58. Yang ditunggu

3K 145 6
                                    

Acara pernikahan Yusuf dan Senja berjalan dengan lancar. Acara mereka hanya mengundang orang-orang terdekat. Dengan total tamu undangan yang hanya mencapai 100 orang. Yusuf tidak memaksa Senja untuk mengenakan jilbab di acara pernikahan mereka. Yusuf ingin Senja sendiri yang mau mengenakan jilbab tanpa paksaan. Jika nanti Senja ada niatan untuk berjilbab, tentu saja Yusuf sangat mendukung.

"Alhamdulillah, lancar ya Suf. " ujar Ryan yang menjabat tangan Yusuf.

"Alhamdulillah. " ucap Yusuf.

Dhifa dan teman-teman menghampiri sang pengantin.

"Selamat ya, semoga sakinah mawaddah warahma. "

"Aamiin, Allahuma Aamiin. " ucap Yusuf dan Senja.

Di acara pernikahan Yusuf dan Senja, Kahfi dan Dhifa kembali menjadi perbincangan. Mereka di tanya kapan akan menyusul. Tanggapan mereka hanya tersenyum dan meng-aamiin kan doa orang-orang.

Kahfi yang ikut mobil Rey, berhenti di depan rumah Dhifa. Setelah mengantar Dhifa sampai kerumah nya, Kahfi pulang berjalan kaki.

Hari-hari berlalu. Dhifa mulai melanjutkan kuliah nya. Dan Kahfi mulai mencari pekerjaan, jadi staff pun ia mau. Karena bekerja tak harus sesuai dengan gelar nya. Setelah bersusah payah ia mendapatkan pekerjaan, Kahfi selalu menyisihkan tabungan untuk membangun sebuah Yayasan tempat pengajian anak-anak.

Kahfi kini bekerja sebagai staff di sebuah Lembaga Asuransi. 3 tahun bekerja, jabatan Kahfi naik karena kinerja nya. Di semester ke-5 Kahfi mengkhitbah Dhifa dan menikahi Dhifa saat ia lulus.

Suasana rumah yang nampak ramai. Semua sepatu dan sandal tersusun rapi di depan pintu. Suara Kahfi dan keluarga terdengar samar. Makin mendekati pintu, Dhifa makin deg-deg an. Perasaannya kacau, tak karuan.

"Assalamu'alaikum. "

"Wa'alaikumussalam. "

Dhifa masuk kerumah nya. Ia melihat Kahfi yang tersenyum begitu melihat dirinya datang. Bukan nya senang, Dhifa malah semakin gugup. Dhifa mencium punggung tangan orangtua Kahfi, lalu ia duduk mendekati Dhirga.

"Kak, ini kenapa rame?" tanya Dhifa dengan suara berbisik-bisik.

"Udah, anak kecil diem aja." ucap Dhirga mengusap puncak kepala adiknya itu.

Ayah Dhifa memulai obrolan. "Berhubung anaknya sudah datang, sebaiknya kita tanya kan langsung kepada Dhifa. " ucap Ayah.

"Katanya sih yes, yah. " ucap Dhirga.

Ucapan Dhirga membuat gelak tawa diantara dua keluarga itu. Obrolan kembali serius.

"Dhi kan udah lama kenal sama Kahfi, kita sebagai orangtua juga ikut anaknya mau sama siapa. Dan Kahfi punya niat baik yang In syaa Allah dalam waktu dekat ini Kahfi akan mempersunting Dhifa. Apakah nak Dhifa menerima, niat baik keluarga kami?" Jelas Papa Kahfi.

Dhifa melirik Kahfi. Tatapan Kahfi benar-benar serius. Semua orang sedang menunggu jawaban Dhifa. Dhifa menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghela nafasnya perlahan.

"Bismillah, saya terima niat baik Kahfi. " ucap Dhifa.

