53. Pergi lalu Kembali untuk Menepati Sebuah Janji

2.4K 129 14
                                    

Tubuhnya perlahan menjauh.
Di perpisahan kali ini,
raga nya memang tak sempat ku peluk.
Bahkan tangan nya tak sempat ku genggam.
Tapi aku tau, janji nya bisa ku percaya.
Sebab ia adalah nyata.
Dan langkah nya adalah kepastian serta pilihan.

Pergilah duhai cinta, tapi ingat tuan sudah berjanji.
Jangan lupa lekas kembali.
Sebab disini aku masih menanti.

————————————————————
Seorang pemuda dengan kaos lengan panjang berwarna coklat, perlahan meninggalkan sekumpulan orang yang mengantarnya pergi. Bahkan punggung nya perlahan menjauh. Decitan roda koper nya sudah tak terdengar lagi. Lambaian tangan itu seakan sirna. Sekarang ia sudah di dalam kabin pesawat. Duduk di dekat jendela, hal yang paling ia sukai. Duduk sembari membaca, adalah kebiasaannya. Diri nya bukan orang yang romantis. Juga bukan pujangga yang puitis. Bukan pula pemuda dengan selera humoris.

Seoran gadis bergamis, sedari tadi menyeka air mata nya. Berulang kali berteriak dari balik kaca dinding yang menjadi pembatas saat ia selesai mengantar. "Hati-hati ya sayang!!" teriak Dhifa.

"Kahfi nggak akan kedengeran. " bisik Rey pada Eca.

"Biarin aja. Biarin dia teriak-teriak dari pada dia galau terus. " ujar Rebecca saat melihat Dhifa masih  menatap sebuah pesawat terbang yang perlahan meninggalkan landasan.

Dhifa menjalani kehidupannya tanpa adanya komunikasi dengan Kahfi. Memang sulit rasanya tidak berkomunikasi, namun Dhifa tetap pada prinsipnya.

Kalo kita jodoh, tanpa perlu ketemu tiap hari, tanpa obrolan banyak, dan tanpa komunikasi. Kita pasti akan bersama karena sang Kuasa sudah merencanakan yang terbaik untuk kita. Gumam Dhifa yang sedang duduk menantikan jam kelasnya usai di ruang kelasnya.

Dilain tempat, Kahfi pun sama menyebutkan apa yang telah Dhifa tetapkan sebagai prinsipnya. Kahfi menjalani hidupnya dengan tenang, tersenyum, tawa canda bersama kakak sepupunya di Amsterdam, Belanda.

Kahfi yang baru saja keluar dari ruang kelasnya, berjalan menuju perpustakaan. Tak sengaja ia melihat seseorang yang mengingatkannya kepada Dhifa. Sementara itu, Dhifa baru saja menyelesaikan mata kuliahnya hari ini.

"Oke, hari ini kelas kita sudah selesai, sampai bertemu lagi nanti. Selamat siang. " ujar sang dosen.

"Siang. " ujar mahasiswa.

Dhifa berjalan menuju taman. Jilbab segi empat berwarna hijau army yang menutup sebagian tubuhnya dengan ukuran jilbab 150x150 cm. Membuat tali pinggang nya tak terlihat di balik lipatan baju berwarna hitam itu. Dan rok tutu yang hampir menenggelamkan sepatu sneakers putih di dalam nya. Dhifa sedang menunggu sahabat nya, Rebecca. "Eca mana ya? Udah keluar apa belom sih?" gumam Dhifa yang memundurkan jilbabnya.

Rebecca berjalan menghampiri Dhifa, ia bersama kekasih nya. Pemuda blasteran Inggris-Indonesia. "Dhi? Gue sama Rey mau makan dulu, mau ikut nggak?" ajak gadis yang mengenakan celana jeans putih dan hoodie hitam dengan rambut yang ia cepol dua.

"Enggak deh, gue pulang aja. Have fun, ya!!" ujar Dhifa.

Dhifa adalah salah satu mahasiswi semester dua di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan jurusan Agama Islam. Dhifa ingin menjadi pendakwah sekaligus guru bagi anak-anak nya nanti, belajar membagi ilmu kepada semua orang.

Pulang dari kampus, Dhifa selalu mampir ke cafe Adinda untuk membeli cappuchino kesukaannya. Ia juga sering menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menikmati coffe dan menikmati sore nya hari. Bersama Adinda sang pemilik kedai. Sepulang dari cafe, Dhifa mengalami kecelakaan, ia ditabrak oleh pembalap liar. Dan ia dilarikan ke rumah sakit. Adinda melaporkan kejadian itu kepada Polisi setempat, dengan bukti rekaman cctv di depan cafe nya.

Adinda juga segera mengabari keluarga Dhifa dan teman-temannya.

"Halo tan, Assalamu'alaikum ini Dinda tan. "

"Iya Din?"

"Tante, jangan panik dulu ya. Tante, Dinda mau kasih kabar Dhifa kecelakaan. Sekarang lagi Dinda bawa ke rumah sakit Budi Asih. "

Mendengar kabar dari Dinda, Dewi segera memberitahu putra sulung nya. Mendengar kabar dari Dhirga Tisya ingin mengabari Kahfi, namun ia tak tega untuk mengatakannya.

Mereka bergegas menuju ke rumah sakit, sesampainya di rumah sakit mereka menuju UGD dan Dhirga adiknya terbaring.

Melihat Tisya yang menggendong Raisa, Rey dan Rebecca meminta izin kepada Tisya agar Raisa bisa ikut dengan mereka sementara orang tua nya menjenguk Dhifa. "Sini kak, biar sama kita aja Raisanya. " ujar Rey sembari meraih tangan Raisa.

Tisya memberikan Raisa pada Rey, dan Rey menggendongnya.

"Ikut sama om dulu ya, sayang. " ujar Tisya.

2 tahun berlalu. Dan Dhifa masih koma, ketika ia melalui masa kritisnya, tiada kata selain nama Kahfi yang ia sebut.

"Dia nyari Kahfi, sya?" ujar Dhirga.

"Aku udah kabarin Senja, tapi dia nggak respon. " ucap Tisya.

"Yang penting kita do'ain terus. " sambung Tisya.

Ini tahun lulusnya Kahfi, 2 tahun Dhifa koma dan ini bukan pertama kalinya ia koma. Ini sudah kali keduanya. Dhifa adalah anak yang kuat bagi keluarganya, mungkin saat ia koma untuk pertama kalinya keluarganya banyak yang tidak tau, namun ini kedua kalinya semua keluarga berkumpul, silih berganti menjaga Dhifa.

"Dhi, cepet sadar ya, gue nungguin lo! Kata lo mau minjem PS-3 punya gue." ujar Ryan.

"Semoga dia cepet sadar, sob. " bahu Ryan ditepuk oleh Yusuf.

"Iya Suf, makasih. " ucapnya kepada teman yang menemaminya.

Yusuf adalah sahabat Ryan dari bangku SMA. Yusuf anak yang hidup dengan Agama yang kental, anak seorang ustad dan ustadzah.

19 Desember 2015.

Bandara Soekarno Hatta, bertepatan di hari ulang tahun Dhifa yang ke 20 tahun. Kahfi pulang.

"Aku pulang Dhi, buat nepatin janji aku. " ujar Kahfi yang baru saja turun dari pesawat.

Hijrahku Bawa Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang