2: Seratus Juta!

36.2K 3.3K 364
                                    

"Udah belom? Lama amat!" Dipa menggerutu.

Hampir pukul tiga dan sinar matahari sangat terik menyengat, membuat baju seragam Dipa basah oleh keringat yang sedari tadi tak berhenti mengalir. 

Dipa berdiri di depan kios kecil sambil menenteng belanjaan. Ada satu kantong penuh berisi spidol, buku kosong, beberapa lusin pena berbagai warna, beberpaa kotak teh celup, dan sekaleng biskuit.

Bersamanya adalah Eda, yang baru saja keluar dari kios kecil dekat tempat Dipa berdiri. Sama seperti Dipa, wajah Eda juga dibasahi oleh peluh. 

Di tangannya ada secarik kertas. Keningnya berkerut. Sudah setengah jam Eda dan Dipa keliling pasar untuk membeli barang belanjaan mereka yang terakhir: satu stoples kopi.

Eda takut kalau belanjaannya salah, Pak Budi malah makin marah. Nanti Pak Budi malah mengadukan Eda ke Mama. Aduh ... mudah-mudahan Pak Budi menepati janjinya. 

Bukan karena Eda takut dimarahi Mama, justru sebaliknya. Eda tahu Mama tidak akan marah, tapi Eda tahu Mama akan kecewa. 

Melihat Mama kecewa lebih menyakitkan bagi Eda. Bukan hanya itu, Eda tidak mau menambah beban pikiran kepada Mama, tidak di saat seperti ini.

"Kenapa mesti kopi merek itu sih? Yang lain aja, kenapa?" Dipa masih terus menggerutu.

"Disuruhnya kan merek ini, Dip," balas Eda.

"Aduh ... kopi mah semuanya sama aja. Udah deh, beli aja yang ada."

"Enak aja rasanya sama. Beda!"

"Sok tau lo."

"Elo yang sok tau."

"Lo tau dari mana? Emangnya lo ngopi?"

"Nyokap gue koki, menurut lo?"

Balasan Eda membuat Dipa mengunci mulutnya. Dipa hanya mengangkat bahu. 

Dia mengekor di belakang Eda yang masih pantang menyerah mencari merek kopi seperti yang tertulis di daftar belanjaan mereka.

"Coba gue tanya ke toko itu," Eda menuding sebuah toko sembako yang ada di ujung jalan.

Dipa mengerang. "Udah ya? Itu yang terakhir ya? Kalo nggak ada juga, beli aja yang ada deh. Kita ini udah ada di penghujung pasar lho."

"Iya, iya. Tanya dulu. Lo tunggu di bawah pohon itu aja tuh, adem."

"Bukan masalah panasnya juga. Ini udah jam berapa? Belom balik ke sekolah, terus nyikat WC," dumel Dipa.

"Kenapa sih, buru-buru banget? Lo emangnya ada urusan?"

"Pokoknya gue harus udah balik dan duduk manis di panti jam tujuh malam."

"Dip, ini bahkan belum jam tiga sore. Tenang aja, deh."

Dipa menggumam tak jelas. Alih-alih menunggu di bawah pohon seperti yang disarankan Eda, dia malah mengikuti langkah Eda masuk ke dalam toko kelontong.

"Permisi, Mas. Jual Kopi Cap Talang nggak?" tanya Eda.

"Talang? Nggak ada, Neng," jawab pelayan toko. "Talang di mana-mana lagi kosong! Susah dapet barangnya."

"Oh ...." sahut Eda kecewa. Eda menatap Dipa. "Jadi gimana nih?"

"Udah, beli aja yang ada. Tuh, tuh. Itu kopi apa tuh? Banyak stoknya," Dipa menunjuk tumpukan toples kopi dengan hiasan-hiasan cerah di dekat pintu masuk toko.

"Itu Kopi Cap Badak, Dek. Enak juga. Malah lebih laku itu daripada Kopi Cap Talang," celetuk pelayan toko.

"Nah, tuh. Udah, beli itu aja, Da."

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang