Aretha menembuskan pandangannya ke kaca kelas IPS. Dimana kelas tersebut diisi oleh anak-anak brandal seperti Kanoa, juga Delvian. Jengkel karena Delvian tidak kunjung keluar kelas, segera Aretha menghampiri. Tekatnya sudah bulat untuk meminta maaf pada mantan pacar sekaligus tunangannya tersebut.
Namun tepat saat ia ingin masuk kedalam kelas yang setengah sepi itu, Latisa datang dengan senyum meledek mendahului Aretha.
"Dasar pengemis cinta." Gumam Latisa dengan gaya khasnya, sombong.
Aretha berdecih, "sok kecakepan." Umpatnya lalu mendahului langkah Latisa.
Melihat kedua makhluk cantik berjalan masuk kedalam, satu sangar dan satu feminim mendadak kelas IPS jadi rusuh. Beberapa gadis yang tinggal di kelas segera angkat kaki, tentu mereka tidak mau berurusan dengan si ketua PMR yang galak. Apalagi harus melihat tingkah Latisa yang sombong, sama sekali mereka menganggap Latisa tidak cantik, hanya make up-nya sangat membantu.
"Widih, gue sih mau Yan dapet dua cewek cakep begini." Ledek Kanoa, satu-satunya diantara kelima cowok yang tersisa didalam kelas, yang berani menggoda Aretha terang-terangan. Yang lain sih tentu malas berurusan dengan cucu pemilik sekolah.
"Gue cabut duluan guys." Satu persatu pergi, disusul yang lain.
"Gue juga." Sambung yang lain.
"Ikut." Yang terakhir mengejar.
Tersisa dua manusia menyebalkan sekarang, Kanoa dan Latisa yang tentu saja akan menganggu acara permintaan maaf Aretha kepada Delvian.
Aretha memijit pelipisnya, sambil berfikir ia mendongak kearah Kanoa. Gadis itu berusaha memberi isyarat, namun Kanoa hanya menggelengkan kepala sambil menaikkan alis. Padahal Aretha yakin Kanoa tidak paham dengan maksud Aretha.
"Kanoa bentar,-" Aretha menyeret seragam Kanoa yang tidak dikancing. Setelah agak menjauh, Aretha bicara setengah berbisik.
"Kenapa harus gue?" Tunjuk Kanoa pada diri sendiri.
"Lo gak tau timbal balik ya." Aretha mengerutkan dahinya sambil mendengus, "gini, gue nolongin elo pas di Bandung. Gue ingetin supaya lo gak LU-PA. Lalu gue sekarang cuma minta tolong bawa Latisa pergi dari Delvian. Impas kan."
Kanoa berdecak, "bilang aja lo gak iklas nolongin gue nyet!" Kanoa pergi, tersenyum kearah Latisa dan Delvian. "Lagian yang bikin kaki gue pincang kan elo setan!" Tambahnya mencibir.
Meski sedang menahan marah karena kalimat terakhir Kanoa, Aretha tetap berterima kasih karena Kanoa akhirnya mau membantunya.
"Puas lo!" Kanoa menyusul Latisa yang kini pergi meninggalkan ruang kelas.
Aretha nyengir sebentar pada Kanoa, saat kemudian dia duduk di kursi. Matanya meneliti bagaimana Delvian sedang sibuk memainkan game di ponselnya.
"Za,-" panggil Aretha merasa tersedak tiba-tiba.
Delvian diam, seperti dugaannya.
"Maafin gue soal nyokap lo." Ujar Aretha akhirnya setelah baru saja menghembuskan nafas berulang kali.
Delvian diam lagi. Jemarinya masih sibuk memainkan layar ponsel.
"Reza lo dengerin gue kan?" Ucap Aretha sekali lagi.
Tidak ingin masalahnya menjadi rumit karena Aretha merasa bersalah, Delvian segera angkat kaki dari kelas. Sama sekali cowok itu tidak melihat ke arah Aretha, dia cukup merasa bersalah atas apa yang sudah dilakukannya pada mantan kekasihnya itu.
Lalu,
jangan sebut Aretha si keras kepala kalau gadis itu tidak mengukuti kemana Delvian pergi, seperti sekarang. Kakinya melangkah cepat bagai kaki kuda, dia terus berlari meski beberapa murid melihatnya dengan heran dan mencibir. Tentu Aretha pasti terlihat rendah karena mengejar seorang Delvian yang kini diketahui seiisi sekolah adalah pacar Latisa yang dulu pernah dicampakkan Aretha.
Gosip memang semenyebalkan itu. Dan semua gosip tidak ada yang mengungkap kebenaran. Semua itu hanya cibiran dan omong kosong belaka.