Kahfi sumringah begitu mendengar ucapan Dhifa. Hatinya berbunga-bunga bahkan saat makan bersama mereka salah tingkah saat saling melirik. Dhifa yang duduk di karpet di depan tv dengan sepiring nasi dan ayam bakar di temani Kahfi. Sementara orang tua mereka makan di meja makan bersama.

"Dhi.."

"Iya?"

"Makasih udah mau nunggu. "

Dhifa tersenyum. Sembari menyuap kan sendok nasi ke mulutnya ia mengangguk. Setelah makanan mereka habis, mereka meletakkan piring ke wastafel lalu kembali ke ruang tamu dengan secangkir es buah.

"Makasih juga ya, udah mau pulang nepatin janji kamu. "

Ini beneran nyata. Ini nggak mimpi. Ya Allah kalo jodoh emang nggak kemana. Gumam Dhifa.

Hari wisuda Dhifa telah tiba, Rey dan Eca yang sudah wisuda terlebih dahulu ikut menghadiri wisuda Dhifa. Begitu juga dengan Adinda, Devano dan Embun.

"Ya, lu jadi adik tingkat kita Dhi. " ledek Rey.

"Iya, kakak tingkatku yang rese. " ledek Dhifa balik.

Alhamdulillah Ya Allah, Dhi bisa sarjana tahun ini. Gumam Dhifa.

Mereka berfoto bersama dengan Dhifa. Kahfi pun foto berdua, foto wisuda itulah yang menjadi foto dalam undangan pernikahan mereka.

Tanggal sudah ditetapkan, semua telah dipersiapkan. Dan undangan disebarkan, kini hari pernikahan mereka didepan mata.

"Kamu mau minum apa?" tanya Dhifa kepada Kahfi yang tengah duduk berbincang bersama calon mertua dan calon kakak iparnya.

"Teh aja Dhi. " ujar Kahfi.

Dhifa membuatkan Kahfi teh, lalu ia mengantarkan teh ke ruang tamu.

"Kak, makanan buat karyawan tenda bawain kedepan tuh. " ujar Dhifa yang menaruh teh di atas meja.

"Biar aku aja kak. " ucap Kahfi.

Dhifa dan Kahfi menuju dapur, lalu mereka membawakan makanan dan minuman untuk karyawan yang memasang tenda di depan rumahnya.

"Sini Dhi, aku aja yang bawa minuman nya, kamu bawa yang ringan aja. " ucap Kahfi.

"Iya Kahf. " ucap Dhifa tersenyum.

Mereka menuruni tangga teras, lalu menghidangkan makanan.

"Ini pak, silahkan dimakan. " ucap Kahfi.

"Iya makasih ya, calon manten. "

Dhifa masih tak menyangka, ia telah banyak mengalami peristiwa yang hampir meregang nyawanya, namun inilah kuasa Allah memisahkan untuk mempertemukan, menjauhkan untuk menjaga agar selalu dalam lindungan-Nya.

"Kamu undang Nicholas?" tanya Kahfi.

Dhifa mengangguk. "Dia kan temen kita juga. "

"Nggak apa-apa kok, undang aja mantan kamu. Toh, mereka hanya mantan. " ucap Kahfi.

"Ih kamu ini masih aja cemburu. " geram Dhifa.

"Nggak kok Dhi, buat apa cemburu. Kan besok aku udah mau halalin kamu. " ujar Kahfi yang mencolek hidung Dhifa dengan jari telunjuknya.

"Ih Kahf, kan halal nya besok!! Nggak boleh colek-colek sekarang. " ledek Dhifa.

"Yaudah sana masuk kamar. Aku pamit pulang dulu. " Kahfi kini pulang.

Larutnya malam, membangunkan Dhifa yang tengah tertidur pulas, ia pun melaksanakan Qiyamul Lail, ia berdo'a semoga esok pagi semuanya lancar, dan ijab kabul berjalan dengan ridho Allah.

Hijrahku Bawa Aku PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang