PAGI ini, Fahri sudah berhadapan dengan Atha yang tidak diduga akan langsung mendatanginya ke ruangan, masih dengan ransel di punggung dan terlihat segar meski raut datarnya kini memberi sorot tajam.
Jadi Atha memang tidak main-main dengan ucapannya. Dia bahkan mau datang sepagi ini di saat Fahri baru saja memasuki ruangan dan hendak duduk di kursinya.
"Saya datang untuk menerima hukuman dari Bapak." Adalah ucapan Atha tepat setelah berhasil berdiri di depan meja Fahri. Menunggu dengan siap.
Fahri pun menghela napas panjang. Mendudukkan diri dengan perasaan melunak. Dia sendiri sudah lelah untuk bertindak egois terus menerus.
"Sudah berapa lama kamu menyukai keponakan saya?"
Atha justru menggeleng pelan. "Saya nggak tau. Mungkin sejak Thalia tinggal di rumah Bapak. Atau mungkin setelahnya. Tapi yang jelas, saya udah menyukai Thalia karena saya terus bersama dia. Dan saya selalu berpikir untuk membuat Thalia nyaman dengan saya."
Fahri mengangguk-angguk. Bibirnya menyungging kecil. Sungguh anak muda.
"Kamu sudah tau kalau Thalia punya trauma. Kamu menerima itu?"
"Saya justru berterima kasih karena Bapak mau menceritakan trauma Thalia. Karena dengan begitu, saya ingin menolong Thalia sembuh dari rasa takutnya," lalu ia menunduk. "Tapi saya meminta maaf karena keinginan saya justru buat Bapak kecewa."
"Ya. Kamu udah buat Bapak kecewa dengan perbuatanmu yang kelewatan itu. Kamu beruntung sampai sekarang, dia nggak coba-coba menuntut kamu. Atau mungkin memang belum saatnya."
"Kalaupun iya, saya akan tuntut dia balik atas nama Thalia."
"Bagaimana caranya?" Fahri menautkan kedua tangannya di meja. "Kamu tau, itu bukanlah perkara mudah membawa kasus Thalia hingga ke meja tuntutan. Terlebih Thalia sendiri belum tentu mau bicara karena seperti yang kamu tau, dia masih ketakutan."
"Tapi kalau Bapak atau kedua orangtua Thalia mau membantu, ini bisa dikasuskan bahkan sampai ke meja hijau."
"Kamu benar. Hanya saja untuk saat ini, kita semua lebih fokus pada menyembuhkan Thalia terlebih dulu." Fahri mengamati ekspresi Atha. "Tapi Bapak juga berharap, dia akan diam setelah ini dan berhenti mengganggu Thalia. Jadi, Bapak berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan Thalia sekali lagi."
Atha terperangah mendengar ucapan Fahri. Pria itu bahkan menunduk sebelum lanjut berkata.
"Saya juga meminta maaf karena sudah berkata yang nggak sepatutnya ke kamu. Saya tersulut emosi dan saya terlalu memikirkan keselamatan Thalia hingga menganggap perbuatanmu seratus persen salah. Saya bahkan udah mengusir kamu dari rumah."
Kembali Fahri menemukan tatapan Atha. Mengulas senyum kecil untuk muridnya yang berdiri kaku di hadapannya.
"Kamu masih murid saya, Megan. Kamu masih menjadi murid kebanggaan saya. Dan rumah saya masih terbuka untuk kamu."
****
"Jadi, Om izinin Atha tinggal di sini lagi?"
Fahri mengangguk disertai senyum penuh arti. Melihat Thalia yang memandang dirinya penuh haru sebelum berhambur ke pelukannya. Dan Fahri menerimanya dengan senang hati.
"Makasih, Om. Makasih karena Om masih percaya sama Atha."
Fahri mengangguk lagi, kini sembari menepuk kepala Thalia di pelukannya. "Maafin Om. Maaf atas semua yang udah Om perbuat ke kamu sama Megan."
Thalia segera melepas diri demi menggeleng. "Lia yang minta maaf, Om. Maaf, Lia egois karena lebih milih Atha. Maaf karena Lia suka sama Atha dan nggak mau jauh-jauh dari Atha. Maaf karena Lia udah buat Om—"
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
RomanceThalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah sangka. Ini bukan ceri...
