“a!” Fahri terbatuk, menaruh minumannya pelan. Memperhatikan Tristan yang menatapnya.. Panik?
“kenapa?”
“lihat teteh?”
“di dapur?”
“enggak, teteh pergi.” dari nada bicaranya Fahri tau ada yang tidak beres.
“ada apa?”
“panjang ceritanya, cari aja teh Sasi ya a!” setelahnya lelaki itu berlari entah kemana, meninggalkan Fahri dengan segala pertanyaan di benaknya.
Kenapa?
Ada apa?
Mencari Sasi? Fahri yakin Sasi tidak mungkin menghilang karena penculik atau kemungkinan-kemungkinan tidak logis. Menghilang dirumahnya sendiri? Jika Fahri orang semacam Taufan saat ini ia akan tertawa kencang memukul-mukul meja, tapi ia bukan Taufan. Jadi Fahri mulai berdiri, berjalan tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti langkah kakinya. Dengan pikiran di penuhi tanda tanya.
Sejujurnya Fahri belum tau seluk beluk rumah ini, dengan foto-foto keluarga di dominasi Tristan. Yang selalu menjadi pertanyaan hanya ada satu foto keluarga dimana lengkap Sasi di dalamnya. Hanya satu.
Ruangan-ruang terbuka sudah Fahri jelajahi dan ia tidak menemukan tanda-tanda Sasi di sana, hingga ia menaiki deretan anak tangga yang membawanya ke lantai dua.
Lebih luas karena kebanyakan barang-barang lengkap sudah ada di lantai bawah, hanya ada tiga kamar dengan warna yang berbeda. Ada yang menarik pada pintu berwarna abu-abu, dengan celah kecil. Ia mendekat, mencoba mengintip hingga ia melihat punggung seseorang berdiri di jendela. Baju yang familiar.
“Sasi.” panggilnya sambil membuka pintu lebih besar. Ia yakin itu Sasi. Tapi tidak ada gerakan selain punggungnya yang naik turun mengikuti aliran nafasnya.
Fahri menutup pintu, meski ia merasa tidak terlalu perlu. Toh ia dan Sasi tidak akan melakukan hal-hal yang mengharuskan adanya privasi, tapi kalaupun terjadi mereka sudah berstatuskan suami-istri. Tapi bukan itu yang di bahas kali ini.
“kenapa?” Fahri berdiri disamping ranjang, menyenderkan punggungnya dengan menyilangkan tangan di dada pada lapisan dinding berwarna cream.
“saya tau, saya tidak di inginkan. Tapi apakah itu salah saya berada disini? Diantara mereka?” Fahri tidak mengerti.
“saya selalu berusaha menjadi yang terbaik, menjauhkan mereka dari kehidupan saya yang kotor agar mereka tetap bersih. Tapi kenapa..?” pendengarannya menangkap isakan tangis,membuatnya mendekat. Membawa perempuan itu duduk di ranjang.
“saya tau saya tidak di inginkan, tanpa mereka bicara saya sudah paham dengan sendirinya. Tapi mereka seolah terus menghujani saya dengan kalimat itu, seolah setiap detiknya saya harus ingat betapa menjijikkannya saya.” perempuan itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menyembunyikan aliran airmata yang perlahan menetes semakin deras.
“saya tidak mengerti.” saat ini Fahri merasa seperti orang dungu yang diam tanpa melakukan sesuatu, otaknya tidak berguna saat ini.
Kaku ia mengelus pundak Sasi, satu hal yang tidak pernah ia lakukan. “katakan apa yang ingin kamu ungkapkan.”
Perempuan itu menatapnya, lengkap dengan airmata yang sudah membuat aliran sembarang di pipi. Seperti mencari kesungguhan.
“saya bukan orang yang pintar berkata-kata untuk menenangkan, jadi saya hanya bisa jadi pendengar yang baik.”
Fahri kira perempuan itu akan tetap diam, hingga setelah cukup lama akhirnya ia angkat bicara. “mereka tidak menginginkan saya.” lirihnya.
“siapa?”
“keluarga besar Purwandana tidak pernah menginginkan saya.” pertanyaan semakin banyak memenuhi kepalanya, namun ia menahan segala yang ingin ia lontarkan.
