DUAPULUHTUJUH

9K 359 4
                                    

Hai
Minal Aidzin Wal Faidzin ya readers.
Mohon maaf lahir dan batin.
Selamat hari raya idul fitri.
Author minta maaf ya kalo sekiranya author punya salah ke kalian. Author hanya manusia biasa yang tak luput dari dosa.
.
.
Dan juga makasih ya buat 5K viewers nya. Makasih yang udah setia nunggu cerita ini. Makasih juga untuk yang vote dan komen. Vote dan komen kalian itu memberi semangat untuk saya. Pokoknya Makasih ya untuk semuanya.

•●•

"Tian?" tanya Vero memastikan apa yang ia dengar benar atau tidak.

Dalam dada bidang Vero, Vero merasakan bahwa kakaknya mengangguk dalam pelukannya. Pelukan seorang saudara memang bisa menenangkan hati. Begitulah yang dirasakan Vira sekarang. Dia hanya butuh sosok yang selalu ada untuknya. Yang pertama kedua orang tuanya yang kedua adalah adik satu-satunya.

Betapa rapuhnya seorang Vira. Hanya karena seorang lelaki dia menjadi seperti ini. Membuang-buang air matanya yang berharga demi seseorang yang belum tentu menjadi jodohnya kelak. Sungguh sia-sia bukan. Maka dari itu jangan terlalu berharap kepada seseorang yang belum tentu dia adalah jodoh kita.

Veropun melepas pelukan Vira dan menatap mata Vira yang memerah akibat menangis. Diusapnya pelan pipi Vira yang basah akibat air mata yang tak henti-hentinya turun dari mata ke pipinya itu. Dengan lembut Vero mengusapnya.

"Udah deh, jangan cengeng napa? Udah gede lo tuh bukan anak kecil lagi." Vero mencoba menenangkan kakaknya.

"Kata siapa gue udah gede?" tanya Vira dengan suara yang parau khas habis menangis.

"Lah lo kan udah bisa bedaain mana cowok cakep mana yang cowok biasa. Jadi lo udah gede." jawab Vero dengan seringai menggodanya.

"Ah nyebelin lo." Vira mengerucutkan bibirnya kesal.

"Jangan sok imut gitu. Sok manyun-manyun gitu lagi. Lo kira tambah cantik apa?"

"Bodo amat." Vira berdecak kesal bukannya mendapat pencerahan eh malah digoda abis- abisan oleh adikknya. Ia sampai lupa masalahnya beberapa menit yang lalu, yang membuat ia menangis.

"Udah ah udah lo ngapain lari-lari kayak emak-emak lagi berburu diskon kayak gitu. Abis itu meluk-meluk gue kagak ijin lagi. Terus nangis-nangis kayak anak kecil gitu." Vira yang hampir lupa masalahnya, Vero mengingatkanya membuat sakit itu muncul lagi.

Vira menundukkan kepalanya. Menatap sepatu hitam dan sedikit garis berwarna abu-abunya itu. Mencoba merendam rasa sakitnya itu lagi. Rasa sakit yang sudah kedua kalinya. Dikhianati kedua kalinya. Dipermainkan kedua kalinya. Sungguh itu sangat sakit bukan? Sekuat apapun perempuan itu, ia juga akan merasakan sakit. Namun perempuan itu akan menutupi rasa sakitnya itu dengan sebuah senyuman. Senyuman yang dipaksakan.

Begitupun dengan Vira.

"Enggak apa-apa lupain aja. Tadi gue lagi khilaf aja." jawab Vira setelah mendongakkan kepalanya dan melempar senyuman kepada adiknya. Veropun tau bahwa senyuman itu adalah senyuman luka.

"Lo bisa khilaf juga." seru Vero. Sebenarnya Vero ingin sekali tau masalah yang dihadapi oleh kakaknya itu. Namun ia urungkan niatnya takut kakaknya akan menangis lagi. Mungkin Vero akan menanyakan pada orang yang bersangkutan dengan ini. Seseorang yang namanya disebut oleh Vira tadi saat menangis.

"Gue juga manusia biasa kali. Tapi yang lebih banyak khilaf sih itu lo." Vira tertawa. Tawa diatas luka. Terlihat jelas di raut wajah Vira. Vero hanya tersenyum miris melihat kakaknya itu.

"Udah makan?" Tanya Vero sambil melihat jam tangan hitam yang menempel di tangan kirinya. Jam setengah 10.

"Belum. Lo mau nraktir gue. Ayok lah." tanpa perlu menunggu jawaban dari Vero, Vira pun langsung menarik tangan Vero menuju kantin sekolah. Vero hanya menggeleng melihat tingkah kakaknya. Teman Vero? Ya mereka sudah pergi saat Vira datang dan menangis di pelukan Vero. Mereka peka, tak mau mengganggu adik kakak itu.

Open Your Heart (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang