3. Bayangan Senja Pertama

10.5K 577 3
                                    

Aku tak pernah menyangka setelah 1 bulan lebih aku koma, akhirnya aku kembali dengan tubuhku dengan ragaku. Aku menunggu seseorang, namun hari ini ia tak datang, ya siapa lagi yang kutunggu jika bukan dia Kahfi. Pemuda yang bila dekat dengannya, aku merasa ia bisa membuatku lebih dekat dengan jalan Allah.

Aku menunggu nya, namun tak ada kabarnya, saat ibu masuk ke kamarku betap bahagianya ibuku.

"Dhifa.. kamu sadar, nak." seorang wanita paruh baya itu merangkulku.

Ya, dia wanita terhebat bagiku, dia ibuku. Aku benar-benar rindu keluargaku. Namun, sayang kakak lagi lagi sedang dikampus menemui dosennya untuk sidang, tak banyak yang ku ucapkan hanya segelintir kata Alhamdulillah.

Dan aku berdoa, semoga kakak dilancarkan urusannya.

"Ibu, lihat Kahfi?" Tanyaku penuh semangat.

Lalu Ibu menggeleng, yang berarti tidak.

Malamnya kami menunggu kak Dhirga menjemput, lalu pulang. Dan kami bertemu Kahfi di jalan menuju masjid.

"Assalamualaikum, calon imam. " sapaku sembari tertawa kecil didalam mobil.

Ia hanya menjawab salam tanpa melihat wajahku. Aku benar-benar kecewa. Ia menabur garam diatas luka, lalu ia tambahkan pula perasan air lemon, Perih.

"Jiah, calon imam? Maksud perkataan lo barusan apa dek?" Tanya Dhirga sembari meledek.

Sesampainya dirumah, Dhifa bercerita kepada sang kakak. Bahwa ia sudah pernah menemui pemuda itu.

"Jadi? Saat bareng dia, lo ngerasa dia bisa nuntut lo untuk deket sama Allah?"

"Iya, itu maksudnya. " ketus Dhifa.

"Kalo mau deket sama ciptaan-Nya, rayu dulu Pencipta-Nya. Benerin dulu diri, pantesin dulu. Jalan lo masih panjang. "

"Iya, maksud aku tuh apa mau dia, seenaknya dia cuek-in aku. Dia kenapa malah seolah mempermainkan aku gitu, kak. " omel Dhifa.

"Udah, istirahat gih. Mau sekolahkan, udah kangen sama temen-temen kan?" Dhirga lalu mencubit pipi adiknya itu. Lalu menyuruh adiknya masuk ke kamar.

Esoknya, Dhifa kembali kesekolah. Dhifa juga lebih berhati-hati terutama setelah kejadian naas yang menimpanya. Dan Dhifa kembali memakai jilbab, tanpa godaan dan tanpa hasutan.

Ini fitrahku. Kewajibanku. Ucap Dhifa.

Aku bersekolah seperti biasa, namun karena sudah lumayan lama aku koma, semua ingatanku tak pulih semuanya. Ada yang sebagian terlupa, yang aku ingat hanya kejadiaan kecelakaan yang menimpaku dan Kahfi. Jadi aku harus mengulang kembali semuanya, baik itu teman, tingkah laku, dan sebagainya.

Saat Sore tiba entah kenapa, aku sangat ingin mendengar lantunan suara Kahfi yang sedang mengaji. Lalu aku pergi ke masjid. Ku lantunkan pula, ayat suci Al-Quran. Dan yang kurasakan adalah kedamaian, ketenangan dan kenyamanan.

Tak lama masjid mulai ramai, dan adzan pun berkumandang, lalu suara Kahfi pun terdengar.

"Assalamualaikum, calon makmum, " ucap Kahfi dari shaf depan.

Entah itu meledek, atau memang karena ia ingin membalas sapaanku malam itu.

"Wa'alaikumussalam!" Jawab Dhifa dengan nada kesal.

Lalu Kahfi bertanya sembari melihat kearah tirai pemisah shaf perempuan dan laki-laki.

"Loh, kok jawabnya gitu. Kenapa? Karena yang kemarin, yah. "

"Siapa yang nggak kesal, coba?" ucap Dhifa.

Lalu Dhifa hendak menarik tirai tersebut dengan niat membukanya.

"Ehhh, jangan dibuka belum mukhrim. " sembari menahan tirai tersebut.

"Yaudah tinggal dihalalin aja!" ucap Dhifa

Kahfi masih berusaha menahan tirai pembatas. "Eh enak aja bilang gitu. Anak orang juga perlu dikasih makan kali. " ucap Kahfi.

"Katanya mau ngobrol, aku udah sadar loh. " ujar Dhifa sembari mengingat ucapan Kahfi sebelum meninggalkan kamar rawat inapnya.

Flashback On

"Kapan-kapan, mungkin kita bisa ngobrol. " ucap Kahfi dari balik pintu kamar rawat Dhifa.

Flashback Off

"Ini udah ngobrol, udah ya aku mau sholat. " ucap Kahfi

"Aku juga mau sholat kali. " ucap Dhifa

Ini kali pertamanya Ashar ku bersama Kahfi.

Hijrahku Bawa Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang