6: Penasaran?

18.6K 2.1K 106
                                    

"Kalian ngapain di sini?!"

Eda kaget bukan main mendengar suara lantang yang tiba-tiba menegurnya dan Dipa. Sampai-sampai ponsel di tangan Dipa terlepas dari tangannya dan jatuh. Dipa ikut tersentak. Antara terkejut ditegur dan melihat ponsel kesayangannya jatuh, mata Dipa membelalak.

"Alarm kenceng begini kalian masih ngga denger juga?!" Ternyata petugas pemadam kebakaranlah yang menegur mereka. Ada dua orang.

"Ikut saya ke jalur evakuasi!" Petugas pemadam yang lain memberi isyarat supaya Eda dan Dipa mengikutinya.

Eda mengusap wajahnya. Baik dirinya mau pun Dipa tak berani membantah. Mereka berjalan cepat menuju lapangan tempat seantero sekolah dievakuasi. Eda melirik Dipa. Wajah Dipa begitu kaku. Eda sampai takut sendiri. Dipa pasti kesal bukan main karena rencana mereka berantakan. Harus Eda akui, memang salah dirinya yang tidak memperhitungkan cara membuka pintu ruangan Pak Budi. Eda sungguh kesal pada dirinya sendiri. Kok bisa sih, sebodoh itu?!

Eda dan Dipa berdiri bersebelahan di salah satu sudut lapangan. Bersama murid-murid dan para tenaga pengajar, mereka menunggu hingga gedung sekolah selesai disisir oleh petugas pemadam kebakaran. Dipa masih berdiri dengan ekspresi seperti patung.

"Setelah disisir, kami memastikan tidak ada kebakaran, Pak," kata komando pemadam kebakaran kepada Pak Budi, setelah mereka selesai melakukan penyisiran. "Mungkin alarmnya hanya korsleting, atau ada yang iseng membunyikannya."

Pak Budi tidak terlalu senang mendengarnya. Ada yang iseng membunyikannya? Murid-murid langsung berbisik-bisik. Siapa yang nekat begitu?

"Dio! Elo ya?" tuduh teman-teman sekelas Dipa.

"Aish! Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, man!" Dio cepat-cepat menangkis tuduhan tersebut.

"Mumpung kalian semua sudah berkumpul di sini, baris semuanya sesuai kelas masing-masing. Baris!" Tiba-tiba Pak Budi memberi perintah. Murid-murid langsung kucar-kacir berusaha membentuk barisan. Suasana lapangan menjadi sangat gaduh. Setelah semua barisan tersusun, Pak Budi segera maju ke dekat tiang bendera.

"Siapa dari kalian yang menyalakan alarm kebakaran? Mengaku sekarang!" seru Pak Budi.

Deg! Jantung Eda seolah berhenti sejenak. Diam-diam Eda melirik Dipa di barisannya. Matilah dia kalau Dipa membuka rahasia. Bukannya tidak mungkin jika Dipa membongkar rencana mereka yang gagal itu lantaran kesal. Eda memohon-mohon dalam hati. Dipa, please apa pun yang terjadi jangan sekali-kalinya elo ngaduin gue ke Pak Budi. Please, please, please, please...

"Tidak ada yang mau mengaku?!"

Eda menelan ludah. Sekali lagi dia melirik Dipa diam-diam. Dipa masih berdiri seperti patung. Tidak ada tanda-tanda dia akan membuka suara. Hening. Tentunya tak ada satu pun yang mengacungkan tangan untuk mengaku.

"Mungkin memang korsleting, Pak."

Eda yang berdiri di barisan depan bisa mendengar suara Bu Aam yang berbisik ke Pak Budi. Beberapa murid lain yang mendengar menggigit bibir, menahan tawa. Eda juga mungkin akan menahan tawa bila pikirannya tidak sedang kalut. Sekarang dia kehabisan ide bagaimana bisa mendapatkan kembali toples kopi keberuntungan tersebut.

"Ya sudah, kalian boleh bubar dan kembali ke kelas masing-masing."

Pak Budi akhirnya menyerah. Saat barisan bubar, Eda cepat-cepat menyelip di antara keramaian dan mendekati Dipa.

"Dip," panggil Eda dalam gumaman. "Lo marah ya?"

Dipa hanya mengangkat bahu.

"Maaf, maaf. Kali ini salah gue. Gue akan berusaha memikirkan rencana lain yang lebih matang. Tapi lo juga bantu mikir, dong."

"Nanti deh."

Hanya itu sahutan Dipa, lalu bergegas menaiki tangga. Eda mengernyit. Buru-buru Eda menyusulnya.

"Gue tau lo kesal, Dip. Tapi semestinya lo juga bantuin gue dong dalam menyusun rencana," Eda menghadang Dipa.

Langkah Dipa terhenti. "Gue bukan marah gara-gara itu."

"Jadi?"

"Gue marah karena elo seenaknya ngambil HP gue, terus ngejatuhin HP gue segala."

"Hah?" Eda mengernyit. Dia tidak habis pikir. Ternyata itu alasan wajah Dipa yang kaku layaknya patung Moai?! "Lo kesel gara-gara itu? Yang bener aja, Dip? Kayak anak SMP aja!"

Dipa tak membalas tawa Eda. Dia melanjutkan langkahnya dan begitu saja melewati Eda.

"Dipa, Dip!" Eda kembali menjajari langkah Dipa. "Sori deh kalo lo jadi kesal gara-gara itu. Tapi asli, gue ngga ngeliat apa-apa di layar HP lo. Cuma notifikasi elo di-approve dan di-folbek sama... siapa itu yang tadi pagi lo liatin Instagram-nya? Udah, itu aja. Dan maaf banget kalo HP lo jadi jatoh, tadi gue kaget pas tiba-tiba muncul petugas pemadam kebakaran. Lagian lo tenang aja, HP tuh ngga mungkin rusak cuma gara-gara sekali jatoh."

Dipa menghela nafas. "Iya. Ya udah, ya?"

"Ya udah... maksudnya?"

"Ya udah, jangan ganggu gue lagi!" ujar Dipa dengan nada ketus.

Eda tercengang dengan sikap Dipa. Dia hanya berdiri terpaku di anak tangga. Dipa itu sungguh seperti anak kecil! Masa' ponselnya diambil langsung bete? Masa' ponselnya jatuh langsung ngambek? Ditambah lagi, Eda kan sudah minta ijin, dia mau mencari tahu cara membuka pintu dengan jepit rambut. Plus, salah Dipa sendiri, disuruh mencari mengapa malah tidak sigap? Mereka kan seharusnya menjadi partner dalam memperebutkan kembali toples kopi sitaan! Sekarang Eda jadi ikutan kesal. Di rencana berikutnya, Eda tak mau lagi mengikut sertakan Dipa.

Namun di antara kesalnya, Eda teringat akan Dipa yang tak mengadukan dirinya ke Pak Budi. Mungkin Dipa memang menyebalkan, tapi ternyata dia bukan orang yang suka sesumbar. Padahal bisa saja Dipa cari muka di depan Pak Budi dan berkhianat pada Eda.

"Eh, eh, si Dipa mungkin ikutan korsleting kayak alarm kebakaran ya? Instagram Story-nya mendadak romantis gitu."

"Itu buat siapa ya kira-kira?"

"Kirana kali. Anak IPS 3."

"Idih, emang Dipa kenal?"

"Ya kan cantik. Orang ganteng naksirnya sama orang cantik lah."

"Atau Eda? Yang jualan catatan itu."

"Oh, yang abis dihukum bareng dia? Bisa jadi tuh."

Deg! Saat sedang makan di kantin sewaktu jam istirahat kedua, Eda mendengar namanya disebut di antara percakapan tentang Dipa. Kenapa sih orang-orang heboh sekali soal Dipa? Kenapa namanya dibawa-bawa pula?Dipa penasaran? Penasaran sama siapa? Sama Eda?

Da, please deh jangan kege-eran! Dumel Eda dalam hati. Mana mungkin?! Dipa kan galak begitu sama elo!

(, ")

Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Dipa ngamuk sama Eda segitunya amat sih? Emang beneran Dipa penasarannya sama Eda?

Mari lanjut ke bab berikutnya... hari ini double update! :)))

Salam,
Feli

***********

Trivia! ^o^

Dio itu nama teman saya yang setia baca tulisan-tulisan saya. Kali ini saya pinjem namanya buat karakter di Rival. Tapi Dio yang asli ngga nakal kayak Dio di Rival kok ;)

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang