Sebelum membaca...
Hai! Di bab ini, saya sisipin lagu instrumental sebagai background sambil baca :))) Ha Geun Young - Trauma. Silakan play video di atas dan dengerin lagunya sambil baca. Enjoy, semoga terhibur!(, ")
"Dio! Liat Dipa ngga?"
Melihat Dio yang sedang berjalan di koridor sambil makan cilok dalam plastik, Eda segera mencegatnya. Saking kagetnya Dio melihat Eda yang terburu-buru, sekantong cilok hampir terlepas dari genggamannya.
"Dipa kayaknya di kelas, Da. Kenapa? Kok, lo ngos-ngosan gitu sih?"
"Di kelas? Tadi gue ke sana ngga ada," balas Eda. Napasnya masih satu-satu.
"Mungkin lagi ke WC kali. Tadi gue liat ada tuh."
"Oh, ya udah. Makasih!"
Cepat-cepat Eda meninggalkan Dio menuju kelas Dipa. Dio hanya menaikkan sebelah alisnya dengan heran. Setibanya di kelas Dipa, Eda segera masuk lantaran pintu kelas terbuka. Beberapa pasang mata mengamatinya ketika Eda menghampiri meja Dipa. Terlihat Dipa sedang membaca dari aplikasi berita.
"Dip!" panggil Eda.
Dipa mengangkat kepalanya. "Oi, Da!"
Darah Dipa berdesir. Jantungnya bergedup cepat. Dipa mulai bertanya-tanya, ada apa Eda menghampirinya ke kelas? Apakah hendak membahas ucapan Dipa hari Sabtu kemarin?
Ehm ... sejujurnya, Dipa juga bingung darimana dan bagaimana dia bisa mendapatkan keberanian begitu besar untuk akhirnya mengutarakan perasaannya pada Eda. Namun hanya sebatas itu saja. Dipa masih belum berani untuk meminta Eda menjadi kekasihnya.
"Dip, ikut gue bentar."
Tahu-tahu saja Eda meraih tangan Dipa dan menariknya. Sontak Dipa berdiri dengan wajah yang merah. Teman-teman sekelasnya mulai mengganggu mereka, berdeham-deham dan bersorak-sorak, "Cieee ... cie ..."
Eda tak peduli. Dia masih terus menarik Dipa hingga keluar kelas dan menuruni tangga. Dipa cepat-cepat menjajari langkah Eda yang tergesa. Eda baru melepaskan genggaman tangannya ketika mereka berada di dekat gerbang sekolah.
"Ada apa sih, Da?" tanya Dipa.
"Pak," ucap Eda kepada salah seorang satpam. "Izin bentar!"
Eda kembali menarik tangan Dipa kuat-kuat, membuat Dipa hampir kehilangan keseimbangan dan terpelanting. Mereka keluar dari pintu gerbang sekolah dan menyebrang jalan.
"Eda! Apaan s–"
Dipa tak menyelesaikan kalimatnya. Dia terperanjat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Dipa terkesiap. Dunianya seolah terhenti sejenak ketika tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata milik Laras Sjahrir.
Nafas Dipa mendadak menjadi sesak. Detak jantungnya tak lagi beraturan. Dipa bahkan mulai merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Keringat dingin mulai dirasakan di keningnya. Dirinya dan Laras hanya saling tatap.
Laras berdiri di depan kap mobil sedan hitam yang sebelumnya dilihat Dipa di depan panti. Di kursi kemudi Dipa bisa melihat sosok bapak tua berpakaian safari yang ketika itu berbicara dengan Bu Isma.
Di mata Dipa, Laras dalam wujud aslinya jauh lebih menawan daripada di layar kaca. Mengenakan kemeja longgar bergaris biru muda, celana jins dan kacamata hitam di atas kepalanya, Laras terlihat jauh lebih santai daripada kesan yang ditampilkannya di televisi.
Seharusnya Dipa tersenyum melihat sosok yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari jauh saja, tetapi kali ini Dipa menunjukkan air muka yang begitu kaku. Tatapan matanya tajam, alisnya sedikit berkerut, bibirnya terkunci rapat.
"Dip," Eda memecahkan keheningan. "Nyokap lo mau ketemu sama lo."
Dipa menoleh dan menatap Eda.
"Lo yang ngajak dia ke sini?" tanya Dipa. Nada suaranya terdengar begitu dalam dan datar.
