37. Khawatir

2.7K 133 2
                                    

Dhifa berjalan di barisan pertokoan di dekat taman komplek, american drill pants berwarna mocca, dengan sweater berwarna maroon dan jilbab hitam. Sepasang sepatu bertali berwarna maroon melangkah bergantian, dengan membawa kue di tangan ia lalu berteriak.

"Happy Birthday Kahfi, Sayang!!"

Seorang pemuda yan nama nya baru saja di sebut kan itu menoleh. Pemida itu Kahfi, yang memulai langkah nya untuk menghampiri gadis di seberang jalan. Kahfi berteriak, meminta Dhifa untuk tetap disana. Di tengah jalanan yang mulai padat. Kahfi yang hendak menyebrang, melihat sebuah mobil melaju dengan cepat.

"Kamu diem disitu!" Pinta Kahfi

"Nggak! Biar aku aja yang kesana!" Dhifa ngotot ingin menyebrang.

Saat Kahfi berusaha mencegah. Ia malah melihat Dhifa yang hendak tertabrak mobil.

"Dhifa!!!"

Deru nafas yang memburu. Pemuda yang tengah tertidur itu hampir kesulitan bernafas. Yang ia lihat ternyata hanya mimpi. Ia sampai tak bisa berkata-kata. Mata nya melotot. Melihat ke atas, ke samping, lalu mengucapkan kalimat tasbih.

Astaghfirullah haladzim

Nafas nya masih terengah-engah, Dhirga mengusap wajahnya.

"Cuma mimpi. " ucap Dhirga merasa lega.

Ia menuju kamar mandi yang berada dikamarnya, lalu ia berwudhu. Kemudian ia menaiki tangga dan membuka pintu kamar adiknya, yang tak terkunci.

"Belum pulang, ternyata. "

Dhirga kembali menuruni tangga, lalu ia menelpon adiknya. Menanyakan kabar nya. Jam berapa ia pulang. Jangan membawa mobil terburu-buru.

Adinda mengangkat telpon untuk Dhifa. Sementara Dhifa mencuci tangan, Dhifa meminta Adinda untuk membesarkan volume suara telpon nya. Suara Dhirga sudah terdengar bahkan oleh semua orang yang berada di dapur. Dhifa menjawab semua pertanyaan Dhirga dengan jeda disetiap jawaban nya.

"Masih di rumah Eca kak. "

"Iya, kalo udah selesai langsung pulang. "

"Iya kak, nggak ngebut bawa mobil nya. "

Dhirga mengakhiri telpon. Dan dapur Rebecca menjadi ramai.

Embun yang sedang mengecek kue, dengan mata yang menghadap ke arah oven, berpendapat bahwa Dhirga lebih perhatian dari ibu Dhifa sendiri. "Ya ampun, kakak lo udah ngalahin mak lo ya!"

Rey dengan santai nya bertanya tentang bagaimana bisa, selama ini Rebecca dan Dhifa pergi ke club dengan kakak yang se-over protective itu.

"Kok, lo bisa pergi dengan bebas nya ke club dengan kakak lo yang sangat over protective itu Dhi?

Dhifa menggigit sudut bibirnya. "Ya, dulu kan gue nggak kayak gini. Ya maksud gue, gue di bolehin ikut casting, jadi model fashion week, dan semua hal itu gue dibolehin. Tapi soal ke club, gue mana pernah bilang. " jelas Dhifa.

"Beda sama Eca. Gue bolehin kalo masih bates wajar. Ya, yang penting dia aman dan masih gue pantau. " sahut Mentari

Eca yang sedang memasukkan krim dalam plastik, menjawab ucapan sang kakak. "Ya iyalah! Orang lu juga sering ke club. "

Rey menyipitkan matanya. Dan mengerucut kan bibir nya. "Wuh! Kakak beradik yang sangat kompak!" Ledek Rey.

"Oo, mau gue tepungin lo ya!"

"Nggak! Nggak! Canda doang, beib!"

Ucapan Rey terlambat. Wajahnya sudah dilumuri tepung terlebih dahulu. Rey memang terlanjur kesal, namun ia juga melakukan hal yang sama kepada Eca.

_________________________________________

Jam menunjukkan pukul 5 sore, Dhirga gelisah adiknya belum pulang beberapa saat kemudian terdengar suara mobil riuh di depan rumahnya.

"Yuk, masuk aja. Semua udah lengkapkan?" Tanya Dhifa sembari menutup pintu mobil.

"Hai kak!" sapa Rey.

"Sore kak. " sapa Eca dan Embun.

Berbeda dengan Adinda, ia lebih memilih untuk minta bantuan Dhirga daripada harus menyapa. "Kak, bantuin kenapa?" Ujar Adinda yang keberatan membawa dekorasi.

Dhirga pun membantu Adinda. Dan adiknya pun masuk kerumah, duduk di karpet dan meminta nya untuk minggir.

"Awas Minggir!" ucap Dhifa.

"Orang itu kalo ketemu sama kakaknya disalamin kek, dibawain makanan kek, senyum kek. " ucap Kak Dhirga.

"Dih ngapain?" jawab Dhifa sewot.

"Dihh! Gue juga ngapain punya adek kek lo! " kesal Dhirga yang berpindah duduk di sofa.

Dhifa menyipitkan mata nya. "Dasar jahat!"

Dhirga menjulurkan lidah nya. Lalu ia melihat kue yang sudah berada di dalam sebuah kotak. Dhirga menyadari adik nya sudah tumbuh dewasa. Sudah merasakan jatuh cinta.

Sementara itu di rumah Kahfi.

"Punya apa, Ma?" tanya Kahfi.

"Aa? Nggak kok sayang. " ucap Mama yang hampir saja keceplosan.

"Yaudah Kahfi mau ke kolam dulu ya, ma. " ucap Kahfi.

"Iya nak. " ujar mama.

Kahfi menuruni tangga rumahnya dengan membawa gitar berwarna hitam. Lalu ia mengambil sepucuk kertas yang telah bertuliskan puisi yang akan ia tampilkan besok bersama Dhifa.

Keknya aku harus latihan. Gumam Kahfi.

Kahfi mulai melatih dirinya agar tampil percaya diri terlebih lagi ia tampil bersama Dhifa.

"Kahfi.." panggil Mamanya yang berdiri di sisi pintu kaca di tepian kolam.

"Iya ma? "

"Baju kamu udah mama setrika ya. "

"Makasih ya ma, Kahfi jadi ngerepotin. " sahut Kahfi.

"Nggak apa-apa, kamu harus tampil pede ya, besok. " semangat Mama.

"Hehe, iya ma. " jawab Kahfi.

Dengan gamis berwarna hitam dan khimar hijau muda, sang ibu bertanya perihal Rey yang akan menginap besok. Karena itu bagian dari rencana. "Ohya, nanti besok Rey jadi nginap disini?"

"In syaa Allah jadi, ma. " jawab Kahfi.

"Yaudah, mama masuk dulu ya. " ucap Mama.

"Iya ma. " ucap Kahfi.

Dirumah Dhifa.

"Gue masukin kulkas dulu ya, takut meleleh. " ujar Rey.

Bu Dewi keluar dari kamar nya. Ia melihat semua persiapan hampir siap.

"Wah balon nya kebanyak kan nih!" ucap Dhirga yang membuka kantong berisi balon.

"Iya dong kak, kakak mau ngajak Kak Tisya? Ajak aja. " bujuk Dhifa.

"Iya ya, ajak aja kali ya. Biar couple semua hahaha. " ucap Kak Dhirga.

Embun dan Adinda saling lirik. "Oke lah, kita juga berdua. " ledek Adinda Embun.

"Hahahah. "

"Kasian. " ledek Eca.

Hijrahku Bawa Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang