Arden melinting kemejanya sampai ke siku. Sudah tidak ada lagi perban konyol yang melilit lengannya. Tidak ada luka, tapi ngilunya jelas masih terasa. Kejadian semalam Arden terlempar jauh dari motor membuat lengannya menumpu berat tubuhnya. Kleseo, sudah jelas bukan.
Tidak ada yang menang dipertandingan semalam. Karena kerumunan polisi yang datang langsung membubar jalankan arena balap liar sebelum sempat ada pemenang yang menjuarai arena tersebut.
Dan beruntung Arden masih bisa menyetir dengan jarak yang tidak bisa dikatakan dekat ini. Sejak 5 menit yang lalu Arden telah sampai di rumah seseorang.
"Lebih sakit luka disini sih dari pada yang ini." Arden menepuk dada atasnya, lalu turun menepuk lengannya. "Kalau kata Amanda. Sakit yang gak berdarah." Ujarnya pada diri sendiri seperti orang bodoh.
Arden meregangkan otot-ototnya. Meneduhkan sayup mata dinginnya lantas mulai memencet bel di rumah bercat hijau tersebut.
"Bismillah." Bisiknya pelan menatap layar ponsel yang memanggil nama Hairin disana.
Gggrrrtt...
Pagar mendadak terbuka, senyum Arden melebar seraya mematikan sambungan telfonnya. Sedetik setelahnya kemudian memudar.
Apes. Batin Arden mengeluh.
"Ada perlu apa." Suara tegas seorang lelaki paruh baya berhasil membuat Arden menegang. Otot-ototnya kembali kaku. Dan kini Arden tidak tau harus menyapa lelaki tersebut dengan gaya bagaimana.
Satu bulan berlalu dan Arden jengah mencari perhatian kepada lelaki paruh baya angkuh tersebut. Tidak juga mendapat perhatian sampai sekarang, malah dirinya terus saja mendapat perlakuan dingin.
"Assalamualaikum om." Arden menyalami tangan lelaki yang diyakini sebagai ayah dari Hairin itu dengan senyum segaris. Matanya menyelinap masuk kedalam rumah, sebelum akhirnya menangkap Hairin dibalik pintu rumah yang terbuka sedikit. "Saya mau cari Ha,-"
"Hairin tidak ada. Pulang!" Tegas lelaki tersebut ingin menutup gerbang rumahnya.
Dan Arden tau bahwa lelaki tersebut sudah bohong.
Cepat-cepat Arden menahan gerbang tersebut lalu tersenyum memohon pada ayah Hairin. "Saya mau ketemu Hairin sebentar om. Boleh ya?" Ujar Arden kemudian dibalas gelengan tegas oleh Ayah Hairin sekali lagi.
"Sudah saya bilang berapa kali. Jangan pernah deketin anak saya lagi. Pergi!"
Gggggrrrtt...
Pagar rumah Hairin tertutup sempurna. Menyisakan raut wajah lesu dari Arden.
Akhir yang tetap saja sama.
"Percuma dong gue bawain martabak." Arden mengangkat bungkusan ditangannya, ingin membuangnya ke tong sampah namun urung karena mengingat seseorang di kepalanya.
¤¤¤
"Aretha bangun!" Arden menyeret kaki jenjang adiknya yang tidak dibalut apapun dengan paksa.
Sudah satu menit berlalu, adiknya itu tidak bangun juga dari tempat tidurnya. Oke. Arden juga masih mengantuk karena hanya tidur dua jam. Tapi Arden mengaku kalau dirinya tidak sekebo Aretha.
Arden menarik sekali lagi kaki Aretha dengan agak kasar. Mendapatkan ide, cowok itu membuka bungkus martabaknya dan membiarkan wangi dari makanan tersebut masuk kedalam hidung Aretha.
Iya. Martabak adalah makanan favorit Aretha.
"Anjir mau.."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 3] Arden dan Aretha adalah satu kesatuan yang gak bisa dipisah kayak magnet dua kutub. Saling tarik menarik dan saling mempengaruhi. Mereka murid kembar yang menggemparkan seisi sekolah. Sebut saja sekolah hening tanpa mereka. Siapa yang gak...