"Iya," jawab Eda. "Setelah lo ngasih tau gue di surat bahwa Mbak Laras adalah nyokap lo, dan setelah Mbak Laras bilang ke gue kalo elo adalah anaknya, gue pikir, udah saatnya kalian bertemu, Dip."
Dipa kembali menatap Laras. Terlihat Laras membuka mulutnya, hendak mengucapkan sesuatu, akan tetapi tak ada satu kata pun meluncur.
"Gue terlalu naif, Da," ujar Dipa dingin. "Sekian lama gue ditelantarkan di panti, orangtua gue pasti udah meninggal. Kalo ngga, pasti gue udah dijemput orangtua gue, kan?"
"Dip–"
"Kalo memang orangtua gue masih hidup dan selama ini gue tetap dibiarkan di panti ..." Dipa menatap Laras dengan pandangan yang menusuk. " ... mungkin emang sebaiknya gue ngga usah bertemu selamanya. Gue ngga butuh orangtua yang meninggalkan gue begitu aja."
Dipa membalikkan badan, hendak berjalan kembali ke sekolah.
"Dipa, tunggu!" Eda menarik tangan Dipa, hendak menahannya.
Dipa mengibaskan tangannya. "Dwenda, gue suka sama lo bukan berarti elo berhak mencampuri kehidupan gue."
"Dipa ..."
Eda tak lagi mengejar Dipa yang sudah menyebrangi jalan dan masuk ke area sekolah. Tatapan . Tiba-tiba rasa pedih meledak-ledak di dalam hatinya. Eda berpaling menatap Laras.
"Mbak Laras ..."
Laras memakai kembali kacamata hitamnya dan membuka pintu mobil. "Maaf, Eda ..." ucapnya lirih. "Kamu balik ke sekolah, gih."
Laras tersenyum getir, menganggukkan kepalanya untuk pamit dan masuk ke dalam mobil. Hanya dalam hitungan detik, mobil sedan hitam yang berhenti sejenak di pinggir jalan tersebut meluncur meninggalkan Eda.
Mengingat kembali tatapan dan nada bicara Dipa yang begitu dingin, tubuh Eda terasa lemas. Dia tidak menyangka akan seperti ini jadinya.
Eda pikir, Dipa akan menyambut Laras. Eda pikir, dia akan bisa menyaksikan senyum manis Dipa terukir di wajahnya. Eda pikir, dia akan bisa melihat Dipa akhirnya bahagia.
Eda menyeret langkahnya menuju halte bus yang sudah reyot dan duduk di sana.
Saat sedang termenung menatap aspal jalanan yang berdebu, Eda merasakan ponselnya bergetar singkat.
Dikeluarkannya ponsel tersebut dari saku rok seragamnya. Ada sebuah pesan masuk dari Laras.
"Eda ... semua yang saya takutkan selama ini terjadi. Tapi saya ngga nyangka, ternyata sesakit ini rasanya."
Di bawah atap halte bus yang sudah lapuk, Eda menyeka air matanya yang mengalir.
Di dalam mobil yang terjebak macet lampu merah persimpangan, Laras tak sanggup menahan isak tangisnya yang begitu menyesakkan.
Di sudut sepi belakang laboratorium bahasa, Dipa duduk memeluk lututnya dan diam-diam menangis.
(, ")
Hai, readers! Terima kasih banyak ya, sudah baca lanjutan dari Rival. Aduh, Dipa... kenapa malah kayak gini sih? >.<
Tunggu lanjutannya nanti sore, hari ini double update :)))
Salam,
FeliP. S. Readers, sebagai pembaca Belia Writing Marathon Batch 2, kamu berkesempatan memenangkan 1 paket gratis berlangganan Buku Bentang Belia selama 1 tahun untuk 1 orang pemenang dan 3 paket gratis seluruh novel hasil BWM Batch 2 untuk 3 orang pemenang. Caranya? Gampang banget! Kamu harus cukup aktif memberikan vote dan komentar untuk cerita BWM Batch 2 di akun Wattpad @beliawritingmarathon. Pemenang akan dipilih berdasarkan undian.
***********
Trivia! ^o^
Ide nama Laras Sjahrir muncul pas lagi bosen dan siwer meeting di kantor. Hihi... oh ya, selamat Natal bagi yang merayakan :)))
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Ficção Adolescente[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...