XXXVII-(masih) Liburan Hari Kedua

850 69 0
                                    

Jadi setelah selesai dengan permainan yang menyenangkan keduanya setuju untuk beristirahat, menghindari ombak dari jarak yang mereka perkirakan sendiri. Jadi, petang ini hamparan pasir putih menyaksikan bagaimana keduanya terdiam cukup lama. Sama-sama menatap hamparan laut yang terbentang luas.

Kini pandangan Sasi mengarah pada perempuan asing yang rambutnya dikepang rapi.

“kamu mau seperti itu?” Sasi tersentak kaget, menatap Fahri yang kini menatap objek yang sama.

“nggak.”

“tapi kamu memandanginya terus.”

Sasi tersenyum kikuk, mengusap belakang lehernya.

“saya bisa mengepang.”

“iya?”

Fahri mengangguk. “iya, kamu tidak percaya?”

“bukan nggak percaya laki-laki bisa mengepang rambut, tapi kamu yang saya nggak percaya.”

Fahri menyentuh kedua pundaknya, memutar tubuhnya. Cukup membuat Sasi terdiam cukup lama karena terkejut.

“saya buktikan.” perlahan Fahri melepas ikatan rambut Sasi, membuat rambut Sasi tergerai begitu saja. Hitam dan halus, kata yang sesuai dengan apa yang Fahri lihat.

“rambut kamu bagus.” pujinya pelan tanpa Fahri duga.

Perlahan Fahri mulai mengepang rambutnya, Sasi pasrah. Diam adalah jalan terbaik ketika ia tahu jika dirinya tidak bisa bertindak banyak, seperti ini saja sudah membuat jantungnya berdebar kencang juga wajahnya terasa panas. Bukan cuaca, tapi tubuhnya.

Lima belas menit Fahri masih sibuk memainkan rambut Sasi, selama itu pula Sasi tidak bergerak layaknya patung. Ia hanya mengerakkan kepalanya jika dibawah intruksi Fahri, selebihnya ia kaku.

“Selesai.” barulah Sasi merilekskan tubuhnya, perlahan meraba rambutnya.

“kamu kenapa?”

hah?”

wajah kamu memerah.” Sasi memegangi kedua pipinya cepat, merasakan wajahnya benar-benar panas. Sekarang ia pasti terlihat memalukan.

“saya kepanasan.” kilahnya, meski Fahri tidak mengetahui panas yang Sasi maksud namun Fahri tetap mengangguk.

“saya nggak yakin, tapi terimakasih.” ucap Sasi dengan unjuk gigi, kini keduanya kembali seperti semula. Menatap hamparan laut yang luas terbentang.

“kamu hanya perlu yakin saya tidak membuatnya berantakan.”

Sasi tersenyum tipis. “ya, saya harap

Keduanya kembali tenggelam dalam keheningan, matahari mulai terbenam. Dimana kejadian itulah yang paling ditunggu setiap insan yang menghabiskan waktunya dipantai. Sunset.

Sasi tersenyum lebar, berdecak kagum.

“indah.” ucap Fahri, tanpa sadar menatap Sasi yang masih memandang ke depan.

“ya..” perlahan Sasi menatapnya hingga pandangan keduanya bertemu pada satu titik. “tapi dari terbenamnya matahari kita semua diajarkan kehilangan.”

“ya, matahari mengajarkan semua yang datang akan pergi. Entah kepergian itu membawa kebahagiaan maupun luka. Semua yang terjadi akan selalu terkenang.”

“darinya, saya belajar menerima bahwa semua memang datang dan pergi karena alasan. Tanpa rencana, tanpa kita duga dan tidak akan bisa dicegah.” Fahri terdiam meski manik mata keduanya masih ada digaris lurus.

“Fahri..”

“ya?”

“untuk apa kita kesini?”

“menghibur diri, membuang penat. Kamu tidak suka?” raut muka Fahri sedikit berubah penasaran.

“hanya itu?”

“ya.” Sasi memutuskan tatapan mereka, kembali menatap cahaya matahari yang kian tenggelam seakan termakan oleh bentangan laut.

“saya harap memang seperti itu saja, tidak lebih.. karena jika ada selain itu saya semakin tersiksa.

.. saya akan menyedihkan jika menganggap semua yang kamu lakukan akhir-akhir ini seperti kamu membuka pintu untuk saya, padahal kamu melakukan semuanya hanya karena ini adalah saat-saat terakhir kita.” Sasi menunduk.

“saya takut akan perasaan dan harapan saya sendiri, saya malu jika berpikir kamu peduli kepada saya karena pada dasarnya kamu hanya menepati janji untuk menyenangkan saya disaat terakhir ini.”

“Sasi..”

Sasi menatapnya, dengan senyum itu. Senyum yang Fahri tahu akan selalu hadir jika wanita itu menyembunyikan sesak dihatinya.

“terimakasih, kamu menepati janji. Itu artinya saya pun harus memantapkan pilihan.” Fahri dengan cepat berdiri, meski mendongak juga agak silau karena cahaya orange Sasi melihat rahang pria itu mengeras.

“saya rasa kita pulang saja.”

“kenapa?”

“sudah cukup, kita harus beristirahat.”

Bibir Sasi mengerucut, berdiri dengan terpaksa. Mensejajarkan posisinya disebelah Fahri yang kini menatap kesegala arah.

“ya.”

🌜

Sasi memperhatikan pria itu sesekali lewat ujung matanya, sepanjanh perjalanan tidak ada satu kata pun yang terucap. Meski Sasi bukan termasuk golongan wanita dengan gengsi yang tinggi, Sasi bisa dengan santainya membuka obrolan pada orang disekitarnya tanpa pikir topik apa yang akan ia bahas. Namun berbeda halnya jika menyakut pria yang kini tengah mengayuh pedal sepeda agar mereka sampai dihotel sebelum awan menggelap. Sasi kehilangan kata-kata bahkan percakapan garingnya pun seolah hilang terbawa angin yang cukup kencang berhembus. Menerbangkan anak-anak rambut yang tidak terkepang.

Hawa dingin menyapa kulitnya, Sasi hanya bisa mendekap diri sendiri. Hingga Fahri menghentikan laju sepeda, membuat Sasi turun secara refleks.

“kenapa?”

Fahri tidak menjawab, ia melepaskan jaketnya. Menyisakan kaos hitam berlengan pendek yang kini menempel ditubuhnya.

“pakai.”

“nggak usah.”

“cepat, agar kita sampai di hotel tidak terlalu malam.”

“Fahri..” tanpa aba-aba Fahri menyampirkan jaketnya dipundak Sasi, membuat wanita itu mematung sekian detik.

“pakai tanpa banyak berbicara.”

“kamu tahu apa yang tidak saya mengerti tentang perempuan?” Sasi bergeming.

“mereka tidak pernah mau dipedulikan dengan mudah.”

Bagaikan hatimu terbuat dari kaca, mudah sekali retak
Namun fikirku bagaikan terbuat dari batu,
Sulit sekali untuk berpaling.
Keras kepala aku dalam mempertahankan hubungan ini.
Mungkin benar kata orang..
Cinta itu gila,
Cinta itu membutakan segalanya.
Dan keduanya ada dalam cintaku,
Gila dan buta.

—Sasikirana

Terasa meski tak ingin merasa,
Terpikirkan tanpa berniat memikirkan,
Terkenang meski tidak mengenang,
Terjadi tanpa pernah menjadi.

—Fahri

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang