Fahri tahu kalau wanita itu sebenarnya kelaparan, karena terakhir kali Fahri melihat sesuatu masuk ke mulutnya waktu pagi sebelum mereka sampai di bandara. Dan sekarang sudah tengah malam.
Ia tidak tahu apa yang membuat wanita itu tidak mau makan bersamanya? Tapi yang jelas gerak-geriknya mencurigakan. Fahri bisa mencium baunya.
Meski ia merasa aneh, tapi Fahri tetap membawa beberapa makanan untuk dibawa ke kamar. Ada ikan bakar, ayam bakar juga beberapa minuman instan yang ia beli juga. Fahri tidak tahu apa kesukaan wanita itu, maka apa yang ia rasa baik untuk dimakan Fahri membungkusnya.
Fahri membuka pintu dengan kondisi lampu kamar yang masih menyala, perempuan itu sudah terlelap dengan keringat yang lumayan deras di pelipis. Tidurnya terlihat tidak nyenyak. Juga kakinya yang bergerak-gerak pelan.
“kenapa?” tapi wanita itu menggeleng pelan. Membuat Fahri mendekat. Memeriksa.
“kamu sakit?”
“nggak.” tapi kemudian dia merintih kesakitan, meski pelan.
“bohong.”
Dalam hati Sasi, ia sungguh tidak ingin Fahri melihatnya seperti ini.
“saya panggil dokter kalau begitu.” cepat Sasi meraih pergelangan Fahri, mencegahnya beranjak.
“nggak usah.”
“lalu kamu kenapa?”
“saya nggak apa-apa.” tapi perutnya berbunyi keras, dengan rasa melilit yang perih.
“kamu maag?”
“nggak.”
“makan.” perlahan Fahri membantu Sasi duduk.
“kenapa selimutnya masih kamu peluk seperti itu?”
“nggak apa-apa. Saya hanya sedang nyaman seperti ini.”
Fahri memicingkan matanya. “kamu tidak pernah seperti ini, Sasi.”
Mungkin Sasi sedikit lupa kalau selama setengah tahun ini ia hidup dalam atap yang sama dengan pria yang kini tengah menatapnya penuh tanda tanya. Sedikitnya pria itu tahu kebiasaan atau apa yang sering Sasi lakukan jika dikamar. Dan kali ini, ia telah memperlihatkan kebohongan yang tidak pandai ia tutupi.
“saya hanya nggak ingin kamu melihat saya seperti ini.”
“kamu terlihat seperti manusia normal biasa, lantas apa yang harus kamu tutupi dari saya?” perlahan Fahri menyiapkan makanan yang ia bawa, tak lupa menyediakan sendok makan agar Sasi tidak perlu mencuci tangan.
“saya nggak mau kamu berpikir macam-macam.”
“saya pria, pikiran saya pasti bermacam-macam Sasi.”
“bisa kita nggak usah bahas ini?”
“kenapa?”
“karena saya nggak nyaman.”
“sama saya?”
“bukan, sama pembicaraan ini.”
“saya juga tidak nyaman.”
“sama saya?”
“sama apa yang kamu tutupi.” refleks Sasi menyilangkan tangannya menutupi dada.
“jangan berpikir kesana ya.”
Fahri tersenyum sinis yang dimata Sasi terlihat manis. “ternyata kamu bisa seperti kanak-kanak.”
“serius, kita jangan bahas ini lagi.”
“ok.” Fahri mulai membuka laptop yang belum ia buka sejak keberangkatan mereka, membiarkan Sasi menyelesaikan makanannya.
“mengerjakan tugas penting?” suara Sasi memecah keheningan.
“tidak, hanya memeriksa dan memantau.”
“kamu sibuk sekali, bahkan saat kita disini.” Sasi menunduk.
“lagipula apa yang bisa saya kerjakan disini?”
“menyenangkan saya?”
“kamu?”
“ini kan syaratnya kita berpisah, bahagiakan saya selama ada waktu.”
“saya disini pun kamu sudah bahagia kan?”
“sangat percaya diri.” Sasi mencibir pelan. Keadaan sudah kembali hening, tapi tiba-tiba Sasi menjerit sambil meloncat dari tempat tidur.
“ada cicak!” Fahri masih ditempatnya, memperhatikan cicak kecil yang jatuh lalu berlari pergi dengan cepat lewat celah pintu, dan melihat Sasi yang masih berdiri disamping tempat tidur. Dengan selimut yang sudah jatuh kebawah.
Beberapa menit keadaan sangat hening, bahkan lebih hening dari sebelumnya. Sampai akhirnya Fahri berdiri, keluar lalu mengunci pintu dari luar. Tanpa berkata. Mengabaikan Sasi yang masih terdiam kaget juga malu.
Sekali lagi, Sasi berteriak dengan perasaan kacau. Perutnya kini membaik, namun hatinya belum kunjung pulih. Ia masih malu, kini sangat malu.
Dipikirannya banyak sekali cara agar Fahri melupakan kejadian tadi, atau bagaimana caranya agar Fahri tidak mengungkit apa yang baru saja ia lihat. Pikirannya terus mencari cara, hingga tanpa sadar pintu terbuka. Menampilkan Fahri membawa bungkusan putih dengan lambang sebuah toko yang buka 24 jam.
“saya beli baju tidur, kamu bisa ganti.” dengan cepat tanpa berkata Sasi berlari ke kamar mandi. Mengunci pintu rapat-rapat. Dan keluar dengan wajah yang malah memerah.
Sedangkan Fahri kembali mengerjakan sesuatu di laptopnya, seakan ia tidak melihat Sasi yang baru saja menjerit dengan lingerie ditubuhnya.
“terimakasih.” ucap Sasi pelan. Duduk dipinggiran tempat tidur dengan ikatan rambut yang sudah tidak beraturan membuat wajahnya ditutupi rambut di bagian sisinya.
“sekarang saya rasa kamu lebih baik.”
“ya.”
“lain kali, bicarakan. Saya bukan orang pintar yang bisa tahu apa yang sedang terjadi sama kamu.”
“maaf.”
“jangan ragu mengatakan apa yang mau kamu katakan, Kita bukan dua orang asing yang tidak sengaja hidup bersama selama ini kan?”
“di Bali bisa gerimis juga ya.” tiba-tiba Fahri berdiri, beranjak ke jendela. Rintik hujan gerimis yang membasahi jendela kamar mereka.
“ya, tapi tidak akan lama.”
“kamu tau apa yang saya suka tentang hujan?”
“apa?” sahut Sasi, masih ditempat.
“rintik hujan membuat saya melupakan apa yang membuat saya sakit, karena setelahnya ada pelangi yang dapat membuat saya tersenyum. Yakin jika hidup saya yang kelam akan berwarna, suatu saat nanti. Entah dengan siapa atau karena apa.”
Sasi hanya terdiam, meski kini semuanya telah membaik. Ada yang perih ditubuhnya. Bukan perutnya, tapi hatinya. Kini, ia tidak tahu kenapa tiba-tiba ia meneteskan airmata. Hangat namun pedih mengaliri pipinya. Hatinya rapuh, meski punggungnya melindunginya dari tatapan pria yang kini juga memandangnya.
Hujan mungkin akan menghapus jejak langkah kita.
Tapi tidak tentangmu dalam ingatanku.
Kamu abadi.
Mungkin sampai aku menua, kamu tidak akan pernah aku lupakan.
Sebab saat ini, bagiku cinta dan patah hati terbesar dalam hidupku
Ialah datang dan pergimu.—Sasikirana
Sekarang, untuk siapa senyum yang dulu pernah membuat aku jatuh cinta setiap harinya?
Sekarang, untuk siapa janji-janji manis yang selalu bisa membuat aku melayang setiap harinya?
Sekarang, untuk siapa cinta yang pernah membuat aku lupa akan rasanya sendirian?
Dan sekarang, untuk siapa lagi kamu bungkus pengkhianatan bersimpulkan cinta itu?—Fahri
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...