"Dip, kata Bu Aam, sore ini ada rapat guru lagi. Istirahat pertama bisa ketemu? Di belakang lab bahasa aja. Gue mau bahas rencana nuker tutup stoples."
"... baca dulu soalnya baik-baik. Jika tiga gram senyawa non elektrolit dalam dua ratus lima puluh gram air mempunyai penurunan titik beku ..."
Dipa yang sedang mencatat penjelasan soal kimia yang tengah dibahas Pak Ridho langsung buyar konsentrasinya ketika cahaya layar ponselnya berpendar. Dia melihat notifikasi pesan masuk dari Eda.
"... maka masa molekul relatif zat non elektrolit tersebut ..."
Dipa perlahan menundukkan kepalanya, pura-pura berkonsentrasi pada tulisannya. Padahal dia sedang membalas pesan dari Eda.
"Oke."
Dipa menggigit bibir, menahan diri agar senyumnya tidak lepas. Dipa tak lagi bisa membedakan apakah dia gembira karena Eda mengiriminya pesan, atau karena mereka punya kesempatan lagi untuk menukar tutup stoples, atau karena dua-duanya. Yang jelas, Dipa selalu membawa tutup stoples itu kemana-mana untuk berjaga-jaga.
"Pradipta Syailendra?"
"Mmm?" sahut Dipa. "Iya, Pak?"
"Kamu kenapa mukanya kayak gitu? Mau ke belakang?"
"Ngga, Pak," Dipa meringis. "Muka saya kenapa emangnya?"
"Kayak nahan gejolak dalam perut."
Seisi kelas tertawa. Pak Ridho memang mengajar pelajaran yang sulit, tapi dia senang bercanda supaya suasana kelas tidak terlalu kaku. Itu sebabnya buat Dipa Pak Ridho adalah salah satu guru favoritnya.
"Ngomong-ngomong, mana teman kamu si Dio?"
"Dio ... sakit katanya, Pak."
"Sakit apa?"
"Sakit hati katanya."
Seisi kelas tertawa lagi. Pak Ridho cuma geleng-geleng kepala sambil menahan senyum.
"Simpan itu HP kamu, jangan mainan HP terus. Saya ngedikte nanti kamu ketinggalan."
Wajah Dipa memerah. Buru-buru dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celananya. Dipa tak sabar hingga jam istirahat pertama tiba. Ketika bel berbunyi, Dipa cepat-cepat berjalan menuju bagian belakang sekolah, tepatnya di belakang lab bahasa.
"Kenapa sih lab bahasa letaknya di pojok gitu?" tanya Dio suatu hari.
"Ngga tau. Biar kalo teriak-teriak ngga ngeganggu kali," jawab Dipa asal. "Mereka kan harus latihan teriak-teriak AAAA UUUU itu lho."
Dio menaikkan sebelah alisnya. "Itu mah teater kali? Lagian kayaknya ngga aaaa uuuu kayak Tarzan begitu."
Meskipun terlihat seperti di-anak tirikan, namun keadaan lab bahasa yang terasingkan justru menguntungkan menurut Dipa. Pasalnya, anak-anak bahasa bisa nongkrong di belakang sekolah dengan leluasa tanpa harus sempit-sempitan dengan anak-anak lain.
"Dipa!"
Ketika Dipa tiba, Eda sudah ada di sana. Dipa suka bingung. Eda gesit banget, sih? Tahu-tahu saja sudah tiba duluan.
"Cepet banget lo, Da? Terbang ya?" celetuk Dipa.
"Ngga, gue gelinding dari atas," balas Eda, tak kalah asal.
Dipa tertawa. Mau tak mau Eda ikutan.
"Jadi gini, Dip. Tadi Bu Aam bilang sore nanti abis bubaran sekolah bakal ada rapat guru sama Pak Budi. Nah, biasanya rapatnya kan lama. Jadi pas guru-guru pada rapat, kita bisa nyelinap ke ruangan Pak Budi dan nukar tutup stoples," kata Eda.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL [Sudah Terbit]
Teen Fiction[SEGERA TERBIT] Jika kamu dan seorang yang baru saja kamu kenal memenangkan undian seratus juta, apa yang akan kamu lakukan? Well... ngga tau sih denganmu, tapi Pradipta dan Dwenda langsung rebutan. Setelah disita Pak Budi, Dipa dan Eda terpaksa be...