"Za tunggu." Aretha berhasil menahan Delvian hingga cowok itu berhenti tepat didepannya.
Aretha menarik nafas dalam, "Oke. Kalau yang lo mau perhatian dari nyokap lo, gue bakal telfon tante nanti malem biar batalin pertunangan kita. Terus nan,-Embb." Aretha melotot karena mulutnya dibungkam tiba-tiba oleh Delvian.
Beruntung itu Delvian, kalau cowok lain atau siapapun itu pasti sudah Aretha tendang kakinya karena membekap mulutnya sembarangan.
"Uks." Singkat Delvian mendapat anggukan pelan dari Aretha.
Tidak lama ketika mereka telah sampai di ruang UKS. Amanda baru saja keluar karena mengetahui situasinya, lalu Aretha dan Delvian menahan diri untuk tidak saling memeluk satu sama lain karena rindu.
Delvian mendadak membuka plester yang ada di ujung bibirnya. Luka setengah kering hasil jotosan Arden tentu saja. Cowok itu duduk disalah satu ranjang paling ujung, lalu tangannya menarik Aretha untuk duduk didepannya saat sebelumnya menarik kursi untuk gadis itu.
Delvian menunjuk ujung bibirnya sendiri yang masih terasa perih lantas mengetahui itu Aretha mengangguk lalu mengambil kotak obat yang kebetulan berada di meja tidak jauh dari tempat duduknya.
"Sorry." Ujar Delvian saat luka dibibirnya dibersihkan oleh Aretha.
Aretha mengangkat dagu, ia tau bahwa Delvian menginginkan waktu untuk bicara. Untuk itu, giliran dia yang diam dan mendengarkan dari sisi Delvian. Disamping itu tangannya masih cekatan untuk mengobati sekaligus memplester ulang ujung bibir Delvian.
"Gue udah pernah cerita tentang keluarga gue." Delvian menatap manik mata Aretha, gadis itupun sama lalu mengangguk.
"Gak ada yang lebih penting didunia selain bunda." Ujar keduanya bebarengan. Aretha tidak akan lupa bahwa Delvian sangat menyayangi bundanya.
Delvian menarik nafas agak panjang, "Gue tau gue egois karena menghindar dari elo karena alasan nyokap gue. Tapi lo juga tau kalau,-"
"kalau lo sayang bunda lo, lo gak rela perhatiannya kebagi ke gue. Dan karena lo adalah anak satu-satunya lalu elo gak mau bunda lo jadi inget kembaran lo yang udah meninggal, lagi." sambung Aretha merasa tenggorokannya tercekat, tangannya lalu sibuk membereskan kotak obat. Dia menarik nafas panjang, begitukah perasaan Delvian selama ini hingga Aretha baru menyadarinya.
"Hmm. Lo bener." Gumam Delvian pelan sambil menggenggam tangan Aretha. "Gue tau gue jahat kalau gue ngomong ini sekarang tapi kali ini gue minta tolong ke elo sebagai sahabat."
Sahabat? Aretha merasa matanya memanas karena satu kalimat itu.
"Tolong bilang kalau,-" Delvian berhenti bicara karena Aretha langsung memeluknya dengan erat.
"Gue tau." Aretha menarik ingusnya, membuat Delvian cepat-cepat ingin menarik tubuhnya namun ditahan oleh Aretha.
"Maaf, buat semuanya. Maaf karena Arden yang udah mukulin elo, maaf karena gue sendiri yang gak ngertiin di posisi elo. Gue, akan bilang ke tante Sania nanti kalau kita udah putus dan mau batalin tunangan,-"
"Tha, gue,-" Delvian hendak melepas pelukan Aretha, namun lagi-lagi Aretha menahannya seperti gadis agresif.
Aretha menyela dengan mengeratkan pelukannya.
"Plis biarin gue gini sebentar. Gue,-" Aretha tercekat, ",-kangen elo Za." Gadis itu sudah menangis dibalik punggung Delvian.
"Setelah ini, gue akan ngejauh dari kehidupan lo. Gue janji." Tambah Aretha.
Hening, Delvian tidak mampu lagi berkata.
Bukan itu maksud gue Tha. Batin Delvian dalam kerinduan yang sama, yang tertahan.
✒✒✒
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bad Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 3] Arden dan Aretha adalah satu kesatuan yang gak bisa dipisah kayak magnet dua kutub. Saling tarik menarik dan saling mempengaruhi. Mereka murid kembar yang menggemparkan seisi sekolah. Sebut saja sekolah hening tanpa mereka. Siapa yang gak...