"You are enough. A thousand time enough."
–
LARUT malam, motor Atha akhirnya berhenti tepat di depan gerbang rumah Fahri. Begitu Thalia turun dari boncengan, ia memeriksa jam tangannya dan termangu melihat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Waktu berlalu begitu cepat hari ini. Padahal, dia hanya pergi ke pantai melihat matahari tenggelam, lalu mencari makan malam, dia bahkan sempat berkeinginan untuk mampir ke rumah Atha mengingat lokasinya sama, namun Atha terlalu baik hati mengingatkannya bahwa dia harus segera pulang.
Ini tidak adil bagi Thalia. Dia baru saja bertemu bahagia, namun kini harus kembali bertemu kenyataan bahwa ini hanya sementara.
Melihat gadisnya tercenung, begitu turun dari motornya, Atha membuka kaitan helm sekaligus melepasnya dari kepala Thalia. Bibirnya tersungging kecil begitu Thalia mendongak menatapnya, mulai terlihat jelas adanya binar kecemasan di sana.
"Maaf ya, nyampenya kemalaman," sesal Atha sembari merapikan rambut Thalia. "Habis ini langsung istirahat. Besok ada kuliah pagi, 'kan?"
Thalia menarik napas dalam, menyentuh lengan Atha, mendorongnya pelan meski tidak rela. "Kamu juga, cepetan balik gih. Ini udah malam. Nanti kamu dikunciin sama Gilang, nggak bisa masuk."
"Aku anterin kamu dulu ke dalam, ya."
"Jangan! Nanti kamu ketemu Om Fahri, terus, kamu dimarahin lagi." Sergah Thalia cepat. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak, "Aku bakalan jelasin ke Om Fahri sendiri. Jadi, kamu langsung balik aja."
"Dari awal, aku udah buat salah karena bawa kamu pergi tanpa sepengetahuan om kamu, Tha. Jadi udah tanggung jawab aku buat jelasin ke Pak Fahri."
"Itu bukan kesalahan. Aku yang mau. Jadi—" Thalia terpaksa menahan ucapannya. Sentuhan hangat di sisi wajahnya membuatnya tersengat sekaligus gelisah.
"Ini nggak akan buat aku nggak bisa ketemu kamu lagi, kalau kamu khawatirkan hal itu."
"Enggak." Thalia menggeleng-gelengkan kepala. "Om Fahri bakalan ngelarang aku sama kamu buat ketemu lagi nanti. Jadi, biar aku aja yang hadapin Om Fahri. Aku nggak mau kamu kena marah lagi. Aku ... aku nggak mau—"
"Tha, dengerin aku." Atha menangkup wajah Thalia, menitahnya untuk membalas tatapan sungguh-sungguhnya, lalu melanjutkan, "Sekalipun Pak Fahri ngelarang aku maupun kamu buat saling ketemu, itu nggak akan berpengaruh. Aku bahkan udah keluar dari sini, dan aku rasa ini lebih mudah buat nemuin kamu di manapun."
Napas Thalia tertahan oleh isakan yang mencuat. Sudah sebisanya untuk menahan diri agar tidak menangis, tetapi, Thalia sudah terlalu lelah untuk bersikap kuat. Ketakutan itu masih terus menggerogotinya. Membuatnya menjadi gadis cengeng sekali lagi.
"Percaya sama aku, Tha. Besok, lusa dan seterusnya, aku masih akan bisa ketemu kamu." Atha dengan senyum menenangkan, mengusapkan ibu jarinya pada pelupuk mata Thalia yang memerah, menghalau tetesan yang kembali jatuh hingga gadis itu segera terpejam.
Di mana berikutnya Atha memanfaatkan hal itu untuk mencium lembut kening Thalia. Menyalurkan rasa sungguh-sungguhnya, menguatkan kepercayaan Thalia dengan keyakinannya.
"Tangan kamu mulai dingin." Atha menggenggam tangan Thalia, memberinya kehangatan di tengah dinginnya malam. "Masuk sekarang, ya. Aku antar."
Tidak lagi menolak, Thalia membiarkan Atha menuntunnya melewati gerbang. Ia harus menata emosinya di sela kerasnya debaran jantung di balik rusuknya, seiring dengan langkah-langkah mereka mendekati pintu utama. Dan Thalia seakan tidak ingin melepas tangan Atha begitu lelaki itu mengetuk pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
RomanceThalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah sangka. Ini bukan ceri...
