"Dip, HP tuh ngga mungkin sekali jatoh langsung rusak. Santai aja. Lagian ini merek oke kok," kata Dio. "Yang penting layarnya ngga gores atau pecah kan?"
"Ngga sih."
Sepulang sekolah, Dipa memberitahu Dio perihal ponselnya yang jatuh. Tentu saja tanpa ada embel-embel Eda. Maklum, Dipa tidak punya banyak pengalaman soal ponsel. Ini ponsel pertamanya. Sebagai anak yang tinggal di panti asuhan, bagi Dipa ponsel adalah kebutuhan sekunder yang berada di urutan kesekian.
"Ngomong-ngomong, donatur yang ngasih lo HP baik ya. Ini HP bagus lho," celetuk Dio.
Dipa termangu. "Iya. Gue juga penasaran. Gue pengen berterima kasih aja. Kayaknya orang yang sama seperti yang ngirimin buku pelajaran dan seragam tiap tahun."
"Ibu Panti juga ngga tau siapa?"
"Ngga. Katanya cuma supir yang datang."
"Mungkin kalo lo masuk kuliah nanti, lo dikasih HP baru, Dip!"
Dipa hanya tersenyum kecut. Kuliah? Rasanya tidak mungkin untuknya. Dipa mau langsung bekerja saja, supaya bisa membantu adik-adiknya di panti.
"Gue ngga perlu HP baru lagi kok. Udah seneng sama yang ini," ucap Dipa.
Tiba-tiba dia jadi teringat Eda. Mungkin tadi Dipa terlalu ketus terhadap Eda. Dipa menyadari, dirinya memang berlebihan.
"Eh Yo, lo tau nomor HP Eda ngga?"
"Eda? Eda tukang jualan catatan?"
"Iya."
"Tau sih. Kenapa, Dip?"
"Bagi nomornya dong, Yo."
"Lo mau beli catatan?"
"Bukan. Ada lah urusan."
Dio memicingkan mata. Tiba-tiba dia menyeringai. "Jangan-jangan... yang bikin lo penasaran itu Eda ya?"
"Najis!" seru Dipa. "Ya bukan lah!"
"Kalo iya juga ngga apa-apa. Kayaknya kalian cocok juga, Dip."
"Yo, buruan nomornya berapa?"
Masih senyum-senyum, Dio memberikan nomor ponsel Eda kepada Dipa. Dipa cuek saja dengan Dio yang terus menggodanya. Toh, memang Instagram Story yang diunggahnya bukan untuk Eda!
Dipa tak menyangka unggahannya itu menuai banyak reaksi. Tapi tentu saja, sekali lagi reaksi yang muncul tak satu pun datang dari orang yang diharapkannya.
"Serius, deh. Siapa yang bikin lo penasaran sih, Dip?" Dio masih belum menyerah.
"Ada lah," jawab Dipa sekenanya.
"Temen sekelas kita? Satu sekolah? Anak mana?"
"Mmmm... anak mana ya? Anak ibu dan bapaknya deh."
Dipa tergelak melihat reaksi Dio yang misuh-misuh.
"Oke deh, kalo gitu kasih tau gue kenapa elo penasaran sama dia. Karena apa? Cantik? Pinter? Super baik? Atau jangan-jangan karena dia wangi melati? Kakinya ngga napak?"
"Hus! Jangan ngomong sembarangan!" hardik Dipa. "Ya napak lah kakinya! Lo kira Kunti?!"
"Ya kan mana tau lo kenalan di bawah pohon beringin nan rindang..."
"Idih, amit-amit!"
Gantian Dio yang terkekeh.
"Gue penasaran karena... susah dijelasin lah, Yo. Terlalu ribet."
Dio hendak protes, namun saat itu angkot jurusan Dipa muncul.
"Eh itu angkot gue. Udah ya!"
Dipa melambaikan tangan pada supir angkot dan segera menaikinya sebelum Dio sempat berbicara lagi. Di dalam angkot, Dipa mengeluarkan ponselnya. Dia menatap nama Eda cukup lama sebelum memutuskan untuk mengirim pesan Whatsapp padanya.
"Da...." Dipa mengirim pesan pertama.
Ketika Dipa sedang mengetik lanjutannya, status Eda yang kosong berganti menjadi online.
Dipa lanjut mengetik. "Tadi kayaknya gue lebay sih kesel sama lo sampe segitunya. Gue norak, soalnya itu HP pertama gue, sumbangan pula dari orang yang gue ngga tau siapa. Jadi gue beneran takut rusak. Sebab kalo rusak gue ngga mampu beli lagi. Belum tentu gue dapet lagi. Maaf ya, Da?"
Satu per satu tanda centang di sebelah pesan Dipa berubah warna menjadi biru. Tandanya Eda sudah membacanya. Status Eda pun masih tetap bertuliskan online.
Dipa menunggu balasan dari Eda. Semenit, dua menit, status online Eda lenyap. Dipa mengerjapkan matanya. Di-read doang nih?
Dipa kembali menunggu. Namun hingga Dipa turun dari angkot, kembali ke panti, mandi, makan, bahkan hingga Laras Sjahrir muncul di TV dan mengucapkan, "...saya Laras Sjahrir, sampai jumpa", Eda masih belum juga membalas Dipa.
Sebelum tidur, Dipa yang tidak habis pikir itu kembali menatap layar ponselnya. Dia tak bisa tahu kapan Eda terakhir aktif di Whatsapp. Eda tak mengaktifkan fitur itu. Tapi tidak menjawab pesan yang sudah dibaca berjam-jam menurut Dipa keterlaluan. Terlebih pesan itu permintaan maaf. Bayangkan, Dipa sudah besar hati melunturkan gengsinya, tapi malah dicuekin Eda?!
Tiba-tiba Dipa jadi panik. Bagaimana kalau Eda sesumbar ke teman-temannya soal Dipa mengiriminya pesan? Lalu teman-temannya sesumbar ke teman-temannya yang lain? Lalu seantero sekolah tahu bahwa Dipa diabaikan Eda?
"Lo tau ngga si Dipa?"
"Dipa siapa?"
"Pradipta anak IPA 5. Yang dulu suka nyewain atribut itu tapi dagangannya udah gulung tiker."
"Oh, tau. Yang dikacangin Eda kan?"
"Iya! Tengsin banget ga sih dikacangin Eda?"
"Hahahaha!"
Oh tidaaaaak...! Dipa menjerit dalam hati. Dia buru-buru memejamkan mata, tak ingin memutar skenario buruk lainnya di benaknya. Pokoknya besok kalau bertemu dengan Eda, dia akan segera mengkonfrontir makhluk satu itu.
"Da! Lo kenapa ngga bales pesan gue?"
Cih. Kesannya jadi Dipa yang ngejar-ngejar Eda.
"Da, kemarin terima pesan gue ngga?"
Lah, itu lebih aneh lagi. Jelas-jelas tertera bahwa pesan Dipa sudah dibaca. Memangnya Whatsapp bisa bohong?
"Da, jadi soal kemarin, gue mau minta maaf."
Aduh, formal banget sih? Ini kan cuma Eda doang gitu.
"Da..."
"Aduuuuh ngga tau ah!" Dipa dengan kesal membalikkan badan dan memeluk guling.
Dipa pun pergi tidur. Dipa tak tahu sepanjang dia terlelap ada hal-hal yang akan membuatnya memekik kegirangan saat dia bangun. Seperti Instagram Story-nya yang dilihat oleh Laras Sjahrir dan pesan Whatsapp yang muncul dari Eda pukul tiga dini hari.
Lucu ya, mengingat bagaimana kadang dalam suatu hari, kita merasa hari kita itu berjalan dengan tidak sempurna, namun saat kita bangun keesokan harinya, tiba-tiba keadaan berubah. Seperti roller coaster, kadang kamu di atas, kadang di bawah. Dan itulah yang membuat hidup jadi seru.
(, ")
Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Ketika Dipa akhirnya minta maaf sama Eda, malah di-read doang?! Gimana kalau kamu jadi Dipa, kesel kan? Malu pula. Kenapa Eda cuma nge-read doang, sih?
Tunggu kelanjutannya hari Senin ya... :)))
Salam,
Feli***********
Trivia! ^o^
Jaman SMS-an dulu, kita ngga tau pesan yang kita kirim udah di-read apa belum. Taunya cuma pending apa delivered. Buat mancing dibales, caranya kirim aja SMSnya dua kali, abis itu nyalahin operator. "Eh sori, kekirim lagi. Operator X emang payah nih, ngirim SMS suka dobel-dobel" :)))
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...