XLVIII-Goyah

966 61 5
                                    

Sasi baru saja pulang dari pasar membeli beberapa bahan masakan yang dibutuhkan Mami, namun langkahnya melambat ketika ia melihat mobil berwarna merah terparkir didepan rumah Mami namun Sasi melanjutkan langkahnya ketika ia tahu jika mobil itu bukan milik Fahri.

"Assalamualaikum, mami Sasi pulang.."

"Waalaikumsalam, mami di dapur." Sasi sumringah, berjalan ke dapur namun ia terdiam seketika ketika yang ia dapati bukan hanya mami tapi juga seorang yang cukup menggoyahkan hatinya.

"Dika.."

Mami mendekatinya, membawa barang belanjaannya. "Iya, baru saja datang. Dika bilang mau ketemu kamu, sudah lama kan kalian nggak ketemu? Tadi juga Dika habis bantu mami beresin tanaman belakang, masih ingat kalau mami masih suka tanam bunga anggrek. Bawain Mami brownies kesukaan mami juga." Mami mengelus rambut Dika, masih menganggap Dika seperti anak sendiri. Seperti dulu, tidak berubah.

"Mami ke depan dulu ya, kalian ngobrol dulu." Mami menepuk bahu Sasi pelan, mengisyaratkan jika mereka berdua harus berbicara.

Sasi mengangguk, membiarkan mami pergi meninggalkan mereka berdua. Lelaki itu tersenyum lebar, Sasi membalas dengan senyum yang tak kalah lebar. Hari ini meski belum pulih, tapi Sasi tetap tidak bisa menghindari lelaki yang masih setia untuk berusaha tetap berada disisinya.

"Hai." Sapa Dika, matanya terus memperhatikan Sasi yang sudah duduk dihadapannya.

"Ya, hai."

"Sudah makan?"

"Sudah, tadi hanya belanja keperluan yang kurang." Dika mengangguk.

"Kamu sudah makan?"

"Sudah, tadi dipaksa mami. Katanya kalau aku nggak makan, gak boleh main kesini lagi. Haha.." tawa itu terdengar indah namun Sasi tak mau mendengarnya karena pada kenyataannya Sasi tahu jika lelaki itu tersakiti olehnya. Dulu ataupun sekarang.

"Kamu harus dipaksa makan saja, dari dulu sampai sekarang."

"Iya, habis takut repotin mami sama kamu."

Sasi tersenyum tipis, keadaannya memang terasa canggung.

"Aku datang kesini karena khawatir, sudah dua hari kamu nggak kasih kabar. Aku mau hubungi kamu duluan, tapi aku takut ganggu kamu. Aku kira kamu mau sendiri dulu, menenangkan diri." Juga hati.

"Terimakasih karena kamu sangat tahu aku, Ka. Tapi kalaupun kamu mau menghubungi aku akan selalu terima, mungkin lebih baik rasanya punya teman berbagi cerita. Iya kan?"

Dika menunduk, tertawa pelan yang terdengar pilu di telinga Sasi. "Teman ya? Haha.."

"Dika.."

Kini mata cokelat terang lelaki itu menatapnya, sangat kuat. "Apa aku akan selalu dilabeli 'teman'? Tidak bisa lebih dari itu?"

"Dika, aku minta maaf."

"Apa aku ada dihati kamu juga? Apa kamu juga memikirkan aku ketika kamu merasa sedih? Apa kamu memimpikan aku ketika kita jauh? Kamu pernah merindukan pelukan aku selama ini?"

"Apa maksud kamu?"

"Kalau kamu pernah memikirkan aku ketika kamu menangis, memimpikan aku ketika kita jauh, menginginkan pelukan aku karena rindu itu artinya aku berarti bagi kamu kan?"

"Apa..?"

"Itu artinya aku juga ada dihati kamu, Rana. Bukan hanya dia. Artinya kamu juga menginginkan aku." Dika memegang tangan Sasi erat, menatapnya lekat.

"Aku mau kamu mempertimbangkan semuanya lagi, Rana."

"Apa yang kamu mau untuk aku pertimbangkan?"

"Tinggalkan dia, lalu bersama aku. Untuk berbahagia dengan aku, tinggalkan sakit karenanya. Kamu masih mempunyai pilihan itu. Aku disini untuk kamu, masih memberi kamu kesempatan."

Sasi bergeming.

"Kamu bisa, aku akan membantu kamu. Bisa kah?"

Sasi menatapnya namun banyak ragu juga putus asa yang bercampur.

"Aku nggak tahu, Ka. Disatu sisi aku lelah, aku mau berhenti agar aku bisa mencari bahagia untuk diriku sendiri. Di lain sisi aku masih merasa kuat, aku hanya cukup menunggu sedikit lagi namun aku ditampar kenyataan ketika aku melihat dia masih bersama perempuan masa lalunya..

.. lalu sebaiknya aku harus bagaimana?" Baru kali ini Dika melihat sorot putus asa itu, hatinya dibanjiri rasa bersalah karena terus menyuguhkan kesempatan yang membuat Sasi goyah.

"Aku ingin bersama kamu, agar aku bahagia seperti katamu. Tapi aku masih belum bisa beranjak padahal tidak ada hal yang harus aku tunggu untuk menunda bahagia. Bagaimana menurut kamu?" Kini Dika bergeming. Sorot mata itu membuatnya bersalah.

Sasi menggigit bibir bawahnya. "Apa memang aku harus melepas agar bahagia? Apa iya aku harus melakukan itu dengan kamu agar aku bisa lepas berbahagia?"

Dika mengelus rambutnya pelan, beralih perlahan ke pipinya. Menyentuh kedua sisi bibirnya lalu menarik ujung bibir Sasi hingga membentuk lengkungan senyum.

"Apapun, asalkan itu membuat kamu bahagia." Di depannya Dika tersenyum meski bukan senyum lebar, sorot matanya tidak setajam sebelumnya.

"Aku mau kamu memikirkannya untuk diri kamu sendiri, bukan untuk aku ataupun untuk pria itu. Kamu berhak egois memikirkan kebahagiaan kamu, karena setiap manusia memiliki hak untuk berbahagia."

"Aku harus berangkat sekarang, baik-baik disini. Hubungi aku kalau kamu butuh sesuatu, aku akan selalu siaga 86 untuk kamu!" Ucap Dika berlagak layaknya polisi yang sedang bertugas dengan memberi hormat.

Sasi mencubit lengannya, membuat Dika memekik sakit. "Aw!"

"Sudah sana!" Sekali lagi Dika mengelus rambutnya, lalu berpamitan. Meninggalkan jejak senyuman yang masih terbayang di pikiran Sasi. Membuat Sasi kembali mengingat masa-masa dimana mereka masih sering melakukan hal-hal konyol yang bisa saja membuat Sasi tersenyum.

Tapi hatinya tetap tidak merasakan debaran yang sama ketika ia dengan Fahri. Meski pria itu kaku juga tidak pernah bersikap lembut selama ini, ketusnya juga sinis pandangannya-yang mampu membuat wanita manapun mundur dua langkah ketika baru saja maju satu langkah bisa membuat Sasi jatuh cinta.

Kini Sasi menjitak kepalanya sendiri, sudah semalam berhasil menghilangkan Fahri dari pikirannya kini terpikirkan lagi. Sial.

🌜

Dika baru saja menginjakkan kakinya di halaman, bergegas menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh namun seseorang yang kini di hadapannya membuat langkahnya terhenti.

Keadaan itu membuat keduanya berdiam, tak ada yang bersuara maupun bergegas pergi lebih dulu. Seperti ada yang mau mereka bicarakan namun tak tahu harus bicara apa. Hingga akhirnya Dika bersuara.

"Lo mau Sasi kembali?" Di depannya Fahri masih bergeming.

"Ikut gue."

Entah kenapa,
Semakin ingin lupa,
Semakin terpikirkan.

-Sasikirana

Hidupku itu sederhana.
Pagi aku bertemu denganmu,
Siang aku melihatku bersama yang lain,
Malam aku menangisi ketidak mampuanku untuk memilikimu.

- Dika

Aku merindukanmu,
Apakah kamu juga?
Terserah, itu hak-mu.
Dan memaksa bukan sifatku.

-Fahri

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang