"You're the right time at the right moment."
—
"SO, how is your feel?"
Suara lembut itu mengantar Thalia untuk membuka mata setelah jeda cukup lama. Disambut oleh senyuman lembut dari wanita bernama Elsa yang menatap penuh sabar dirinya, Thalia pun menarik napas panjang lalu mengembuskannya disertai senyum.
"Lebih baik."
"Glad to hear that!" Elsa semringah kala berkata demikian. "Mungkin sesi kali ini sampai di sini dulu. Kamu bisa mengulang kembali metode sugesti ini, kalau bisa sebelum kamu tidur. Tapi tenang saja, kamu bisa telepon saya kalau masih kesulitan. Oh, kamu masih konsumsi obat?"
"Minggu lalu baru diturunin lagi dosisnya sama Dokter Setta. Kalau dua minggu lagi ada kemajuan, mudah-mudahan bulan depan aku udah bisa berhenti."
"Kabar bagus sekali. Itu sudah cukup menandakan kalau sebentar lagi kamu benar-benar sembuh! Ingat ya, Thalia, tetap rutinkan programming dengan tanamkan di pikiran kamu kalau kamu bisa melalui semuanya dan kebahagiaan akan selalu temani kamu. Karena sugesti positif juga akan membawa kamu ke hal-hal positif juga."
Thali mengangguk penuh pasti. "Terima kasih, Tante," ucapnya penuh tulus.
Hari demi hari, Thalia mampu merasakan dirinya jauh lebih baik. Apalagi tiap kali selesai melakukan pertemuan intensif dengan Elsa di akhir pekan seperti ini. Banyak hal baru yang Thalia dapat untuk menyembuhkan kondisi mentalnya melalui mind programming seperti yang baru saja diterapkannya hari ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Thalia masih membutuhkan bantuan medis dan kembali mengonsumsi antidepresan demi kelangsungannya dalam menemukan kesembuhan. Namun, meski kocek yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan pengobatan sebelumnya, semua ini jauh lebih berharga.
Kedua orangtua Thalia pun bersedia membuat kesepakatan bersama Elsa agar dua minggu sekali bersedia mendatangi Thalia di Yogyakarta, dan sebulan sekali Thalia akan melakukan terapi di Jakarta. Semua itu berhasil dijalani berkat dukungan semua orang yang peduli pada Thalia.
"Bagaimana, Lia?" Fahri berdiri menyambut Thalia yang baru keluar dari ruangan. Melihat keponakannya tampak jauh lebih ringan tunjukkan senyum, Fahri seperti menemukan kelegaan berkali-kali lipat.
"Udah selesai, Om."
"Apa kamu masih merasa sakit? Mungkin kepala kamu atau—"
"Enggak, Om. Lia udah enggak ngerasa sakit lagi. Beneran." Thalia menunjukkan tanda damai menggunakan dua jemari sambil terkekeh kecil. Menghargai benar perhatian pamannya yang sangat pedulikan dirinya. Barulah Thalia memberi pelukan hangat pada sosok yang sudah berada di samping Fahri. "Tante kok nyusul? Kapan sampai?"
"Belum lama. Tadi habis rapat mendadak di sekolah, jadi sekalian aja kemari biar sekali jalan." Rosa menjawab tak kalah semringah, mengusap-usap kepala Thalia penuh sayang. "Senang lihat kamu lebih cerah begini. Efeknya selalu seperti ini, ya, setiap habis programming?"
"Biar cerah terus, harus sering-sering diingetin buat programming diri ya," celetuk Elsa ramah.
Ada rasa haru hinggap di hati Thalia. Seperti sudah menjadi momen yang ditunggu-tunggu tiap akhir pekan seperti ini. Bersama Fahri juga Rosa seperti menggantikan kerinduan Thalia pada kedua orangtuanya. Mereka turut menyaksikan perkembangan kesembuhannya yang sudah berjalan lebih dari setengah tahun ini, dan Fahri selalu lebih antusias melaporkan kabar baik ini kepada Fatya.
Mereka sungguh memenuhi figur orangtua di mata Thalia. Bersyukur sekali mereka akhirnya kembali menjalin hubungan setelah sempat berpisah. Menebus rasa bersalah Thalia dengan semakin eratnya kepercayaan juga komitmen yang matang hingga mengantar mereka untuk masuk ke jenjang lebih dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
S P L E N D I D
RomanceThalia akan tinggal bersama pamannya yang masih hidup sendiri di usianya yang sudah terlampau matang. Namun ternyata, ada orang lain yang sudah menemani paman gantengnya itu sebelum Thalia memutuskan untuk pindah. Jangan salah sangka. Ini bukan ceri...
