XXXIII-Kebahagiaan Untuk Dirasakan

964 72 7
                                    

Jadi, pagi sekali Sasi sudah dikagetkan dengan kehadiran tiga sahabatnya yang sudah berdiri tegak dibalik pintu dengan aksi unjuk gigi. Sangat lebar.

“kalian?”

“gue gak habis pikir sama Sasi, kita datang bukannya disambut malah bengong.” ujar Nala, masuk tanpa dipersilahkan.

“ya siapa yang gak kaget didatangi tamu setengah tujuh pagi.” jawab Elvin.

Membiarkan Sasi tetap ditempat, mencoba mencerna apa yang terjadi.

guys..”

apa, Si? Pagi-pagi berisik amat!”

Kening Sasi berkerut dalam. “seharusnya gue dong yang..”

“kita cuma mau bantu lo persiapan buat holiday.”

“udah gue packing kok, kalian gak perlu repot-repot.”

“dikamar ya?”

“iya.”

Melihat Nala berjalan menuju kamarnya, Sasi berseru kencang. “mau apa?!”

“mau bantuin, kali aja ada yang Lo lupa.”

“gak perlu, Na.”

Nala mengibaskan tangannya. “sans, Si. Lo kenapa deh.”

Hendak saja Sasi melangkah, Elvin berucap. “Si, bisa bantuin bawa Ara ke kamar mandi?”

“ha?”

“Ara kayaknya mau muntah.” ditatapnya Ara yang memejamkan mata, duduk di kursi dengan lemas.

“iya tuh, mabuk keong racun kali. Tiap subuh kerjaannya teler mulu.” timpal Nala, melanjutkan langkahnya.

Dengan anggukan pelan, Sasi mendekati Ara. Bersama Elvin, memapah Ara yang tidak berdaya ke kamar mandi. Melupakan niatnya membawa Nala kembali keruang tengah.

Disampingnya Elvin tersenyum geli.

Selesai dengan Ara yang ternyata tidak muntah parah, Sasi membaringkan Ara disofa ruang tengah. Nala sudah sibuk di dapur membuat sedikit kekacauan dengan tema membuat sarapan. Untuk dirinya sendiri.

“Fahri mana?”

“tadi jam enam dia berangkat ke kantornya, katanya ada dokumen yang harus di titip ke resepsionis.”

“alesan doang, paling gak jadi.” Nala berbicara.

“jangan sarapan pedas, mulut Lo udah kayak cabe juga.” timpal Sasi malas.

“emang, dari kemarin negatif thinking terus. Padahal kamu yang mau liburan, biasa aja.”

“sirik gue tuh, Sirik!”

“dasar LDR.”

“daripada jomblo!”

“lo kesiapa?”

“Ara.”

“lagi tidur.”

“siap.” kenyataannya Ara memang tertidur lelap meski volume televisi diangka tujuh. Nyenyak sekali.

“semoga disana lancar ya, gak ada problem apa-apa.”

Sasi mengangguk. Tersenyum meng-amin-kan.

“gak ada si Salsa hello Kitty. Muka aja cantik, kelakuan kayak iblis.” kata Nala, berjalan menghampiri membawa mie goreng instan dua bungkus yang jadi teman sarapannya.

“gak boleh gitu, Na.” sanggah Elvin.

“emang benar 'kan?”

“gak bikin buat aku?” tanya Elvin.

“ibu-ibu gak boleh makan mie instan.”

“kenapa?”

“nanti perutnya tambah melar. Suami Lo ntar gak doyan lagi.”

“sembarangan!” tak lupa jitakan dibelakang kepala.

“jujur aja ya, gue bingung.” Sasi memecah keheningan.

Elvin yang pertama kali memberi respon cepat. “kenapa?”

“pasti bakalan awkward banget.”

“iya lah, suami Lo kan kayak kanebo kering.” sahut Nala dengan banyak mie dimulutnya.

Sasi menghembuskan nafas pelan yang berat.

“kenapa?”

“lebih baik gue disini aja, gak usah ikut dia ke Bali. Jauh dari dia mungkin bakal lebih menyenangkan.” ujar Sasi pelan.

“nah, bener tuh. Mendingan Lo disini aja. Jangan gaya-gayaan liburan ke Bali.” ucap Nala dengan sarapannya.

Elvin melotot kesal, membuat Nala menunduk fokus pada makanannya. “gak ketemu sehari aja, kamu rindu berat. Apalagi ditinggal lima hari? Yakin masih bisa hidup?”

“hidup gue simple, makan, aktifitas dan tidur. Itu udah cukup buat gue tetap hidup.” Nala mengangguk-angguk dengan ibu jari yang diangkat. Menyetujui ucapan Sasi.

“hati kamu, Si. Bukannya kamu yang sangat menginginkan dia sampai sudah sejauh ini? Lalu saat ada kesempatan untuk merasakan kehadiran kamu diterima oleh dia, kenapa tiba-tiba mau mundur seperti ini?”

Sasi tersenyum kecil, menunduk. Memikirkan semuanya. Satu bulan ini. Kenangannya dengan Fahri hanya akan menyakitinya sendirian. Pria itu tidak akan terbebani nantinya jika mereka berpisah. Pria itu akan tetap hidup tenang seperti biasa. Tapi berbeda halnya dengan Sasi. Ia menanggung semuanya sendiri. Ia akan mengingat semuanya sendiri. Dan tentu, kesakitan yang tercipta itu akan ia rasakan sendiri. Terlebih, perpisahan yang sudah ia nyatakan pada Fahri, tidak ia beritahukan pada sahabatnya. Bisakah jika kelak ia pesakitan seorang diri?

“lo lebih pilih merasakan bahagia yang sesaat atau melepaskan sejak awal dan tidak merasakan bahagia itu?”

Kening Elvin berkerut dalam, menandakan ia tidak mengerti apa yang Sasi bicarakan. “apa harus sekarang?”

“ya.” agar gue bisa tahu, kapan harus berhenti sebelum semua yang gue inginkan menghancurkan diri gue sendiri. Terlalu dalam.

“itu pilihan, Si. Setiap orang punya wewenang atas apa yang ia inginkan untuk dirinya. Dan saat itu terjadi sama aku, aku pilih merasakan kebahagiaan itu.”

“kenapa?”

“karena kebahagiaan itu hanya bisa kita rasakan sendiri, mau bagaimanapun kamu mendengarkan kebahagiaan dari orang lain tapi kamu nggak merasakannya. Kamu tidak akan tahu kebahagiaan itu.”

“kalau kenyataannya pilihan itu salah dan justru menyakiti kita?”

“kenapa harus takut akan sakitnya? Hidup itu memang nggak melulu bahagia dan flat. Sakit juga perlu. Tapi.. yakin. Kalau setelah sakit itu kamu akan menemukan kebahagiaan yang lain. Mungkin nggak akan sama seperti kebahagiaan sebelumnya, bisa saja lebih indah dari sebelumnya..

.. itu semua tergantung cara kita bersyukur.” Sasi tersenyum, memeluk Elvin kencang.

“gue gak percaya, Vin. Otak Lo bisa sebijak itu.” ketiganya tertawa pelan. Nala menghancurkan suasana itu dengan baik.

Aku akan tetap mencintaimu sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Ketika nanti batas waktunya telah habis,
Silahkan bisa ulang empat kalimat pertama.

—Sasikirana

Jika tak sanggup mencintai, berusahalah menghargai.
Karena pengorbanan ini menguras waktu, tenaga dan perasaan.

—Elvina

Nggak sama lo pun,
Gue layak bahagia.

—Naladhipa

Kalau Lo gak berharap,
Lo gak bakal sakit hati.

—Arabella

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang