.Arden dan Hairin.
-In Mulmed-"DEN, NANTI BALAPAN GUE I...kut yah, Hallo,-" Amanda merebahkan kelima jarinya menyapa seorang gadis yang berdiri persis didepan Arden. Dilihatnya mata Arden seperti orang kelilipan, sadar, Amanda langsung terbatuk-batuk. "Balapan larinya jadi kan? Lo harus ajarin gue loh." Amanda nyengir kuda sedangkan Arden sudah mengelus dada.
Gadis itu Hairin, mengangguk sambil tersenyum sangat tipis.
"Biasa, anak kelas dua belas lagi sibuk ambil nilai lari jadi gue minta ajarin dia. Yaudah ya, Den gue tunggu di lapangan. Bye Hairin."
Dan Amanda sudah menghilang sesuai dengan harapan Arden.
"Jadi gimana?" Pertanyaan Arden kembali kepada Hairin yang kini kembali tertunduk. Entah malu atau sengaja menghindari tatapan mata Arden.
"Maaf kak, Hairin harus pulang. Sudah dijemput." Hairin kembali berjalan, melewati Arden seperti biasanya, menghindari Arden seperti yang sudah-sudah.
Dan Arden tau Hairin kembali berbohong.
Arden sudah tidak tahan. Ditariknya pergelangan tangan Hairin, lalu menyeret paksa gadis itu untuk ikut naik ke motornya lalu keluar dari sekolah.
Tidak butuh waktu lama untuk Arden berhenti di pinggiran jalan. Tempat dimana penjual makanan selalu mangkal disana, mengelilingi taman kecil tidak jauh dari sekolahan. Tempat biasanya mereka selalu mampir mencari cemilan sore setelah pulang dari sekolah. Sekaligus tempat dimana Arden menembak Hairin. Tempat yang gak romantis memang, tapi Arden selalu memiliki cara sendiri untuk meluluh lantahkan hati Hairin.
"Kak, aku,-"
"Berhenti menghindar, karena aku mau denger apa alasan kamu menjauh dari aku. Kalau ini soal Ayah kamu. Aku bisa terima, tapi kalau alasannya orang lain, aku gak bisa terima." Arden melepas helmnya, lalu menaruhnya ke gagang spion.
Hairin kembali menunduk saat telah turun dari motor. "Ma.afin Hairin kak." Tundukannya kini menyisakan sesak tertahan.
Arden memijit keningnya yang berkerut. Arden benci melihat Hairin seperti itu, Arden benci melihat Hairin kembali lemah, dan Arden benci membuat Hairin menangis.
"Kamu mau aku kasih kenang-kenangan gak?" Tanya Arden menyimpukan wajah pada telapak tangannya yang menopang di meja. Matanya sibuk melihat tingkah lucu Hairin yang sedang salah tingkah.
Hairin tersenyum, ciloknya tidak tersentuh barang sesendokpun. "Buat apa ka?"
Arden mengganti eksen wajahnya, kali ini berperawakan sedikit serius. "Ya buat kamulah. Sebagai kenang-kenangan dari aku. Mau ya?"
"Gak ah." Hairin menolak. Tepat sesuai dugaan Arden.
Arden menyungginggkan senyum lebar, matanya menatap intens Hairin yang semakin menunduk malu. Arden mendongakkan dagu Hairin lantas kembali ingin menatap mata teduh itu. "Aku tau kenapa kamu nolak aku kasih kenang-kenangan." Ujarnya membuat Hairin membalas tatapan mata Arden.
"Kenapa?"
"Karena kamu mau selamanya sama aku. Iya kan? Karena selamanya, jadi kamu gak butuh kenang-kenangan. Betul kan?"
Hairin terkekeh, matanya yang sayu nan teduh kini berubah menjadi mata berbinar yang diinginkan oleh Arden. Hairin suka Arden, gaya bicaranya mampu membawa Hairin si pendiam menjadi gadis yang terbuka dan tertawa lepas.
Begitupun dengan Arden, dirinya menyukai Hairin karena gadis itu dapat membuatnya berhenti balapan dan berbuat onar di sekolah. Pokoknya Hairin seperti surga yang datang untuk memperbaiki diri Arden.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Twins [COMPLETE]
Jugendliteratur[BUKU 3] Arden dan Aretha adalah satu kesatuan yang gak bisa dipisah kayak magnet dua kutub. Saling tarik menarik dan saling mempengaruhi. Mereka murid kembar yang menggemparkan seisi sekolah. Sebut saja sekolah hening tanpa mereka. Siapa yang gak...