“saya tidak lahir dari wanita yang selama ini kamu panggil mama.” pandangan Sasi lurus kedepan, hampa.
“saya bukan anak kandung dari Intan Alya, saya di lahirkan Wilda Khaira. Wanita yang meninggalkan saya begitu saja setelah tiga hari saya di lahirkan, wanita yang menyerahkan harga dirinya pada pria yang sudah beristri.” tetes airmata kembali berjatuhan kala kelopak mata itu tertutup.
“saya tidak pernah tau siapa disini yang bersalah, entah kah Wilda atau bapak? Atau saya..” Sasi semakin menunduk, memainkan kakinya yang menjuntai ke bawah.
“hingga akhirnya mami membawa saya pergi dari sini, mengurus saya hingga sekolah menengah atas. Tapi saya punya cita-cita, jadi saya kembali lagi disini untuk melanjutkan pendidikan dan mencari pekerjaan untuk biaya kuliah serta kehidupan sehari-hari.”
“kamu anak tiri mama?”
Sasi mengangguk pelan. “saya hanya anak hasil dari hubungan gelap bapak. Wilda tidak ingin di nikahi sampai saya di lahirkan, lalu menghilang sampai sekarang.” sekarang Fahri tau kenapa saat mereka menikah Sasi menggunakan wali hakim meski Adrian hadir.
“saya kotor Fahri, kotor..” Sasi menutup wajahnya.
“itu sebabnya saya tidak terlalu dekat dengan keluarga ini, karena saya sadar dimana posisi saya. Tapi saya juga ingin masuk, karena suka atau tidak saya bagian keluarga ini. Hanya asal saya yang salah.”
“bukan salah kamu.”
“tapi mereka menyudutkan saya, seolah-olah saya yang salah. Padahal saya tidak pernah memilih di lahirkan dengan kondisi seperti ini. Saya juga ingin seperti yang lain, keluarga utuh yang bahagia.”
“kamu punya Tristan, bapak dan mama. Mereka sayang kamu.” sebagai orang luar, Fahri tau bahwa Intan menyayangi Sasi meski ia tidak melahirkan Sasi.
“karena mereka menyayangi saya, itu yang membuat saya semakin sadar betapa menjijikkannya saya.” semakin lama tangisan Sasi tidak terkendali, tetesan air asin dari matanya tak berhenti mengalir.
“tapi saya juga punya hati, ketika mereka mengatakan tentang saya itu tidak sakit. Tapi ketika mereka menjelekkan Wilda saya tidak suka, saya benci. Dan saya menangis disini.” jauh dalam lubuk hatinya Fahri tau bagaimana perasaan Sasi sebenarnya. Ia menyayangi ibunya meski tidak pernah bertemu. Perasaan alami seorang anak kepada ibunya.
“padahal saya tidak menyukai Wilda, tapi saya tidak mau dia di pandang hina.” Fahri mengerti.
“mereka selalu membanding-bandingkan Wilda dengan kehidupan mereka yang bahagia, padahal saya tau mungkin Wilda tidak ingin hamil di luar nikah.”
“Siapa yang bisa menghapus keburukan di masa lalu?”
Sasi menyenderkan kepalanya perlahan hingga terasa pas di pundak Fahri, ikut rehat sejenak dari segala macam kesakitan yang ia rasakan akhir-akhir ini.
Tenang dan menenangkan. Dua kata itu mewakili segala apa yang Sasi dapatkan. Rasa nyaman itu, untuk pertama kalinya.
“maaf jika saya lancang, tapi tidak apa-apa kan? Sebentar saja..”
“ya.” Sasi memejamkan matanya perlahan, menikmati waktu yang tersisa.
Di sampingnya Fahri kaku, ini pertama kalinya ia membiarkan perempuan itu menyentuhnya. Meski tidak secara harfiah, tapi cukup membuatnya mati rasa sejenak.
Namun perlahan ia menikmati senderan kepala perempuan itu di bahunya, mengusap pelan rambut panjang yang tergerai melebihi bahu itu.
“kamu kuat Sasi, saya percaya itu.”
Bolehkah aku menangis dipundakmu? Untuk kali ini saja. Meskipun setelahnya aku akan menangis sendiri.
—Sasikirana
Bandung, 29 April 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...