Siang ini Sasi sudah sampai dirumah Bogor, satu-satunya tempat ternyaman karena ada Mami di kota hujan ini.
Mami menyambutnya dengan senyuman lebar, merentangkan kedua tangannya agar ia bisa langsung mendekap Sasi. Di dalam peluknya Sasi menajamkan mata, membaui mami yang sudah sangat ia rindukan.
"Sasi kangen, mami." Punggungnya dielus lembut, dekapan mami semakin erat.
"Kamu datang lebih awal." Ucap mami yang tersenyum.
Mami mengajaknya masuk, rumah mereka tidak berubah hanya saja cat pagar rumah masih basah juga aroma masakan khas mami yang sangat Sasi rindukan tercium.
"Mami masak apa?" Tanya Sasi perlahan menuju dapur, disampingnya mami hanya tersenyum.
"Tumis kangkung, cumi-cumi sama sambal. Kesukaan kamu kan?" Sasi mengendus manja seperti anak kucing ke tubuh mami, yang selalu mami balas mengusap punggungnya pelan.
"Ayo makan, kita sudah lama nggak makan bersama." Dengan senang hati Sasi mengiyakan.
"Bagaimana disana?" Mami mulai bertanya ketika keduanya sudah selesai makan, membawa piring kotor ke wastafel namun Sasi merebutnya.
"Biar Sasi saja." Mami mengangguk pelan dengan senyum yang terus menghias wajahnya.
"Sasi kadang capek sama pekerjaan tapi semua terasa menyenangkan karena Sasi menyukai semuanya. Pekerjaan Sasi, teman-teman Sasi juga sampai saat ini masih bersama sama Sasi." Ujarnya girang, seakan lupa akan apa yang membawanya kemari.
"Kalian masih suka berkumpul?"
"Iya, meskipun sangat sulit dapat waktu untuk ketemu tapi seminggu sekali kita pasti ketemu."
"Bagaimana sama Taufan? Tahun sekarang mau ambil S3?" Mami masih mengingat semua yang Sasi ceritakan meski berbulan-bulan lalu.
"Sepertinya belum, soalnya dia masih sibuk jadi dosen."
"Ara masih belum bekerja?" Untuk Ara Sasi memilih menutupi teman nakalnya itu, karena besar kemungkinan Mami meminta Sasi menjaga jarak. Bukan karena mami takut Sasi terbawa Ara yang suka keluar malam pulang pagi, hanya saja mami lebih mengkhawatirkan jika terjadi sesuatu yang menyangkut pautkan Sasi mengenai Ara dan Sasi paham sekali akan kekhawatiran mami-nya.
"Masih belum." Jawabnya sambil tersenyum canggung. Yang mami tahu hanya Ara bekerja sebagai guru privat bahasa arab, sesuai dengan jurusan yang diambilnya.
"Nala kapan kirim undangan?"
"Sepertinya masih belum ditentukan, mi. Satria sama Nala keduanya sibuk, ketemu susah juga komunikasinya kurang. Tapi yang penting kan sudah ada ikatan." Mami mengangguk setuju.
"Iya, jika keduanya serius tidak langsung menikah juga tidak apa-apa kalau memang keduanya sibuk, belum punya waktu. Yang penting itu mengikat yang sudah diketahui oleh keluarga dan keduanya juga harus saling percaya.
Kamu tahu kan? Nggak mudah untuk tidak berpikir negatif kepada pasangan ketika jarak menjadi penghalangnya? Apalagi dijaman sekarang komunikasi sudah bisa lewat apa saja, hanya terbatasnya waktu juga peraturan yang ada mengharuskan mereka berkabar seadanya. Pasti berat. Kalau anak sekarang menyebutnya.. RDR?" Sasi tersenyum menatap mami yang kini menatapnya penasaran.
"Itu LDR, mi."
"Apa itu?"
"Long Distance Relationship."
"Pakai bahasa Indonesia saja." Pinta mami polos.
"Hubungan jarak jauh."
"Ohh, HJJ?" Sasi menutup mata gemas.
"Belum ada singkatan bahasa Indonesianya, mami.." Mami tertawa pelan, menyebarkan tawa itu kepada Sasi.
Kini keduanya berjalan keruang tengah, duduk Di sofa empuk yang selalu menjadi tempat tidur dadakan kalau Sasi ketiduran mengerjakan tugas selama masa sekolah.
"Elvin bagaimana? Suaminya yang cuek itu masih cuek?" Mami masih melanjutkan pertanyaannya, membiarkan Sasi meletakan kepalanya di paha mami.
"Ya masih seperti itu, tapi mereka bisa bertahan sampai sekarang." Sasi tersenyum pelan. Mulai terpejam ketika mami mengelus rambutnya pelan. Memperlakukannya seperti Sasi masih gadis kecilnya.
"Kapan anaknya dibawa kesini? Mami mau lihat, mirip ibunya atau bapaknya."
"Suaminya sibuk, mi. Sedang merintis usaha sendiri, katanya nanti usaha bapaknya Fathir mau di urus saja sama adik papanya kalau usaha Fathir lancar. Lagian Miranda juga gak bisa dibawa jauh-jauh, suka nangis. Anaknya nggak betahan."
"Bagus dia, nggak mau tumpang kaki atas keberhasilan papanya. Mau berusaha sendiri." Sasi mengangguk.
"Miranda sudah berapa tahu sekarang?" Tanya mami sembari berusaha mengingat.
"Tahun sekarang mau dua."
"Anak umur segitu lagi masa menggemaskan."
Sasi mengangguk bersemangat. "Iya, kalau Sasi main kerumah Elvin miranda suka tarik rambut Sasi kencang sekali, sakit tapi kalau dilepas nanti Miranda nangis jadi Sasi tahan sampai Elvin yang bawa." Tawa Sasi membuat mami tersenyum lebar.
"Kamu bagaimana?" Tanya mami pelan.
"Sasi?"
"Iya. Kamu bagaimana? Belum mau punya momongan?"
Sasi terdiam cukup lama, menatap mami. "Mungkin memang belum waktunya, mi."
"Kalian baik-baik saja?"
"Kenapa mami tanya seperti itu?"
"Karena mami yakin ada yang tidak beres. Kamu tidak pernah bersama dengan dia meskipun sudah menikah, apa karena saat itu mami sedang sakit dan nggak bisa datang temani kamu? Dia membenci mami?"
Sasi menggenggam tangan mami erat. "Bukan seperti itu, hanya mungkin dia belum siap bertemu mami."
"Kenapa butuh kesiapan?"
"Kan mami tahu, dia meminta izin melalui telepon karena tidak bisa bertemu langsung dengan mami karena pekerjaannya sedang ada diluar kota lagipula mami langsung menyetujui. Tidak ada alasan untuk membenci mami."
"Kalian terlalu tiba-tiba, membuat mami didatangi banyak pertanyaan. Kamu sadar itu?"
Sasi mengangguk pelan.
"Lalu sekarang tidak pernah datang bersama, mami semakin penasaran."
"Semuanya baik-baik saja, mi. Percaya." Sasi menenggelamkan wajahnya diperut mami, meningkatkan tangannya pada pinggang mami yang selalu terasa nyaman.
"Bagaimana pun kamu bilang semua baik-baik saja, mami selalu tahu ada yang tidak baik-baik saja lewat mata kamu Sasi." Ucap mami pelan sambil terus mengelus rambut Sasi, yang ternyata meski terpejam Sasi mendengarnya.
Bisakah kamu membuatku merasa dihargai walau sebentar?
Setelahnya kamu boleh lupakan aku selamanya.-Sasikirana
KAMU SEDANG MEMBACA
SASIKIRANA
ChickLitIni bukan pernikahan yang terjadi karena perjodohan, kawin paksa atau bahkan pernikahan kontrak. Ini murni menikah, secara sadar. Hanya bedanya, yang satu benar-benar mencintai namun yang satunya justru hanya ingin melindungi dari cinta palsu dan pe...