XIX-Flashback V-Kepingan

1K 78 11
                                    

3 bulan sesudah pernikahan.

Malam itu tidak akan pernah Sasi lupakan, malam panjang setelah menikah dengan pria yang ia cintai selama tujuh tahun lamanya. Untuk pertama kalinya, pria itu menyentuhnya. Menjalankan kewajibannya sebagai mana mestinya, begitupula Sasi yang mendapatkan ibadahnya sebagai seorang istri.

Malam itu, meski tidak sehangat pasangan lain, namun Sasi bahagia. Ia pikir pria itu tak akan menyentuhnya sama sekali. Meski harus menunggu dengan ketidak pastian dalam status rumah tangganya, pria itu akhirnya memberi Sasi jawaban. Mereka memang menikah layaknya pasangan biasa, hanya saja pria itu menyentuhnya sebagaimana inginnya saja. Semua tidak direncanakan.

Masih Sasi ingat kepulangan pria itu beberapa jam yang lalu. Penampilan pulangnya yang selalu berantakan, meninggalkan Sasi sendirian diruang makan karena pria itu lebih suka mengerjakan pekerjaan yang selalu ia bawa kerumah.

Sasi merasa semua seperti malam-malam sebelumnya, namun ketika tatapan mereka bertemu Sasi tahu ada yang berbeda dari pandangan Fahri padanya. Hingga akhirnya Fahri menariknya, memeluknya pelan lalu semua terjadi begitu saja. Sangat sederhana,jauh dari kata romantis. Tapi bagi Sasi, itu sudah sangat lebih dari cukup.

Mereka masih terjaga, meski tidak saling berpelukan mesra tapi sekali lagi, itu bukan masalah untuk Sasi.

“Fahri..” panggilnya. Membuat pria itu menoleh padanya, meski hanya sebentar.

“iya?”

“waktu saya menemani ibu dirumah, banyak tetangga yang main kerumah ibu membawa anak-anak mereka.” mertua Sasi yang ia panggil Ibu mempunyai usaha produksi makanan sendiri dirumah, maka selalu banyak tetangga yang mengisi rumah mertuanya.

“ibu saya usaha rumahan, Sasi.”

“iya saya tahu, Fahri.” hening sejenak.

“disana banyak anak kecil, mereka lucu. Tiga hari disana, saya bermain-main dengan balita berusia dua tahun. Namanya Juwita, gemuk sekali.” lanjut Sasi.

“matanya bulat, masih ada sisa warna biru. Hidungnya mungil sekali. Rambutnya keriting, senyumnya manis. Giginya sudah banyak. Tapi nggak bisa saya bawa jauh-jauh dari ibunya. Dia suka panggil ibunya 'mama-mama'. Saya takut disangka penculik kalau bawa main dia jauh.” Sasi tertawa pelan. Dibayangannya kini muncul sosok imut yang menemani harinya selama menginap dirumah mertuanya. Saat itu Fahri tidak bisa hadir dalam acara apa syukuran kelulusan adiknya, maka Sasi hadir untuk mewakili.

Ada kerutan samar didahi Fahri ketika Sasi menceritakan hal yang bagi Fahri story telling, hingga ia dibuat terdiam cukup lama ketika Sasi mengucapkan hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.

“saya ingin punya bayi sendiri, saya ingin merawat, membesarkan. Saya ingin kita punya tujuan untuk pulang. Itu pasti menyenangkan. Iya 'kan, Fahri?” Sasi menatapnya lama, mengharap sebuah jawaban yang menyenangkan hatinya. Namun luka, tak pernah berhenti Fahri berikan padanya. Bahkan disaat seperti ini.

“saya tidak.” Sasi menatapnya lekat, menunggu kelanjutan ucapan Fahri.

“kita menikah, jalani hidup sebagaimana biasanya. Kehadiran seorang anak di status ini, sangat tidak saya harapkan, Sasi. Mari kita jalani dengan damai. Jangan menambah beban lagi.” Sasi tahu, beban yang Fahri maksud dari kehadiran seorang anak bukanlah dari segi materi.

“maksud kamu, anak hanya akan membebani kita?”

“tentu bukan kita, itu menyulitkan perpisahan kita jika nanti kita berpisah. Anak harus membutuhkan kedua orang tua lengkap, tidak bisa terpisah-pisah. Saya tidak ingin anak saya merasa terbuang karena orang tuanya tidak bersama.”

Maka jangan berpisah, Fahri. Ingin sekali Sasi mengucapkan kalimat itu.

Kini, pria itu balik memandangnya. “tidak ada bayi, balita ataupun anak dalam rumah ini. Karena saya tidak ingin membebani kita dikemudian hari, untuk perpisahan nanti.” mata Sasi mulai terasa panas, ia tidak menatap pria itu seperti beberapa detik yang lalu.

“jika kamu ingin mempunyai bayi, saya izinkan. Kamu berhak melakukan itu dengan siapapun, dan itu akan lebih memudahkan alasan kita untuk berpisah kelak.” satu tetes air bening terasa sangat hangat jatuh mengenai pipinya.

“jadi kamu menginginkan saya melakukannya bersama pria lain?“ Fahri mengangguk.

“jadi kita menikah, hanya untuk berpisah?”

“bukankah saya sudah mewujudkan keinginan kamu? Bahkan melebihi ekspektasi. Kamu mencintai saya, lalu saya menikahi kamu.”

Iya. Diluar ekspektasi. Karena kamu menikahi saya bukan dari hati, tapi karena hanya saya pilihan kamu saat itu.

Dengan segenap perasaan yang ia kuatkan dalam rasa sakitnya, Sasi bertanya walau akan banyak sekali kemungkinan jawaban menyakitkan yang akan pria itu berikan. “lalu kapan kita akan berpisah?”

“nanti, saat salah satu dari kita sudah menemukan kembali kepingan hati yang menyebabkan kita terjebak disini,bersama.”

“apa tidak akan pernah ada sebuah kenangan yang bisa saya ingat tentang pernikahan ini. Meskipun hanya bibit dari kamu?”

“iya. Tidak akan ada kenangan apapun.” malam itu, Sasi mengubur dalam-dalam rasa sakit yang Fahri beri. Mengubur dirinya sendiri dalam harapan bahwa malam itu sebuah permulaan baik untuk kebersamaan mereka. Memilih menutup mata, meski masih terjaga. Karena nyatanya, ketika matanya terbuka, penyebab hancur hatinya sedang tertidur pulas disampingnya tanpa rasa bersalah. Sedikitpun.

Bayangan Sasi memudar ketika mobil yang ia tumpangi berhenti dihalaman rumah yang sudah ia tempati dengan Fahri semenjak menikah. Bahkan Sasi tidak pernah menunggu pria itu membukakan pintu untuknya. Pernikahan yang indah.

Sasi berjalan sendiri, menyeret kopernya yang ringan. Mengabaikan pandangan Fahri yang terus menatapnya semenjak mereka meninggalkan rumah besar Purwandana. Hingga pria itu menghentikan langkahnya sesaat pintu telah tertutup rapat.

“kenapa?”

Sasi menghentikan langkahnya. Menutup mata sejenak. Ada rasa sakit yang terasa kasar didalam dadanya sejak kata anak dan hamil mengganggunya kemarin. Betapa kedua keluarga mereka mengharapkan kehadiran cucu yang tidak Fahri inginkan.

“tidak.”

“kamu bohong.”

“sejak kapan, kamu berubah peduli seperti ini, Fahri?”

“saya tidak perduli, saya bertanya karena kamu membuat saya bingung.”

“saya baik-baik saja.”

“bukan kamu yang saya kenali.” tanpa sadar, seulas senyum sinis nan miris tergambar diwajah Sasi meski selintas.

“sejak kapan kamu mengenal saya?”

Fahri baru akan angkat bicara, namun suara bel yang menandakan seseorang menunggu didepan menghentikan perdebatan kecil yang sangat Sasi hindari.

Mau tak mau, Sasi membuka pintu. Membiarkan pria itu duduk di sofa, melepas sepatu.

Sesaat membuka pintu, Sasi terdiam cukup lama memandangi tamu yang sedari tadi menebar senyum.

“cari siapa?”

Tamu itu mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. “Salsabilla. Aku cari Fahri Akbar, sesuai biodata ini alamat rumahnya. Kamu siapa?”

Lalu kapan pastinya perpisahan itu akan terjadi jika kepingan itu sudah kembali, Fahri?

Apa daya. Pergi menjauh, namun hati tetap terikat padamu.

—Sasikirana

Jika esok hari tiba, dan ada yang lebih mampu membuatmu tersenyum lebih. Pergilah. Kau pantas bahagia.

—Fahri

Akan aku biarkan kamu ada, walau hanya sekedar nama tanpa raga.

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang