IX-Penjelasan Yang Tak Diperlukan

1.2K 89 1
                                    

Aku terbangun dengan pusing dikepala yang sangat berat, seperti gasing yang memutar cepat.

“maaf membangunkan, saya buatkan teh.” belum sempat aku tersadar akan apa yang terjadi dia memilih pergi setelah mengatakan apa yang tidak aku mengerti.

Aku berusaha duduk di kepala ranjang, menyandarkan punggung dilapisan dinding yang dingin. Waktu menunjukkan masih jam dua pagi, dan rasa tidak enak diperutku memaksa agar aku berlari cepat menuju kamar mandi. Aku muntah mengeluarkan cairan yang berbau, ini pertama kalinya aku minum dan aku baru tau jika efeknya seperti ini. Orang bilang alkohol bisa menghilangkan beban pikiran kita juga rasa sakit yang kita dapatkan, kuakui itu benar tapi hanya beberapa saat sesudahnya kita akan kembali pada beban juga sakit yang kita rasakan. Dan aku tidak akan meminumnya lagi.

Pelan aku kembali menyandarkan tubuhku pada dinding, mencoba merileks-an badan ku Yang lemah. Juga hatiku yang berantakan. Sesaat ku dengar suara pintu yang terbuka, menampilkan dia membawa satu mug yang dikelilingi asap diatasnya. Aku tebak itu teh yang ditujukan padaku.

“ini, minumlah.” dia menaruh mug bergambar doraemon dengan warna putih yang dominan dinakas, letak yang pas dimana kebetulan yang ia sengajakan pandanganku tertuju pada foto pernikahan kami. Ah, mungkin memang tidak sengaja. Foto itu memang sudah berada diatas nakas sejak pertama kali aku membawanya kerumah ini. Rumah impianku, dengan dia.

Aku mengambilnya, meniup pelan-pelan teh yang masih panas bahkan ketika aku memegang mug-nya.

“tidak baik meniup makanan atau minuman, itu akan menambah bakteri kedalamnya.” dan aku sudah bahkan hafal dengan apa yang dia ucapkan, sejak menikah dengannya perlahan ia berubah menjadi cerewet dan membuatku kehabisan kata menjawabnya. Maka kubiarkan. Biarlah, aku hanya mendengarkan.

“teh hangat lumayan untuk kondisi perut yang kosong setelah muntah, Efek mabuk memang tidak baik.” aku sedikit kaget mendengarnya. Ia tau aku mabuk, dan aku yakin aku pasti meracau dihadapannya.

“tadi kamu memeluk saya, menciumi pipi saya juga mengusap kepala saya dengan sayang.” dia mengatakan itu seolah tanpa beban, tersenyum yang terlihat aneh. Dan itu membuatku merasa ia bukan Sasi yang ku kenal, bukan senyum tulus yang ia miliki setiap kali bertatapan denganku. Senyumnya berbeda.

“kamu mengatakan saya mencintai kamu, Sa. Dan saya bahagia, Fahri.” masih dengan senyum itu.

“tapi ternyata ucapan kamu belum tuntas, saya mencintai kamu, Salsa. Dan saya merasa terjatuh, padahal kamu sedang memeluk saya erat.” dia menunduk, memainkan kakinya yang terjuntai kebawah ranjang. Aku tidak melihat jelas wajahnya, rambut hitam panjangnya menghalangi pandanganku padanya. Aku ingin melihat ekspresinya, meski aku tidak peduli padanya tapi jika memang benar tadi aku melakukannya walau tanpa kesadaran itu menyakitinya. Lagi.

“Sasi..”

“setidaknya saya berterimakasih untuk malam ini, Fahri. Kamu memeluk saya, melakukan hal yang tidak mungkin kamu lakukan ketika kamu sadar. Meski akhirnya saya tau bukan saya yang kamu pikirkan, tapi bukan apa-apa.” dia masih menunduk, seolah memang tidak ingin aku pandangi.

“Sasi, apapun yang saya ucapkan diluar kendali saya. Juga perlakuan saya sama kamu, itu bukan keinginan saya. Jadi kalau-”

“Fahri, bagaimana dengan Salsa? Apa kamu sudah dapat menerimanya kembali?” apa maksudnya? Kenapa ia mengalihkan pembicaraan pada topik yang membuatku meminum alkohol itu. Aku mencoba menjelaskan tapi ia mengubah haluan. Apakah semua wanita berciri khas seperti itu?

“Sasi, saya tidak membahas dia. Saya membahas kita. Untuk kejadian tadi-”

“sejak kapan ada kita, Fahri? Yang ada hanya kamu dan saya, bukan?” kali ini dia Mengangkat wajahnya, tidak ada senyum juga tatapan itu. Seolah semuanya hilang.

“Sasi-”

“saya mau pulang.” maksudnya pulang dia akan berhijrah ke Bogor, menemui mami-nya juga sanak saudara disana.

“kapan?”

“pagi ini.” aku terkejut, ini perkataannya yang mendadak. Bukan maksud aku tak pernah ia tinggalkan, tapi tidak biasanya ia pergi dengan keputusan cepat.

“kenapa? Apa mami memberi kabar? Apa ia baik-baik saja?”

“dia baik-baik saja.” aku lega, setidaknya meski tidak pernah bertemu aku tau jika mami itu berharga untuk Sasi. Bahkan hidup nya dan sebagai menantu yang baik aku memang tidak peduli pada Sasi, bukan berarti aku jahat pada keluarganya.

“kenapa tidak weekend depan?”

“tidak.” bukan maksudku mencampuri keinginannya, tapi disini aku dan dia punya sesuatu yang harus diselesaikan bukan malah dibiarkan dan di tinggalkan begitu saja. Ini memang tidak penting, tapi aku khawatir dia akan berbuat bodoh dan membuat keluarganya menyalahkanku sebagai suaminya.

“tapi beberapa hari lagi Tristan akan pulang, ingat?” ia mengangguk pelan.

“jadi berapa hari kamu disana?”

“seminggu.”

“apa?!” tentu aku kaget, ia tidak pernah mengambil waktu pulang selama itu.

“saya tidak bertanggung jawab jika Tristan curiga.” adiknya itu selain menjadi seorang dosen elektro, mempunyai darah detektif. Dan aku tidak begitu menyukai darahnya.

“saya yang akan bertanggung jawab atas itu. Tidurlah, kamu butuh istirahat yang cukup.” dia beranjak, menuju balkon menghadapi dinginnya angin malam yang ganas.

“kamu?”

“saya tidak butuh istirahat.” dia selalu tau apa maksud pertanyaanku tanpa kujelaskan, dan itu sedikit membuatku mau menjalin percakapan dengannya. Dia kadang seperti cenayang. Dan lebih bagus lagi jika tau aku tidak mencintainya. Sungguh.

“Sasi, kita harus bicara atas apa yang belum kita selesaikan. ”

“tidak ada apa-apa diantara kita, Fahri. Dan jika kamu khawatir pada saya, saya Katakan kalau saya baik-baik saja.” dan dia menutup pintu balkon agar terpaan angin malam yang ganas tidak berdemo kedalam, dia memilih duduk diluar dengan novel lusuhnya. Ditemani angin malam yang menerbangkan rambutnya keberbagai arah yang tak tentu. Meninggalkanku dengan berbagai hal yang perlu dibicarakan namun ia abaikan.

Aku tidak suka perasaan bersalah ini. Sangat.

Jika bukan aku tujuan pulangmu, lantas kenapa kamu mematenkan ku sebagai milikmu?

Sasikirana

Saat aku memilih untuk diam, sebenarnya banyak yang ingin ku Katakan. Hanya saja kurasa tak perlu karena kau tak akan mengerti.

Fahri

Harapan yang diberikan tanpa kesungguhan hati hanya akan menyakiti.

West Java, February 11:09

SASIKIRANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang