Sejujurnya, Eda betul-betul sudah lupa kapan dia terakhir bahagia seperti sekarang. Yang jelas, belum pernah ada hari di mana dia sebahagia ini semenjak Papa dan Dira meninggal. Pagi tadi, setelah dari ruangan Pak Budi, entah apa yang merasuki Eda, tiba-tiba dia merasa begitu putus asa.
"Ini ngga adil, Dip," bisik Eda lirih. "Kenapa yang gue alami semuanya ngga adil?"
Kemudian tangis Eda pecah. Dia setengah mati menahan air matanya. Dia tidak mau menangis di depan Dipa, tapi tidak bisa. Eda berharap Dipa memarahinya saat itu, menghardiknya sambil berkata, "Aduh! Cengeng amat sih? Ya udah lah, berikutnya kita usaha lagi."
Namun Dipa tidak memarahi Eda. Dipa malah merogoh saku celananya dan mengusap pipi Eda dengan sapu tangannya. Harum. Eda jadi teringat ayahnya. Dulu, kemana-mana Papa juga selalu membawa sapu tangan. Kalau mereka sedang berjalan kaki dan melewati banyak kendaraan, Papa selalu menyodorkan sapu tangannya pada Eda.
"Pakai, Da. Tutup hidungnya."
"Terus, Papa gimana?"
"Papa mah gampang. Hidung Papa banyak filternya. Hehehe."
Bukannya berhenti, tangis Eda malah menjadi-jadi ketika dihujani sorot mata lembut Dipa dan kata-katanya yang menghibur.
"Ngga apa-apa, Da. Menangislah kalo itu bikin lo lega," kata Dipa. "Menangis itu wajar. Lo boleh menangis, asal jangan berputus asa."
Di sela isak tangisnya, Eda hanya bisa mengangguk. Dengan sabar Dipa menunggu hingga tangis Eda reda.
"Khusus hari ini, buat menghibur diri dan melepas penat gara-gara Pak Budi, gue punya sesuatu buat lo."
"Apa?"
Ternyata 'sesuatu' yang diberikan Dipa itu adalah ajakan untuk bolos dan pergi ke bioskop bersama. Awalnya Eda ragu, tapi mengingat betapa kesalnya dia hari itu, Eda akhirnya setuju. Eda dan Dipa berhasil naik angkot menuju mall. Dipa memberikan jaketnya untuk menyembunyikan seragam Eda, sementara Dipa sendiri melepas seragamnya dan memakai kaus.
"Beneran nih, Dip, elo traktir gue?" tanya Eda, saat Dipa membayar dua tiket bioskop.
"Iya. Bang Faisal abis ngebalikin uang gue yang dikorupsiin sama dia," Dipa nyengir. "Lagian hari ini kan nomat - nonton hemat. Kalo hari biasa sih, bayar sendiri lah ya."
Eda tertawa. "Makasih ya, Dip."
Dipa mengangguk dan tersenyum. Selesai menonton, Dipa dan Eda makan bersama menggunakan voucher yang diberikan Pak Budi sebagai hadiah menangkap maling.
"Gue anter pulang ya, Da?" celetuk Dipa, saat mereka selesai makan dan mengobrol. "Ternyata rumah lo tuh searah sama panti."
Eda tersenyum dan mengangguk. Kali ini dia tidak menolak lagi. Walau hanya duduk di dalam angkot, dia senang bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Dipa.
"Tapi Dip, mampir sebentar ke tukang bubur, ya? Mau beliin buat Mama."
Dipa mengiyakan. Sepulang dari mal, Dipa menemani Eda membeli bubur sebelum mengantarnya pulang. Ketika Eda sedang menunggu pesanan bubur, Dipa ijin pergi sejenak. Ternyata Dipa pergi ke toko bunga. Eda tak memungkiri bahwa perasaannya bercampur aduk saat itu. Mungkinkah Dipa membeli bunga untuknya?
"Da ..." panggil Dipa, ketika mereka berdua sedang berjalan kaki menuju rumah Eda.
"Hmm?"
"Gue tau pertanyaan gue aneh, tapi ... gimana sih rasanya punya ibu?"
Eda terenyuh mendengar pertanyaan Dipa. Bagaimana rasanya? Wajah Eda perlahan menyunggingkan senyum. "Rasanya bahagia, Dip. Oh ya, lo tau ngga, kalo Mama sebetulnya bukan ibu kandung gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Jugendliteratur[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...