X-Menjauh

1.3K 89 3
                                    

Pagi ini mungkin awal hari dengan keputusan terbaik yang Sasi punya selama setengah tahun terakhir hidupnya. Menjauh dari Fahri. Berjarak dengan juara paling handal menghancurkan perasaannya entah disengaja ataupun tidak. Bahkan dalam alam bawah sadar pria itu, Sasi memang harus dijatuhkan bagaimanapun caranya.

Ya, mungkin memang seperti itu faktanya. Pria itu tak pernah peduli dengannya juga perasaannya. Lalu apa lagi yang Sasi harapkan disamping pria ini kala hatinya begitu hancur? Pergi. Memang tidak untuk selamanya, tapi bukankah pergi sementarapun bisa menghabiskan puluhan waktu? Ah tidak, Sasi belum berani.

Jadilah disini, masih terduduk disamping pria yang menghempaskannya secara kasar tadi malam. Menatap lama tanpa pandangan yang jelas. Membiarkan fikirannya melayang jauh meninggalkan raga yang lelah tapi tidak berdarah. Hancur tapi tidak disentuh. Remuk tapi tidak dilukai. Sebab hatinya yang hampir mati selama ini.

Mata itu mulai mengerjap pelan, seperti berusaha menerima sinar matahari yang menembus jendela. Lalu menatap Sasi disampingnya dengan tatapan berbeda. Seperti tatapan bersalah?

Tidak mungkin.

“saya pamit.” hanya itu yang Sasi ucapkan, bergerak cepat mengambil satu koper sedang yang sudah disiapkan disisi pintu kamar. Keluar menjauhi Sumber kehancuran yang tidak bisa ia tinggalkan.

“tunggu.” kenapa disaat Sasi memilih menjauh pria itu malah mengejarnya dan menahan lengannya. Membuat rasa itu kembali hadir dengan harapan baru yang pada akhirnya hanya akan menghancurkan Sasi. Lagi.

“tunggu saya.” dia pergi, meninggalkan Sasi dengan debaran kencang Yang tak tau malu. Ingin berlari tapi terkunci dengan apa Yang baru saja terjadi. Menunggu pria itu seperti apa yang diperintahkan padahal jaraknya dengan pintu keluar tinggal lima langkah.

“ayo.” Fahri berjalan lebih dulu, membiarkan Sasi mengikutinya dibelakang. Tak ada kata lain, tak ada basa-basi untuk perlakuannya pagi ini. Seolah semua tingkahnya ia lakukan untuk dirinya sendiri.

Perjalanan yang sangat kaku. Tidak ada musik, tidak ada obrolan singkat. Sama halnya seperti pertama kali Sasi berada disisi pria itu, suasananya masih sama. Hingga mobil berwarna hitam dengan sedikit campuran warna merah berhenti disebuah terminal.

“Sasi.” panggilnya, menghentikan gerakan Sasi.

“jika pergi adalah cara yang kamu ambil untuk melupakan masalah yang ada, itu salah.” ucapnya tanpa melihat Sasi sedikitpun.

“lalu saya harus bagaimana Fahri? Tetap disamping kamu ketika hati saya kamu hancurkan tanpa belas kasih?” Fahri diam.

“saya mencintai kamu Fahri, lebih dari sebelum kamu mengajak saya menikah. Saya tau kamu tidak mencintai saya, tapi saya berharap perlahan-lahan kamu akan luluh. Tapi sampai sekarang dalam hati kamu masih dikuasai dia, lalu saya harus bagaimana?” suara Sasi bergetar, menahan tangisan agar tidak berubah menjadi memilukan.

“saya pergi mengobati hati, karena tidak ada yang bisa menyembuhkannya selain saya. Kamu hanya berperan sebagai sang penghancur, bukan penyembuh Fahri. Jadi saya tidak memiliki harapan disembuhkan oleh kamu.” dan akhirnya diakhir kalimatnya airmata Sasi terjatuh, tidak dihapus. Dibiarkan saja hingga mengering dengan sendiri nya.

“saya pergi.” setelah memakan waktu lama akhirnya Sasi memilih membuka suara setelah keheningan lama yang tercipta, meninggalkan pria tak berhati itu dengan berbagai pemikiran juga rasanya sendiri.

Bagi Sasi hari ini sedikit bebannya terangkat, semua yang ia rasakan sedikitnya bisa ia ucapkan pada pria itu tanpa harus terlihat menyedihkan. Meski pada akhirnya airmatanya jatuh, tapi itu tak membuatnya terlihat kalah oleh perasaannya sendiri. Wajar menangis jika sudah menyangkut perasaan.

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang