XX-Kenyataan,Kesedihan,Kebahagiaan

1.1K 81 4
                                    

“sebenernya ada apa, Sa?” tanya Ara setelah mobilnya terparkir disebuah club ternama. Ia merasa heran sekaligus bingung akan apa yang terjadi pada Sasi hari ini.

Kedatangan Sasi kerumahnya saat ia akan berangkat, keterdiaman Sasi sepanjang perjalanan ditambah sorot matanya hampa. Seperti pikirannya melayang kemana saja.

“lo bisa cerita sama gue, Sa.” tapi Sasi tetap diam. Asik dengan lamunannya sendiri, mengabaikan Ara yang menatapnya penuh tanda tanya.

Sejak dulu,yang Ara tahu Sasi adalah tipe wanita kuat. Ia selalu kuat menghadapi kenyataan-kenyataan yang ada. Masalah hidupnya, perasaannya, Sasi bisa menghilangkan semua masalah itu hanya dengan senyumnya. Dengan keceriaan yang ia punya, meskipun orang-orang terdekatnya tahu bahwa Sasi hanya tertawa penuh kepalsuan agar lukanya tak terlihat tapi tanpa Sasi sadari, mereka semua tahu.

“kalau lo gak mau cerita, gak apa-apa. Gue ngerti, lo kuat menyimpan masalah lo sendiri tanpa mau lo bagi.” Ara bersiap turun, namun Sasi memegang tangannya.

“dia balik lagi, Ra.”

Kening Ara mengkerut. “siapa?”

“Salsabilla.” terdiam sejenak hingga ekspresi wajahnya berubah terkejut.

“Salsa?”

“iya.”

Yang Ara tahu, Salsabilla adalah teman SMPnya dulu. Mereka satu sekolah, dan Ara tahu jika Salsa sangat dekat dengan Fahri selama masa itu. Hingga akhirnya mereka tiba-tiba menghilang tanpa kabar saat masuk sekolah menengah atas yang berbeda. Ia cukup kenal Salsa dengan baik, begitupula ia cukup dekat dengan Fahri. Mendengar Salsa kembali, memunculkan tanda tanya besar bagi Ara.

“lo tahu dari mana, Sa?”

Semua yang terjadi hari ini terlintas begitu saja dibenaknya, hingga Sasi memejamkan matanya sejenak tanpa sadar. Seakan ia baru saja mendapatkan beban baru yang lebih besar.

“dia datang kerumah, dia cari Fahri.”

“kenapa bisa dia tahu alamat kalian?”

“gue baru tahu kalau Salsa sekretaris diperusahaan yang lagi kerja sama dengan Fahri.”

“gue rasa, perpisahan gue sama dia semakin dekat. Entah kapan tapi pasti. Semua yang gue harapkan bersama dia gak akan pernah terwujud.” Ara menatap Sasi yang masih memandang lurus kedepan, nada suaranya pelan dan datar.

“setengah tahun ini, gue berusaha selalu menjadi yang terbaik untuk dia, Ra. Menjadi istri yang sempurna. Meskipun dia gak pernah mau lihat usaha gue.” Ara mengerti.

“seakan berjuta rasa cinta gue sama dia itu terkalahkan sama rasa sakit yang masa lalunya kasih.”

“gue ingin terus berjuang, Ra. Tapi..”

“gue tahu lo cinta dia, Sa. Sejak dulu. Bahkan saat gue dan yang lain gak yakin kalau lo menjatuhkan hati sama cowok yang terbelenggu luka lama. Sejak dulu kita selalu bilang sama lo, kalau lo bisa mencintai yang lain selain dia, karena dia cuma bakal bikin lo sakit, Sa. Tapi namanya Sasi, lo dengan kuatnya mencintai dia meskipun harus tertatih.

.. Ini yang gak mau kita lihat, akhirnya lo semakin hancur sedangkan dia gak lihat lo sama sekali. Sampai detik ini.”

“bahkan gue gak tau, kenapa hati gue sekeras ini mempertahankan seseorang yang bahkan gak peduli sama gue.” Yang Ara tahu, Sasi bodoh. Temannya itu mau menikah dengan seseorang yang memberi kepastian tentang perasaannyapun tidak. Pria itu masih mempunyai luka hati yang sangat dalam hingga susah dihilangkan. Pria itu mempunyai seseorang dimasa lalu yang begitu ia harapkan selalu setiap hari. Pria itu menjebak Sasi dikehidupannya, hidup dengan pria yang menyiksa hatinya setiap saat.

“tapi gue siap kalau ini adalah cara Tuhan untuk menyadarkan gue bahwa Fahri memang bukan untuk gue, dengan cara berpisah. Gue belajar mengikhlaskan.” lagi.

gue tahu,Sa. Lo selalu siap untuk sebuah kehilangan, dan lo selalu harus mengikhlaskan apapun yang bahkan itu sangat berharga.”

“iya, karena gue tahu. Selama ini, dia tersiksa sama gue. Kita sama-sama tersiksa, Ra. Dia hidup dengan orang yang gak sedikitpun dia cintai, dan gue hidup dengan orang yang gak mencintai gue sama sekali. Tapi kita bertahan, entah untuk apa. Seakan-akan kita berdua hanya menunggu waktu dimana kita mati perlahan karena siksaan batin.”

Sasi menoleh, mendapati Ara yang kini menatapnya sayu. “gue menyedihkan, iya tahu. Tapi please, jangan kasih tatapan kasihan itu ke gue, Ra. Karena tujuan gue cerita sama lo, agar perasaan sesak gue sedikit berkurang. Bukan untuk minta lo mengkasihani gue.”

Ara tersenyum tipis. “gue tahu, Sasikirana itu gak pernah lemah. Dan gue, gak berhak mengkasihani lo.”

Keduanya tertawa pelan, seakan kesedihan beberapa detik yang lalu sudah menghilang dan kini mereka tertawa hanya untuk mentertawakan diri sendiri.

“makan dulu yuk? Gue belum makan.”

“jam segini nyari makan daerah sini, emang ada?”

“kita cari lah, sekalian buat makan ntar subuh.”

Sasi memutar mata malas. “gini nih kalau cewek gak bisa masak, cuma bisa dandan doang.”

“bacot lo.”

“lo juga butuh makan, biar kuat sakit hatinya.”

“jangan makan hati mulu, gak baik buat kesehatan jantung.”

“hahaha..”

“hahaha..”

Malam ini akan ada yang merindu, ada pula yang bertemu.

Stay strong.

—Arabella

Dia yang mahir mematahkan, tidak pantas dipertahankan.

—Arabella

Seperti dulu, sebelum aku merasakan sakitnya jatuh cinta.
Saat aku memperhatikanmu dalam diam.
Yang hanya bisa melompat kegirangan saat kau lewat.
Aku lebih baik seperti itu dibanding saat ini.

Sasikirana

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang