[My Decision] 32 - Unfinished

77 7 0
                                    

"Jangan cemas, aku akan menemanimu."

Reide lega mengingat kalimat terakhir Wisha yang menutup pembicaraan mereka kemarin. Posisi Wisha yang merupakan senior Reide sekarang membuatnya merasa bertanggung jawab akan keadaan juniornya itu. Wisha akan menemani Reide menyelesaikan semua urusannya yang belum selesai.

Untuk kesekian kalinya Reide menghela napas panjang pagi itu. Mentari bersinar lembut pagi itu. Udaranya juga sedikit hangat. Awan putih menggantung di langit menemani sang mentari yang sedang tersenyum padanya. Reide sedikit kesal, seandainya saja hari ini turun hujan, mungkin saja Wisha akan membatalkan rencananya. Bukannya ingin lari, hanya saja Reide merasa masih belum siap untuk itu semua.

"Sampai kapan kamu mau lari dari masa lalumu?" tanya Wisha.

Jantung Reide berdegup kencang. Wisha berkata seolah-olah bisa membaca apa yang dari tadi berada dalam pikiran Reide. "Kamu..."

"Kamu kaget karena aku bisa membaca pikiranmu?" tebak Wisha lagi dengan tepat. "Jangan khawatir, aku dulu juga mengalami perasaan seperti itu."

"Oh ya? Memang dulu masa lalumu seperti apa?"

Wisha menatap Reide dengan tajam. Dia sebenarnya tidak ingin cerita. Tapi, itu bukan hal yang perlu disembunyikan. Sepertinya tidak masalah kalau dia cerita. Lagipula, masalah itu sudah selesai lama sekali. "Dulu, aku seorang nona besar. Aku putri pemilik hotel terkenal."

"Wow." Reide berkata sambil membayangkannya. "Lanjutkan..."

"Aku mati terbunuh. Adik tiriku yang berusaha merebut warisanku memanfaatkan tunanganku. Ternyata dia laki-laki yang hanya mengincar harta ayah. Jadi, dia membunuhku saat aku tidur, membuat semuanya seperti perampokan biasa."

Reide lebih terkejut lagi kali ini. Dia tidak menyangka Wisha punya cara mati yang juga tragis. Dikhianati lalu dibunuh. Pasti menyakitkan.

"Jangan bersimpati padaku," sahut Wisha cepat-cepat. "Aku sudah membereskannya dengan membuat laki-laki itu mendekam di rumah sakit jiwa. Ya, siapa yang percaya kalau wanita yang dia bunuh berniat menghantuinya. Hihihi..."

"Bisa-bisanya kamu tertawa seperti itu."

"Bukan sepenuhnya salahku, ya. Aku baru sekali menampakkan diri padanya. Setelah itu, dia sendiri yang didorong rasa bersalah hingga suka bicara sendiri. Wajar saja, 'kan, kalau mereka memasukkannya ke rumah sakit jiwa," lanjut Wisha.

"Lalu, adik tirimu?" tanya Reide sedikit ragu. Sepertinya nasibnya lebih tragis dari laki-laki itu.

"Oh, dia sudah hidup dengan benar, 'kok."

"Hah?"

"Dia menyesali perbuatannya dan menikah dengan seorang pria baik-baik padahal bisa dibilang status ekonominya cukup berbeda jauh. Aku ikut senang untuknya."

Reide terdiam sebentar lalu menanyakan hal yang menurutnya agak janggal. "Kamu memaafkan mereka? Bagaimana bisa?"

"Kamu tahu, saat seseorang tidak mau memaafkan orang lain, itu artinya dia sedang menjerumuskan dirinya sendiri. Bahkan, menurutku, tidak bisa memaafkan itu rasanya lebih menyakitkan daripada sudah mengakui kesalahan tapi nggak dimaafkan," kata Wisha sambil tersenyum. "Tapi, waktu itu aku sempat menjaga jarak dengan cowok, termasuk dengan seniorku saat itu. Kalau diingat-ingat, aku malah pernah memukulnya."

"Ehm... Siapa seniormu saat itu?"

"Lucieve," jawab Wisha singkat. "Saat itu kupikir dia perempuan. Ya, wajar saja kan kalau aku memukul orang yang kuanggap sudah menipuku. Ditambah lagi saat itu aku masih punya kenangan buruk dengan cowok." Mendengar itu, Reide jadi sedikit ngeri dengan seniornya saat ini. Untung saja, Wisha langsung menambahkan, "Tapi itu dulu. Sekarang aku sudah jadi cewek yang lebih tegar dan lembut, 'kok. ... Mungkin."

Angel of Death (2011)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang