“makanya Tristan senang kalian menikah, itu artinya teh Sasi punya tempat untuk berkeluh kesah pada seseorang tanpa merasa Ada yang ditutupi. Bukankah menikah dilengkapi kejujuran?” Fahri bergeming, ia sulit menyahuti kalimat Tristan. Bahkan selama ini Fahri tidak pernah tau apa-apa tentang Perempuan bernama Sasi Itu.
“Tristan selalu berusaha bagaimana rasanya diposisi teh Sasi, Dan rasanya gak gampang. Disudutkan, dianggap kotor Dan hina. Hanya angin lewat setiap perkumpulan keluarga. Diasingkan. Apalagi perlakuan menyakitkan yang bisa diucapkan oleh kata-kata?”
“di cap anak haram, itu yang paling bikin Tristan gak terima.” Fahri menatap Sasi, Perempuan itu tertidur nyenyak. Helaan nafasnya teratur. Hanya tertidur membuatnya bisa lupa kisah hidupnya, sementara ketika ia bangun semua kenyataan kembali mengolok-ngoloknya.
“kadang Tristan juga gak tau kenapa teteh bisa tetap senyum menerima semua perlakuan Dan perkataan menyakitkan Itu? Padahal teteh cuma manusia biasa yang bisa sakit hati. Teteh gak pernah dendam sama orang yang udah jahatin dia.” sebegitu tulusnya kah perempuan yang menjadi istrinya itu?
“Saya gak dapat semua cerita dengan jelas.” akunya.
“Tristan juga enggak, cuma mama sama papa yang tau kebenarannya.” Tristan menatapmya, sedetik kemudian teralih pada Sasi disampingnya.
“Aa mau janji satu hal sama Tristan?”
“apa?”
“tolong tetap menjadi satu-satunya alasan agar dia tidak menyerah akan kisah hidupnya.” Fahri tidak pernah mempunyai janji kepada siapapun. Janji Itu terlalu berat, Dan Fahri tidak yakin ia bisa menepati apa yang ia patenkan. Seperti janjinya pada Perempuan dimasa lalunya, ia fikir janji mereka untuk Selalu bersama bisa terlaksana mengikuti bayangan mereka. Nyatanya tidak.
“bentar ya a.” Tristan keluar tergesa-gesa dengan ponsel yang mulai berbunyi nyaring. Meninggalkan Fahri bersama Sasi.
Lama Fahri memandang Perempuan itu sekali lagi, Entah mengapa sejak perempuan itu bersandar pada bahunya ia melihat bahwa Perempuan itu tidak sekuat apa yang Selalu ia perlihatkan pada umum. Ternyata Sasi terluka dalam atas garis takdirnya, perasaannya Sudah tidak bisa dideskripsikan untuk menyatakan betapa hancurnya dia.
“apa kamu mau Saya berjanji untuk kamu?” Fahri tidak tau apakah pertanyaan Itu tertuju untuknya atau pada Sasi yang sedang terlelap.
Perlahan tangannya mendarat dikepala Sasi, mengelus pelan tak ingin jika Perempuan Itu terbangun karena ulahnya. Untuk pertama kalinya, Fahri mengakui bahwa ia beruntung mendapatkan Perempuan kuat menemani hidupnya.
Setegar-tegarnya perempuan pasti akan menangis dan butuh seseorang untuk mensuport dia. Bukan karena lemah, tapi kita memang tidak bisa hidup sendirian.
—Unnamed
Tuhan itu adil. Hari ini kamu disakiti? Tidak masalah. Mungkin besok yang menyakiti kamu disakiti sama orang lain dengan cara yang lebih parah.
—Unnamed
Bandung, 05 Mei 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...