Pak Budi sibuk menceramahi Dipa dan Eda sejak mereka masuk ruang kantornya.
Pertama, tindakan mereka berjualan di area sekolah melanggar peraturan.
Kedua, barang dagangan mereka melanggar etika pelajar.
Ketiga, kegiatan berjualan mereka merusak moral dan disiplin murid-murid sekolah.
"Gara-gara kalian ini, anak-anak jadi ngga disiplin dan malas. 'Ah, bolos aja, nanti juga bisa beli catatan dari Eda'. 'Ah, ketinggalan seragam juga ngga apa-apa, nanti bisa sewa dari Dipa'.
Kalian sekarang pikir hal-hal seperti masuk kelas, mencatat pelajaran, pakai atribut sekolah itu nggak penting.
Tapi, tunggu sampai lima-sepuluh tahun lagi saat kalian bekerja, boleh nggak coba kalo kalian ngantor lalu bilang, 'Waduh, Pak, saya malas meeting, nanti pinjam protokolnya aja ya?' atau 'Waduh, Bu, datanya ketinggalan di rumah. Saya sewa aja ya?' Ya mana bisa!"
Dipa hanya diam saja. Dia tak mencemaskan soal hukuman yang nantinya akan dia hadapi. Dia lebih cemas soal sumber penghasilannya yang kini hilang.
Dipa memutar otak, bagaimana caranya dia bisa mendapatkan uang setelah bisnisnya kena razia?
Mungkin dia bisa minta pekerjaan dari Bu Weda, salah satu pedagang kantin yang berjualan siomay Bandung. Ya, anaknya Bu Weda, si Sapto, sebentar lagi masuk SMP. Jam sekolahnya akan lebih panjang dan tidak bisa membantu ibunya berjualan lagi.
"Dipa!"
Dipa tersentak mendengar namanya dihardik Pak Budi.
"Iya, Pak!"
"Kamu ini kalo orang ngomong didengerin dong! Malah bengong!" Pak Budi mendengus kesal.
"Siap, Pak! Maaf, Pak!"
"Saya tadi tanya, kalian berdua kenapa bukannya fokus belajar malah berjualan di sekolah?"
Dipa menoleh menatap Eda. Sejak tadi, Eda hanya diam dan menunduk saja.
"Saya jawab duluan, Pak?" celetuk Dipa. Matanya melebar dengan pandangan polos.
"Ya siapa aja terserah! Yang penting jawab."
"Gimana kalo Eda duluan aja, Pak?" Dipa membuka telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Eda, seolah mempersilakan.
Namun, Eda tetap membisu dengan kepala tertunduk.
"Eda? Kenapa kamu sampai seperti ini?" tanya Pak Budi. "Kamu kan murid teladan sejak kelas satu. Saya betul-betul kecewa sama kamu."
Eda masih diam dan tertunduk.
"Nggak mau jawab?" cecar Pak Budi. "Nggak mau ada pembelaan? Pasrah aja dihukum?"
Kepala Eda perlahan mengangguk. Pak Budi melepas kacamatanya dan memijat batang hidungnya.
Pak Budi kemudian menuding Dipa. "Kalo kamu kenapa, Dipa?"
"Saya jualan karena butuh uang, Pak," jawab Dipa cepat.
"Hadehhh ... itu juga saya tau! Kenapa pelajar seperti kamu butuh uang segitunya sampai harus jualan?"
Dipa terdiam sejenak. Dia bicara lagi dengan suara pelan. "Jadi ... Bapak tau kan, saya yatim piatu?"
"Iya."
"Ya, karena itu, Pak. Saya sampai sekarang tinggal di panti. Saya satu-satunya yang tertua di sana. Saya cuma mau sedikit bantu-bantu saja."
Tatapan mata Pak Budi melunak. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Dipa, saya mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi, kamu harus berpikir sebaliknya. Kalo kamu nggak sungguh-sungguh dan fokus belajar, itu malah memberatkan pengurus dan adik-adik kamu di panti. Kamu sekarang sekolah yang benar, supaya suatu hari bisa membantu mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...