23: Boleh? Boleh!

15.4K 2K 354
                                    

"Eh, Da! Lo dicariin Pak Budi, tuh."

Baru saja Eda tiba di kelasnya, Hanum langsung menghampirinya.

"Pak Budi?" Eda mengernyit. Salah apalagi dia kali ini? Oh! Barangkali Pak Budi mau menyerahkan hadiah berupa tutup stoples keberuntungan. Janjinya kan, kalau tim sekolah mereka menang, tutup stoples itu menjadi miliknya dan Dipa!

Eda bergegas meletakkan tasnya di kursi dan berlari menuruni tangga.

BRUK!

"Sori, sori! Eh ..."

Ternyata Dipa yang menabraknya. Eda dan Dipa hanya saling pandang beberapa saat, sebelum dengan canggung keduanya membuang pandangan.

"Ehm. Mau ke mana, Dip?" tanya Eda.

"Mau ... ini, ke Pak Budi," jawab Dipa, sambil mengusap tengkuknya.

"Gue juga. Bareng?"

Dipa mengangguk.

"Lo dipanggil juga?" celetuk Dipa.

"Iya."

"Kayaknya Pak Budi mau nyerahin hadiah, nih."

"Jangan seneng dulu. Gue sih udah takut banyak ngarep."

"Takut di-PHP ya, Da?" goda Dipa. "Ngga semua cowok tukang PHP, kok."

Eda menaikkan sebelah alisnya, geleng-geleng kepala sambil menahan senyum. Ketika akhirnya mereka tiba di depan pintu ruangan Pak Budi, Eda dan Dipa berembuk sejenak.

"Kalo Pak Budi nggak ngasih tutup stoplesnya gimana?" tanya Eda.

"Ya, kita bikin rencana lagi. Kita jalanin rencana awal buat nyelundup dan nuker tutup stoples itu," sahut Dipa.

"Kalo Pak Budi ngasih tutup stoplesnya?"

"Ya ... ya udah, selesai dong urusannya?" Dipa terlihat bingung.

Selesai urusannya. Entahlah. Eda akan senang bukan main jika pada akhirnya dia mendapatkan uang lima puluh juta yang diincarnya. Dia butuh uang itu. Tapi, di sisi lain, jika Pak Budi akhirnya menyerahkan stoples tersebut kepada mereka berdua, berarti misinya dan Dipa sudah selesai.

Eda dan Dipa hanya akan kembali menjadi dua murid SMA Harapan yang duduk di kelas yang berbeda saat jam pelajaran, duduk di meja kantin yang berbeda saat jam istirahat, seperti dulu saat mereka belum mengenal. Akankah ada alasan bagi mereka berdua untuk menghabiskan waktu bersama lagi?

"Iya," Eda tersenyum tipis. "Udah selesai urusannya."

Dipa mengangkat bahu. Diketuknya pintu ruangan Pak Budi.

"Ya?" Terdengar suara Pak Budi menyahut dari dalam. Perlahan Dipa membuka pintu.

"Selamat pagi, Pak," sapa Dipa dengan senyum merekah lebar.

"Pagi, Pak," Eda mengekor di belakang Dipa.

"Pagi, pagi, anak-anak," sapa Pak Budi balik. "Ada apa, nih, pagi-pagi datang ke ruangan saya?"

"Tadi temen sekelas saya bilang, Pak Budi nyari saya?"

"Iya, Pak. Pak Budi nyari saya juga?"

"Oh ... iya, iya," Pak Budi mengangguk-angguk. "Saya sudah dapat kabarnya kalian menang lomba IKom. Selamat, ya! Saya bangga sekali sama kalian. Berkat kalian semua, sekolah kita bisa jadi juara bertahan."

Dipa tersenyum-senyum. "Sama-sama, Pak. Saya juga bangga sama tim saya."

"Nah, saya manggil kalian ke sini untuk menyerahkan hadiah kalian."

RIVAL [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang