Sasi terbangun dengan pusing dikepala yang baru terasa, mungkin efek menangis yang cukup lama. Pandangannya beredar, ini masih kamarnya. Hanya saja yang Sasi ingat terakhir kali ia bersama Fahri disini, mencurahkan semua isi hatinya. Sekarang yang Sasi sesali mengapa ia harus menangis di hadapan pria itu dan tertidur di pundaknya? Seketika wajahnya memerah mengingat semua yang terjadi.
Ia bangun dari tidurnya, merapikan rambut juga bajunya yang sedikit berantakan. Berlalu meninggalkan kamar meski ia tak punya tujuan akan kemana setelah ini. Diluar masih banyak keluarga besar Purwandana, dan seketika ia merasa tarikan nafasnya berat kala melihat tante Miya sedang bersenda gurau dengan beberapa tante-tantenya yang lain dikursi halaman belakang.
Ia berharap Tristan lewat begitu saja dihadapannya, atau setidaknya orang yang cukup dekat dengannya agar ia bisa menjalin obrolan, agar ia tidak terlihat terlalu menyedihkan.
"ayo." sebuah tangan terulur dari samping, membuat Sasi menandangnya.
"Fahri.." lirihnya.
"ayo kita kesana, membuktikan bahwa opini mereka salah." lantas Sasi menggeleng keras.
"mereka tidak akan peduli, mereka tidak membutuhkan penjelasan. Biarkan mereka dengan pemikiran mereka, saya tidak apa-apa."
"jika kamu tidak mau merubahnya, biarkan saya yang melakukannya. Tugas kamu cukup ada disamping saya saat ini." seketika tangannya terasa hangat karena sebuah genggaman yang sangat jarang ia rasakan. Setengah tahun perkenalan mereka setelah bertahun-tahun tidak bertemu, membuahkan getaran hebat bagi Sasi. Didalam perutnya terasa ada berjuta kepakan sayap yang menggelitik. Diantara geli dan mulas beradu satu.
"Fahri.." panggil Sasi sekali lagi, kini tatapannya memohon. Tapi yang Fahri lakukan adalah terus membawanya maju kedepan, menghadapi orang yang membuatnya menangis satu jam yang lalu.
Detak jantung Sasi tidak beraturan kala Fahri menyapa kerumunan orang yang sedang berkumpul di sana, mengambil tempat yang terasa pas karena ada dua kursi yang masih kosong.
"malam tante.." sapanya, tersenyum hangat.
"malam.."
"kamu suaminya Sasi?" genggaman tangan Fahri padanya terasa sangat kuat, hingga Fahri menunjukkan genggaman tangan itu keatas. Memberitahukan bahwa jawabannya adalah iya.
"tante kira Sasi sendirian kesini."
"saya gak mungkin membiarkan Sasi sendirian." patutkah Sasi tertawa saat ini?
"lagipula sebagai suami yang mencintai istrinya, mana mungkin saya tega membiarkan istri saya diolok-olok hanya karena pernikahan kami tidak sesuai dengan mind set orang-orang?" ditempatnya tante Miya terdiam, memainkan gelas yang ia pegang.
"apakah seorang translater dan arsitektur menikah harus selalu mewah?menunjukan bahwa kami sangat berkecukupan hingga membuang-buang uang untuk sebuah pesta satu malam? Lalu setelahnya semua akan seperti biasa kembali. Apakah pesta satu malam itu akan membuat hidup kami berubah? Saya rasa tidak."
"lagipula bukankah lebih baik jika uang yang kita punya, kita gunakan untuk berbagi dengan orang yang masih kesusahan untuk mendapatkan sesuap nasi? Berbagi dengan anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya? Karena kepuasan manusia satu dengan yang lain berbeda-beda, dan kebetulan saya dan Sasi punya mind set wedding yang sama jadi kami berdua mendapatkan kepuasan tersendiri." Fahri memandangnya, tersenyum hangat hingga rasanya Sasi tidak bisa bergerak, termenung lama meski dalam tubuhnya mendidih.
"kenapa tidak mengundang keluarga besar?" Sasi tau itu suara tante Miya.
"maaf untuk itu, tapi kami berdua punya alasan tersendiri. Kami memang terkesan terburu-buru karena saya tidak bisa membiarkan Sasi bebas tanpa ikatan dari saya, katakan saya egois tapi cinta selalu ingin menjaga meski terdengar menuntut, bukan?" ingin rasanya Sasi tertawa sangat kencang.
"dan kalaupun orang-orang berpikir saya menghamili Sasi terlebih dahulu, mungkin orang itu terlalu buta. Kami menikah hampir setengah tahun, dan Sasi belum hamil." mereka semua terdiam, masing-masing mengalihkan pandangannya kemana saja seakan malu menatap pasangan yang kini menatap mereka, menunggu apalagi yang masih menjadi pertanyaan didalam otaknya.
"baiklah kalau kedatangan saya sudah cukup membuat semuanya jelas, saya dan Sasi permisi. Selamat malam semua.." dan Fahri membawa Sasi menjauh, masih dengan tangan yang digenggam. Kamar Sasi menjadi pilihan Fahri membawanya.
"terimakasih." hanya itu yang sanggup Sasi ucapkan.
"saya sudah bilang, kita tidak boleh membiarkan pikiran mereka terus hidup. Kita harus mematikannya, dan penjelasan adalah caranya." Sasi menunduk, membiarkan Fahri duduk ditepi kasur membuka sepatunya.
"saya tidak suka mereka terus berpikir seperti itu pada kamu." Sasi mendongak, menatap Fahri dengan sorot hangat yang berharap.
"kenapa?" seolah tersadar akan apa yang diucapkan oleh dirinya sendiri, kini Fahri yang terdiam meski hanya sebentar.
"karena, status saya sebagai suami kamu. Saya tidak mau terbawa masalah yang tidak mengenakan ini. Saya tidak mau nama baik saya tercoreng hanya karena saya menikahi kamu dan masuk dalam keluarga kamu." seketika berjuta rasa hangat yang tadi melingkupi tubuhnya terasa berubah menjadi dingin,seakan Sasi sedang merasakan tetesan air terjun yang terjatuh mengenai tubuhnya. Tertusuk-tusuk yang sakit, menancap seperkian detik pada tubuhnya.
"maaf kalau begitu, saya buatkan kopi." lalu Sasi berlalu begitu saja dengan perasaan hancur tingkat dua, meninggalkan Fahri dengan airmata yang mulai menumpuk di pelupuk matanya.
Kamu sudah menyakiti, menghancurkan. Tapi rasa ini tetap kokoh. Aku selalu mencintaimu.
-Sasikirana
Dia memang pandai meninggikan lalu menjatuhkan disaat yang bersamaan.
Bandung, 28 Mei 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...