4: Tentang Eda

26.6K 2.5K 125
                                    

Eda sedang mematangkan rencana untuk merebut kembali stoples kopi dari ruangan Pak Budi ketika mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Eda segera memasang telinga. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul setengah satu malam.

Dari suara langkah kakinya, Eda yakin itu adalah Mama yang baru saja pulang. Eda melipat kertas buram di mana rencananya tersusun dan menyelipkannya ke dalam tas sekolah. Setelah itu dia keluar dari kamarnya.

"Ma," sapa Eda.

"Da?" Mama menoleh mendengar suara Eda. "Kamu kok belum tidur?"

"Iya, abis belajar," balas Eda, berbohong.

"Jangan tidur terlalu malam. Besok kan kamu sekolah."

Eda hanya mengangguk. "Mama mau teh? Aku bikinin ya?"

"Ngga usah, Sayang. Makasih. Mama mau langsung tidur aja. Kamu juga gih," Mama mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Eda.

"Aku mau tidur sama Mama malam ini. Boleh?"

Mama tersenyum tipis. "Iya."

Sejak Papa dan Dira, adik Eda meninggal, Eda memang sering meminta untuk tidur di kamar Mama. Terkadang karena Eda sedang sedih karena kangen Papa dan Dira. Sering kali juga karena Eda hanya ingin menemani Mama. Eda belajar bahwa berbagi kesedihan berdua lebih meringankan daripada menanggung sendiri masing-masing.

"Eda gimana di sekolah hari ini? Lancar?" tanya Mama, saat dirinya dan Eda sudah berbaring di ranjang.

"Lancar," Eda tersenyum kecil. Lagi-lagi dia berbohong. Barangkali hari ini adalah hari paling tidak lancar dalam hidupnya sebagai pelajar. "Mama gimana di restoran? Lancar?"

Mama ikut tersenyum tipis dan mengangguk.

"Ma..."

"Iya, Sayang?"

"Aku udah mikir-mikir... abis lulus SMA, aku ngga mau kuliah kedokteran."

Mama mengernyit. "Lho, kenapa? Kamu kan dari dulu maunya jadi dokter?"

"Ngga ah. Dipikir-pikir, aku males juga. Kuliahnya lama."

Eda tahu, dari tatapannya, Mama tak percaya begitu saja pada ucapan Eda.

"Lagian, jadi dokter kayaknya ngga cocok buatku deh, Ma. Jadi dokter itu kan mesti teliti, sabar, penuh dengan logika..."

"Da, kamu belajar yang rajin aja ya, seperti yang selalu kamu lakukan. Hal-hal lainnya biar Mama yang urus."

Eda memejamkan mata saat tangan Mama mengusap kepalanya. "Iya, Ma," bisiknya.

Setelah itu Eda pura-pura terlelap. Eda tahu, Mama juga pura-pura terlelap. Keduanya saling memunggungi satu sama lain. Diam-diam air mata Eda mengalir. Dia tahu, Mama pasti juga diam-diam menangis. Eda sering melihatnya.

Seandainya Papa masih hidup, tentu tidak akan seperti ini keadaannya. Banyak hal berubah sejak Papa pergi. Mama jadi lebih sibuk bekerja. Ibunya yang cantik kini wajahnya selalu lelah. Mama sangat sibuk sehingga Eda jarang melihat senyumnya yang ceria seperti dulu. Eda jarang membawa bekal ke sekolah karena Mama tidak punya waktu lagi untuk memasak di pagi hari.

Sementara Eda... dia juga banyak berubah. Eda juga tak lagi seceria dulu. Kalau dulu yang memenuhi pikirannya hanyalah seputar sekolah, mendapat nilai yang bagus dan masuk jurusan kedokteran, sekarang bagi Eda yang penting hanya supaya Mama kembali semangat lagi dan supaya dirinya tidak menjadi beban.

"Kenapa sih, Ma, hal-hal buruk menimpa orang baik? Kita orang baik kan, Ma? Memangnya kita salah apa?" tanya Eda di sela isak tangisnya saat acara pemakaman Papa dan Dira selesai.

"Ngga tau, Da," jawab Mama lirih. "Ngga usah menyesali hal yang ngga bisa kita kendalikan atau ngga bisa kita ubah lagi."

Eda tidak puas dengan jawaban Mama. Di matanya selama ini, Mama adalah orang yang tahu tentang segala hal. Selepas Papa dan Dira pergi, Mama menjadi orang yang tidak punya lagi jawaban untuk tiap-tiap pertanyaan Eda. Ada masanya Eda sempat membenci Mama setelah Papa dan Dira meninggal. Eda merasa Mama tidak peduli dengannya seperti dulu.

Mama seolah menjauh. Mama tidak punya waktu lagi untuk bercengkrama dengan Eda atau sekedar menemaninya belajar. Eda merasa, Mama bahkan tidak peduli apa yang Eda rasakan: bahwa dia masih belum bisa menerima kematian ayah dan adiknya, masih belum bisa berhenti menangis setiap malamnya, masih belum bisa berhenti bertanya-tanya mengapa keluarganya harus mengalami musibah seperti itu.

"Aku benci sama Mama! Sejak Papa meninggal, Mama ngga peduli lagi sama aku. Kenapa, Ma? Karena aku cuma anak tiri?!"

Suatu hari, amarah Eda meledak begitu saja. Kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa Eda bisa mengendalikannya. Eda tahu dia sudah menyakiti perasaan Mama lewat ucapannya. Eda sendiri masuk ke kamar dan menangis sehabis mengucapkannya. Dia takut untuk bertemu Mama setelahnya. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena takut jika harus melihat Mama terluka karena ucapannya.

Dugaan Eda benar. Dia melihat Mama menangis di kamarnya. Mama menangis hingga kelelahan dan tertidur. Eda merasa sangat bersalah. Sepanjang hidupnya, Eda sama sekali tak pernah bertengkar dengan Mama. Bagi Eda, Mama adalah sahabat baiknya. Eda menepis semua prasangka orang tentang ibu tiri.

"Maafin aku ya, Ma?" bisik Eda sambil menyelimuti Mama. Kemudian Eda membungkukkan badan untuk mencium pipi Mama. Saat itu air matanya jatuh.

Mama mengerjapkan matanya dan terbangun. "Eda..." panggilnya.

Mama menggenggam tangan Eda, menahannya supaya tidak pergi. Perlahan Mama bangun dan duduk di atas ranjang. "Sini, Da. Mama mau bicara."

Eda duduk.

"Da," ucap Mama, masih memegang tangan Eda. "Mama ngga tau kamu merasa seperti itu. Mama yang seharusnya minta maaf. Mama terlalu sibuk mikirin diri sendiri, sedih sendiri, berusaha menghibur diri sendiri, sampai ngga sadar kalo kamu juga butuh berbagi kesedihan, butuh dihibur, butuh ditemani. Eda, maafin Mama ya?"

"Mama jangan ninggalin aku," Eda mulai terisak.

"Ngga, Sayang. Mama ngga akan pernah ninggalin kamu."

"Aku ngga bermaksud ngomong jahat ke Mama."

"Iya. Mama percaya, Eda ngga mungkin bermaksud ngomong seperti itu ke Mama. Maafin Mama ya, Da?"

Dari kepergian Papa dan Dira, Eda juga belajar bahwa bahkan orang dewasa seperti ibunya yang selalu dia kagumi ternyata juga seorang manusia biasa. Ada kalanya Mama bersedih dan ingin sendiri. Ada kalanya Mama bingung namun tidak ingin terlihat seolah tersesat di mata Eda.

Namun yang Eda yakini sekarang, Mama tidak akan pernah meninggalkannya. Yang Eda yakini, selamanya mereka akan selalu saling menjaga dan menyemangati satu sama lain.

"Ma," panggil Eda, setelah lamunannya buyar.

"Iya, Sayang?"

"Mama jangan khawatir soal aku lagi. Aku baik-baik aja kok. Aku akan selalu cari cara supaya aku baik-baik aja, supaya kita baik-baik aja."

(, ")

Hai, readers! Makasih udah baca lanjutan cerita Dipa dan Eda. Kira-kira rencana Dipa dan Eda bakal berhasil ngga?

Tunggu kelanjutannya hari Senin ya... :)))

Oh ya, untuk upload kali ini juga ada #ceritaBonus2. Selamat membaca!

Salam,
Feli

P. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.

***********

Trivia! ^o^

"Kenapa sih hal-hal buruk menimpa orang baik? Memangnya kita salah apa?"
Saya dapet inspirasi kalimat tersebut dari film Extremely Loud and Incredibly Close. Salah satu film paling favorit sepanjang masa. Bagus, wajib nonton :)))

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang